KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim….
Tiada untaian kata yang pantas kami ucapkan selain ucapan rasa syukur
Alhamdulillah Kepada Sang Khaliq yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Psikolinguistik”
yang berjudul “Neurolinguistic
and Language Loss”, meski
sangat jauh dari kesempurnaan. Namun, hal itu tidak akan mengurangi eksistensi
kami ke depan untuk lebih baik.
Sholatan wa salaman semoga tetap tercurahkan Kepada Sang Revolusioner Islam
Nabiyullah Muhammad Saw. Yang telah membawa kita dari jurang kesesatan menuju
alam yang penuh dengan terangnya ilmu pengetahuan seperti apa yang telah kita
rasakan pada saat ini, itu tidak lain adalah berkat kegigihan Beliau dalam
membela Islam.
Ucapan terimakasih kepada Dosen
Pengampu “Prof. Dr.
H. .........” yang telah memberikan bimbingan dan
teman-teman serta orang-orang yang berjasa dalam penyelesaian tugas ini. Kritik
dan saran dalam penulisan dan isi sangat diharapkan karena kami masih pemula
dan untuk perbaikan selanjutnya.
Malang,
14 November 20..
Penulis,
Kelompok
I
DAFTAR
ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Neurolinguistic 2
B.
Language Los 6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 14
Daftar Pustaka 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya
tentu dapat berbahasa dengan baik dan benar. Tetapi mereka yang memiliki
kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam
berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Gangguan – gangguan berbahasa sangat
mempengaruhi proses berkomunikasi dan berbahasa.
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Berbahasa
merupakan proses mengemunikasikan bahasa tersebut. Proses berbahasa sendiri
memerlukan pikiran dan perasaan yang dilakukan oleh otak manusia untuk
menghasilkan kata-kata atau kalimat.
Secara teoritis proses berbahasa dimulai dengan enkode
semantik, enkode gramatika dan enkode fonologi. Enkode semantik dan enkode
gramatika berlangsung dalam otak, sedangkan enkode fonologi dimulai dari otak
lalu diteruskan pelaksanaannya oleh alat – alat bicara yang melibatkan sistem
syaraf otak bicara. Ketiga enkode tersebut berkaitan dalam produksi bahasa
seseorang yang juga berkaitan erat dengan hubungan antara otak dan organ bicara
seseorang.
Banyak faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan
seseorang dalam berbahasa, faktor gangguan berbahasa terbsebut dapat mengganggu
bahasa seseorang menjadi tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Neurolinguistik ?
2.
Bagaimana Language Loss itu ?
C.
Tujuan
Untuk
mengetahui tentang Neurolinguistik dan Language Loss
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Neurolinguistik
Neuropsycholinguistics dibentuk
oleh kata-kata neuro, psyche dan linguistics. Dalam hal
ini perlu dijelaskan hanyalah kta neuro yang mengandung acuan yang relatif sama
dengan nerve yang berarti “saraf” dan psyche yang berarti pikiran
dan metalitas. Dalam sistem saraf manusia, otak merupakan pusat saraf,
pengendali pikiran, dan mekanisme organ tubuh manusia, termasuk mekanisme yang
mengatur pemrosesan bahasa, Menurut Chaer (2003:7), Neuropsikolinguistik
mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa, dan otak manusia.
Neuropsikolinguistik sebenarnya merupakan gabungan dari Neurolingustik dan
Psikolinguistik. Secara lebih sederhana, Fromkin and Rodman (1989:361)
mendefenisikan bahwa Neurolinguistik adalah kajian mengenai landasan biologis bahasa dan mekanisme otak yang berperan dalam
pemerolehan dan penggunaan bahasa (neurolinguistics is the study concerned
with the biological foundation of language and the brain mechanisme underlaying
its acquistion and use).[1]
Sistem saraf manusia terdiri dari
dua bagian utama, yaitu :[2]
1.
