BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Membicarakan
mengenai integrasi ilmu pengetahuan dan agama kita ingat kepada seorang tokoh yang
mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke
Amerika Serikat, Isma’il Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan
agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.[1]
Gagasannya tidak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga
dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT (International
Institute of Islamic Thought) pada 1980 di Amerika Serikat. Kini,
lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai
negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Ditanah air tercinta ini gagasan cerah ini dipelopori oleh beberapa
tokoh diantaranya oleh Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetik, M. Amin
Abdullah dengan visi program reintegrasi epistemologi keilmuan jaring
laba-laba. Imam Suprayogo dengan pohon ilmunya dll.
Pemikiran
tentang integrasi keilmuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual
Muslim tersebut diatas, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas
ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul
menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap
secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu
memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping
itu terdapat pandangan bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara sekuler (barat) dianggap sebagai
pengetahuan yang sekuler, oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau paling
tidak ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan
pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil
dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT, kehilangan dimensi spiritualitasnya,
maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali
dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang
seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia
ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang
justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Maka dalam
makalah ini penulis berkeinginan untuk memaparkan gagasan integrasi keilmuan
yang ditawarkan oleh M. Amin Abdullah [2]
yang disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh tim Pengembangan IAIN Sunan
Kalijaga pada tahun 2002, berjudul “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan
Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: Dari Positivistik-Sekularistik ke
Teoantroposentrik-Integralistik.
Permasalahan
yang penting diajukan adalah bagaimana integrasi keilmuan menurut M.Amin
Abdullah bisa dimengerti oleh kita, khususnya yang terkait dengan jaring
laba-laba keilmuannya yang digunakan dalam kampus UIN Sunan Kalijaga
Jogyakarta.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebelum
membahas lebih jauh terkait dari isi judul diatas yaitu “Gagasan Integrasi
Keilmuan Dalam Pemikiran Amin Abdullah”, alangkah baiknya saya paparkan
biografi Amin Abdullah terlebih dahulu untuk mengetahui siapakah beliau yang
sebenanrnya dan bagaimana bisa beliau mempunyai gagasan integrasi.
2.1 Biografi
Amin Abdulloh[3]
Pada tanggal
28 Juli 1953 :
Kelahiran Prof.
Dr. M. Amin abdullah, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah.
Pada tahun
1972 :
Menamatkan Kulliyat Al-Mu’allimin
Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor Ponorogo
Pada tahun
1977 :
Program Sarjana Muda (Bakalaureat)
pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) di Pesantren Gontor Ponorogo.
Pada tahun
1982 :
Menyelesaikan Program Sarjana pada
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Pada tahun
1985 : Program Ph.D.
Pada tahun 1990
:
Bidang Filsafat Islam, di Department
of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University
(METU), Ankara, Turki.
Pada
tahun 1997-1998 :
Mengikuti
Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada.
Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain:
1.
Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995);
2.
Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
3.
Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung,
Mizan, 2000);
4.
Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan,
2002)
5.
Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005).
Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah
1.
Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan
Jiwa Manusiawi (Jakarta:
Rajawali, 1985);
2.
Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Pengalaman :
1.
Pada tahun 1986-1987 :
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki.
2.
Pada tahun 1985 dan 1990 :
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat
Badan Urusan Haji, di Jeddah Arab Saudi.
3.
Pada tahun 1988 :
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat
Badan Urusan Haji, di Mekkah Arab Saudi.
4.
Pada tahun 1989 :
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat
Badan Urusan Haji, di Madinah Arab Saudi.
5.
Pada tahun 1993-1996 :
Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
6.
Pada tahun 1992-1995 :
Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
(LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
7.
Pada tahun 1998-2001 :
Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) di almamaternya,
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
8.
Pada tahun 1999 :
Guru Besar dalam Ilmu Filsafat.
9.
Pada tahun 2002-2005 :
Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk
periode pertama.
10. Tahun 2005-2010 :
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk periode
kedua.
11. Pada tahun
1991-1995:
Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa
Yogyakarta.
12. Pada tahun 1995-2000
:
Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
13. Pada tahun
2000-2005 :
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sebagai Wakil Ketua.