Tulang punggung ( Terdiri dari
sederetan tulang punggung yang bersambung-sambung)
2.
Otak
Otak terdiri dua
bagian :
a.
Batang Otak ( Brain Stem) yang
terdiri dari medulla, pons, otak tengah, dan cerebellum
ü Berkaitan
dengan fisikal tubuh (Pernapasan, detak jantung, gerakan, refleks, pencernaan,
dan pemunculan emosi.
b.
Korteks Serebral yang terdiri
dari Hemisfer Kiri dan Hemisfer Kanan
ü Berkaitan
dengan intelektual dan bahasa
ü Hemisfer
Kiri dan Hemisfer Kanan dihubungkan oleh korpus kalosum (berfungsi
mengintergrasikan dan mengkooridinir semua yang dilakukan Hemisfer)
ü Berikut fungsi hemisfer kiri dan hemisfer kanan otak manusia :
Hemisfer Kiri
|
Hemisfer Kanan
|
1.
Berbahasa
2.
Membaca
3.
Menulis
4.
Analisa
5.
Menghitung
6.
Berpikir Nalar
7.
Sains
8.
Mengendalikan semua anggota badan di sebelah
kanan
|
1.
Musik dan lagu
2.
Emosi
3.
Kesenian
4.
Refleksi
5.
Daya ingat
6.
Daya intuisi
7.
Kepribadian
8.
Mengendalikan semua anggota badan di sebelah
kiri
|
Dengan
demikian Hemisfer kiri merupakan
otak bagian kiri dengan fungsinya dalam kebahasaan.
Dalam berbahasa
terdapat gangguan yang menyebabkan manusia tidak dapat berbahasa dengan normal,
salah satunya adalah aphasia atau afasia, yang mana menyerang pada otak pada
bagian Broca dan Wernick. Kami akan menjelaskan dengan singkat mengenai kedua
hal tersebut:
1.
Afasia Broca (Broca’s Aphasia Damage )
Kerusakan ini terjadi pada area Broca[3] dan
dinisbahkan pada nama penemu area Broca yakni Piere Paul Broca. Penderita
afasia Broca pada umumnya mereka akan mengalami kesulitan mengekspresikan diri
secara lisan dan artikulasi kurang baik., begitu juga ia tak mampu membentuk kalimat kompleks dengan tata bahasa
yang benar, Pasien sendiri masih memiliki kemampuan pemahaman bahasa yang baik,
walaupun ada beberapa kasus di mana kemampuan pemahaman bahasa pasien ikut
menurun[4].
Berikut adalah
contoh pasien dengan afasia Broca. Ia bermakud menjelaskan bagaimana ia datang
ke rumah sakit untuk menjalani bedah gigi:
"Ya... ah... Senin... ng...
Ayah dan Peter H... (namanya), dan Ayah.... ng... rumah sakit... dan... ah...
Rabu... Rabu, jam sembilan... dan oh... Kamis... jam sepuluh, ah dokter...
dua... dan dokter... dan ng... gigi... yah."[5]
Daerah yang
diserang berdekatan dengan korteks motor, maka alat-alat ujaran berbahasa
seperti mulut akan berubah bentuk
(Jw:mencong), sehingga kata-kata yang dihasilkan akan terpatah-patah dan
lafalnya tidak jelas. Sebagaimana tetangga penulis yang menderita stroke ketika
berbincang dengan penulis maka kalimat yang keluar sukar difahami . Pun juga
ditandai dengan ketidakmampuan untuk memproduksi dan memahami kalimat-kalimat
yang grammatical , disebut dengan istilah agrammatic.
Ada juga afasia
Broca yang disebut dengan afasia Motorik Kortikal, dimana hilangnya
kemampuan untuk mengutarakan pikiran dengan menggunakan perkataan, secara
gampangnya gudang tempat penyimpanan kata-kata musnah atau hilang. Ia masih
bisa mengerti bahasa lisan dan tulisan, akan tetapi ekspresi verbal tidak bisa
sama sekali, namun visual masih bisa. Sedang pada penderita Motorik
Subkortial , hubungan antara Kortial
(atas) dengan Subkortial terputus sehingga perintah untuk mengeluarkan
perkataan masih bisa dismapaikan melalui gudang Broca (gudang perkataan). Jadi
penderita ini tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya perkataan, namun dengan
membeo[6]. Sedang Motorik Transkortial,
gangguan tipe berbahasa ini terjadi akibat gangguan area Broca dan Wernick yang
menyebabkan tidak harmonisnya proses pemahaman dan ekspresi bahasa atau
kata-kata.
2.
Afasia Wernick (Wernick’s Aphasia Damage)
Afasia
Wernicke yang berhubungan
dengan kerusakan area
Wernicke pada
otak. Area Wernicke adalah pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk
memproduksi makna, seperti interpretasi kata dan pemilihan kata untuk
menghasilkan produksi ujaran[7]. Penderita afesia ini cukup
lancar dalam berbicara, namun sulit dimengerti karena kata-kata yang
diucapkannya tidak cocok dari segi makna. Penderita ini juga sering kali keliru
dalam memilih kata, sebagai contoh: Kata fair digantikan dengan chair,
kata carrot dengan cabbage .
Penderita afasia Wernick juga
kesulitan untu menyebutkan nama-nama benda, walaupun sebenarnya ia
mengetahuinamanya. Ia mampu menunjukkan benda yang dimaksud akan tetapi ketika
akan menyebutkan nama benda tersebut ia tak mampu untuk mengungkapkannya. Kata
“pensil” bagi orang normal sangatlah gampang untuk diucapkan, hal yang berbeda
dialami penderita afasia Wernick, ia akan sulit menemukan kata dan
menamainya walau lisannya relative
lancar[8].
Kami juga akan sedikit
menjelaskan tentang cara pengobatan bagi penderita afasia dan epilepsy memlalui
teknik Split Brain (otak tepisah) ang dibagi menjadi dua teknik :
commissurotami dan hemisphiretomy.
1.
Commissurotomy
Teknik ini umumn digunakan dalam
menangani kasus epilepsy merupakan teknik pertama kali dignakan dalam meneliti
lateralisasi otak. Teknik ini digunakan ddengan cara memotong corpus collosum
, dengan memisahkan antara hemisfer kiri
dan kanan, dikrenakan pengobatan medis tidak membuahkan hasil. Dari hasil operasi itu diperoleh hsil positif
serta digunakan untuk mengetahui fungsi masing-masing hemisfer. Eksperimen ini
pertama kali dilakukan leh Robert Sperry dan kawan-kawan.
2.
Hemispheretomy
Teknik ini diterapkan terhadap
penderita afasia dan epilepsy, yaitu engan cara mengangkat salah satu hemisfer
yang cedera atau terganggu. Dari eksperimen tersebut ditemukan bahwa secara
umum bahasa diproses pada hemisfer kiri. Hal ini diperkuat oleh temuan bahwa
bila hemisfer kanan diangkat tidak terjadi gangguan fungsi bahasa atau afasia.
B. Language Loss
Languange Loss diantaranya :
1.
Gangguan berbicara
Berbicara
merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu,
gangguan berbicara ini dapat di kelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan
mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan
berbicara psikogenik.[10]
a. Gangguan
Mekanisme Berbicara
Gangguan berbicara secara biologis disebabkan ketidaksempurnaan organ.
Contohnya yaitu yang di alami tunarungu, tunanetra, dan penyandang gangguan
mekanisme berbicara.
Ketidaksempurnaan organ bicara menghambat kemampuan seseorang memproduksi
ucapan (perkataan) yang sejatinya terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot
yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Hal ini disebut
gangguan mekanisme berbicara. Menurut Chaer (2009) dalam bukunya
Psikolinguistik; kajian teoretik, bahwa gangguan berbicara berdasarkan
mekanismenya dapat terjadi akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal),
pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga
mulut serta kerongkongan (resonantal).
1.
Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara
ini di alami oleh para penderita penyakit paru-paru . Para penderita penyakit
paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya di
warnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan
terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
- Gangguan akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita
suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali.
Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini di tandai oleh suara serak atau
hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi
semantik dan sintaksis ucapannya bisa di terima.
- Gangguan Akibat Faktor lingual
Lidah yang sariawan
atau terluka akan terasa pedih jika digerakkan. Untuk mencegah rasa sakit
itulah cara berbicara di atur dengan gerak lidah yang dibatasi. Dalam kondisi
seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna. Misalnya
kalimat “Jangan ragu-ragu silahkan ambil saja” Mungkin akan di ucapkan menjadi
“Hangan agu-agu siakang ambiy aja”.
Pada orang yang
terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnyapun lumpuh sebelah.
Berbicaranya menjadi pelo atau cadel yang dalam istilah medis
disebut disatria (terganggunya artikulasi).
- Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat
faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau.
Misalnya yang di derita orang sumbing akibat gangguan resonansi pada
langit-langit keras (palatum) pada rongga mulut. Selain itu juga terjadi
pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum).
Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya sehingga
suaranya menjadi bersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan
yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara
langsung karena kesengauan ini.
b. Gangguan
Psikogenik
Selain karena karena
faktor gangguan mekanisme berbicara sebagaimana dijelaskan diatas, ada juga
gangguan berbicara disebabkan segi mental atau psikogenik. Gangguan ini
bersifat lebih ‘ringan’ karena itu lebih tepat disebut sebagai variasi cara
berbicara yang normal sebagai ungkapan dari gangguan mental. Modalitas mental
ini terungkap dari nada, intonasi, intensitas suara, lafal, dan diksi atau
pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga
mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan psikogenik ini antara lain
sebagai berikut:
- Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan keinginan untuk dimanja sebagaimana
anak kecil yang membuat perubahan pada cara bicaranya. Fonem (s) dilafalkan (c)
sehingga kalimat “sakit sekali susah sembuhnya” menjadi “cakit cekali cucah
cembuhnya”. Gejala seperti ini dapat diamati pada orang tua pikun atau jompo
(biasanya wanita).
- Berbicara kemayu
Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) istilah kemayu mengacu pada perangai kewanitaan
yang berlebihan yang dalam hal ini ditunjukkan oleh seorang pria. Berbicara
kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal
yang dilakukan secara menonjol atau ekstra lemah gemulai dan memanjang.
Meskipun berbicara jenis ini tidak langsung termasuk gangguan berbahasa, tetapi
dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan
identitas kelamin.
- Berbicara Gagap
Gagap yaitu berbicara yang kacau, tersendat-sendat, mendadak berhenti lalu mengulang-ulang
suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan
kata-kata itu kalimat dapat di selesaikan. Penderita gagap kerap tidak berhasil
mengucapkan suku kata awal, hanya berhasil mengucapkan konsonan atau vokal
awalnya dengan susah payah hingga bisa menyelesaikan kalimatnya. Dalam usahanya
mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, penderita gagap menampakkan
rasa letih dan kecewanya.
Menurut Sidharta (dalam Chaer, 2009) kegagapan adalah disfasia yang ringan.
Kegagapan ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki, dan lebih banyak pada
golongan remaja daripada golongan dewasa (Chauchard,1983).
Penyebab gagap belum di ketahui secara tuntas. Namun, hal-hal yang di
anggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu. Misalnya:
- Faktor Stres
- Pendidikan anak yang terlalu keras dan ketat, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
- Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan.
- Berbicara Latah
Latah atau ekolalla yaitu prilaku membeo atau menirukan ucapan orang
lain. Ini merupakan sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang
bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat
dipancing. Kata-kata jorok yang ditiru cenderung berorientasi pada alat kelamin
laki-laki. Yang sering di hinggapi sindrom ini adalah wanita berumur 40 tahun
ke atas.
- Gangguan Berbahasa
Berbahasa
berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Anak-anak yang lahir dengan
alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata melalui
telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Untuk dapat
berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah
Broca (gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata dalam otak) harus
berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya
menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.[11]
Afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik dan
afasia reseptif atau afasia sensorik.[3]
- Afasia Motorik
Didapati
adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:
- Afasia motorik Kortikal
Adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan
perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan, namun ekspresi
verbal tidak bisa sama sekali.
- Afasia Motorik Subkortikal
Terjadi karena kerusakan bagian bawah Broca. Penderitanya tidak dapat
mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa
berekspresi verbal dengan membeo.
- Afasia Motorik Transkortikal
Terjadi karena hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa yang
terganggu. Penderitanya dapat mengutarakan perkataan, namun hanya singkat
dengan perkataan subtitusinya.
b. Afasia Sensorik
Kerusakan karenanya dapat menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat ikut terganggu.
b. Afasia Sensorik
Kerusakan karenanya dapat menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat ikut terganggu.
3.
Gangguan Berpikir
Pemakalah sebelumnya telah membahas mengenai keterkaitan antara bahasa dan
pikiran karena bahasa dipersyarati kemampuan manusia berkognisi. Isi pikiran
diutarakan dalam ekspresi verbal. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa
ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau di sebabkan oleh pikiran yang
terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran yang
dapat berupa hal-hal berikut:
- Pikun (Demensia)
Orang yang pikun menunjukkan banyak gangguan seperti agnosia, apraksia,
amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran dalam
segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan ini menyebabkan kurangnya
berfikir, sehingga ekspresi verbalnya di warnai dengan kesukaran menemukan
kata-kata yang tepat. Kalimat seringkali di ulang-ulang, pembicaraan sering
terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau sering berpindah ke topik
lain.
Dr. Martina W.S. Nasrun sebagaimana dikutip oleh Chaer dalam bukunya
Psikolinguistik; kajian teoretik, mengatakan bahwa Kepikunan adalah suatu
penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari
ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi terganggunya ingatan
jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan
kelancaran berbicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah
besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat kimia dalam otak. Biasanya volume
otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar.
Selain itu dapat pula disebabkan oleh penyakit, seperti stroke, tumor otak,
depresi, dan gangguan sistematik.
- Autisma
Anak autisma selain tidak responsif terhadap orang lain juga terobsesi dengan
kesamaan lingkungan. Artinya, dia sangat kaku dengan rutinitas yang
dihadapinya, dia akan marah apabila terdapat perubahan kondisi dari yang biasa
dijumpainya.
Ada dua kategori perilaku autisma yaitu, perilaku eksesif (berlebihan) dan
perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif yaitu
hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa jeritan, menyepak, menggigit,
mencakar, memukul, dan sebagainya. Di sini juga sering terjadi anak menyakiti
diri sendiri (self-abuse). Perilaku defisit ditandai dengan gangguan
bicara, perilaku sosial kurang sesuai, bermain tidak benar dan emosi yang tidak
tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab dan melamun. [12]
- Depresif
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya
dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan
kelancarannya terputus-putus dalam interval yang cukup panjang. Namun, arah
arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh
tarikan napas yang dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Perangai
emosional yang terasosiasi dengan depresi itu bersifat universal. Curah verbal
depresif dicoraki topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri,
kehilangan semangat bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan,
malah cenderung berupaya mengakhirinya.
- Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak
manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan
manusia. Jadi, anak yang terasing, tidak ada orang yang diajak dan mengajaknya
berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari
kehidupan sosial masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat
berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak
ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka sebenarnya
anak terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia,
sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya
adalah manusia tetapi dia tidak bermartabat sebagai manusia. Otaknya tidak
berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, Dalam
sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang di asuh oleh hewan
maupun yang terasingkan oleh keluarganya.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Neurolinguistik adalah salah satu bidang kajian interdisipliner dalam ilmu linguistik dan ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak manusia dengan bahasa.
Sistem saraf manusia terdiri dari dua bagian
utama, yaitu :[14]
a.
Tulang punggung ( Terdiri dari
sederetan tulang punggung yang bersambung-sambung)
b.
Otak
Otak terdiri dua
bagian :
1.
Batang Otak ( Brain Stem) yang
terdiri dari medulla, pons, otak tengah, dan cerebellum
2.
Korteks Serebral yang terdiri
dari Hemisfer Kiri dan Hemisfer Kanan
ü Hemisfer
Kiri dan Hemisfer Kanan dihubungkan oleh korpus kalosum (berfungsi
mengintergrasikan dan mengkooridinir semua yang dilakukan Hemisfer)
ü Berikut fungsi hemisfer kiri dan hemisfer kanan otak manusia :
Hemisfer Kiri
|
Hemisfer Kanan
|
Berbahasa
Membaca
Menulis
Analisa
Menghitung
Berpikir Nalar
Sains
9.
Mengendalikan semua anggota badan di sebelah
kanan
|
Musik dan lagu
Emosi
Kesenian
Refleksi
Daya ingat
Daya intuisi
Kepribadian
9.
Mengendalikan semua anggota badan di sebelah
kiri
|
Teknik Pembedahan Otak Split Brain (otak terpisah):
a.
Commissurotomy
Teknik ini umumn digunakan dalam menangani kasus epilepsy
merupakan teknik pertama kali dignakan dalam meneliti lateralisasi otak
b.
Hemispheretomy
Teknik ini
diterapkan terhadap penderita afasia dan epilepsy, yaitu engan cara mengangkat
salah satu hemisfer yang cedera atau terganggu.
Languange Loss diantaranya :
A.
Gangguan berbicara
1.
Gangguan Mekanisme Berbicara
a.
Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
b.
Gangguan akibat Faktor Laringal
c.
Gangguan Akibat Faktor lingual
d.
Gangguan Akibat Faktor Resonansi
2.
Gangguan Psikogenik
a. Berbicara
Manja
b. Berbicara
kemayu
c. Berbicara
Gagap
d. Berbicara
Latah
A.
Gangguan Berbahasa
1.
Afasia Motorik (Afasia
motorik Kortikal, Afasia Motorik Transkortikal & Afasia motorik Kortikal)
2.
Afasia Sensorik
B.
Gangguan Berpikir
1.
Pikun (Demensia)
2.
Autisma
3.
Depresif
4.
Gangguan Lingkungan Sosial
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdurrahman
dkk, Psikolinguistik Konsep & Isu
Umum, UIN Malang press: 2008.
·
Anjarningsih, Herwitha Yuhria, Otak dan kemampuan
berbahasa, Jakarta: pustaka Rihama, 2010.
·
Arifuddin, Neuropsikolinguistik,
PT.Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2010.
·
Chaer, Abd, Psikolinguistik
Kajian teoritik, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
·
Dardjowidjojo,
Soenjono, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005.
[2] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.203.
[3] Herwitha Yuhria
Anjarningsih, Otak dan kemampuan berbahasa, (Jakarta;pustaka Rihama,
2010), hlm. 64.
[5] Soenjono, Op.Cit
[6] Abdul Chaer, Op.Cit
[8] Arifuddin, h. 276.
[9] Arifuddin, h. 276.
[10] Abdul Chaer, Psikolinguistik
Kajian Teoretik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Cet. 2, hlm. 154.
[11] Abdul Chaer, h. 157-158
[12] Abdurrahman dkk, Psikolinguistik
Konsep & Isu Umum, (UIN Malang press, 2008), hlm. 124.
[13] Abdul Chaer, hlm. 161-162
[14] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.203.