Address : UIN Sunan Kalijaga, Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
55281, Indonesia
BIODATA LENGKAP AMIN ABDULLAH
Address :
Cupuwatu I, Rt 01 RW 02, Purwomartani, Kalasan, Sleman Yogyakarta
55571
Indonesia
Birth :
28 July 1953, Pati, Central Java, Indonesia
Married to :
Nurkhayati
Children :
Silmi Rosda (1983), Gigay Citta Acikgenc (1993), Azmi Subha Adil
Paramarta
(1999)
Religion :
Islam
Passport :
Republic of Indonesia, R 717481
Hobbies :
Reading, Jogging, Traveling
2.2 Pengertian Gagasan, Integrasi Dan
Keilmuan[4]
Definisi
'gagasan' adalah hasil pemikiran atau ide. Hal itu bisa dilihat dalam
struktur bagan sebagaimana di bawah ini.



2.3 Upaya-Upaya Pengembangan Akademik Dan Kelembagaan
Berawal dari Perjalanan
sejarah Umat Islam Indonesia setelah Kemerdekaan 1945 rupanya berbeda dari alur
sejarah yang dilalui oleh umat Islam di negara-negara lain. Enam bulan setelah
merdeka, Pemerintah Republik Indonesia meresmikan Departemen Agama pada tanggal
3 Januari 1946 untuk melayani berbagai keperluan umat Islam Indonesia. Dalam
perjalanannya yang panjang, Departemen Agama diberi kepercayaan oleh pemerintah
untuk menyelenggarakan sendiri pendidikan agama dari tingkat Sekolah Dasar
(MI), Sekolah Menengah Pertama (MTs), Sekolah Menengah Umum (MA) dan Perguruan
Tinggi (IAIN, STAIN).
Di negara-negara lain, sebutlah
Turki, dengan penduduk sekitar 60 juta misalnya, kewajiban negara untuk
menyelenggarakan pendidikan umum maupun agama sepenuhnya diserahkan kepada
Kementerian Pendidikan (Milli Egitim). Bahkan penyelenggaraan pendidikan
agama yang mirip-mirip dengan MTs dan MA di tanah air, disebut Imam Khatib
School/lisesi juga diselenggarakan juga oleh Kementerian Pendidikan. Ketika
perkembangan Imam Khatib School begitu pesat dan tamatannya menyebar ke
berbagai lapisan masyarakat, pemerintah yang “sekuler” menaruh curiga dan akhirnya
ditutup karena dianggap tidak sejalan dengan nasionalisme-sekuler. Hubungan
antara agama dan negara disana memang tidak mudah dan kaku, tidak sefleksibel
dan selentur hubungan agama dan negara di tanah air.
Di Indonesia dengan penduduk 220
juta, pengelolaan pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada Departemen
Agama dan tidak diserahkan kepada Departemen Pendidikan. Memang hingga kini
masih menjadi berbincangan nasional mengapa anggaran penyelenggaraan pendidikan
agama masih dialokasikan di bawah mata anggaran sektor “agama” yang relatif
kecil dan belum diambil dari bagian integral dari alokasi anggaran
“Pendidikan”. Namun hal ini secara berangsur telah mulai dibenahi.
Dengan perkembangan-perkembangan
baru di tanah air, khususnya setelah diresmikan UIN Jakarta Mei 2002 dan turunnya
SK presiden tentang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,tanggal 24
Juni 2004, seluruh komponen bangsa dan lebih-lebih Departemen Agama dan
Departemen Pendidikan perlu menyusun blue print baru dan jelas ke depan
untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan-kemungkinan perkembangan yang akan
terjadi. Bukankah Departemen Agama sekarang tidak hanya menjadi induk
semangnya IAIN dan STAIN, tetapi juga UIN, dan Departemen Pendidikan Nasional
ikut bertanggungjawab secara teknis akademis.
2.4 Mengakhiri Dikotomi Agama dan Ilmu
Dalam Praktek Kependidikan
Aktivitas
pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi umum dan Perguruan Tinggi agama di
tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi
informasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati nurani
terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku cerdik pandai.
Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat.
Tindakan kekerasan dan mutual distrust mewabah di mana-mana. M. Kamal Hasan
meringkas kegalauan jaman ini sebagai berikut:
“the advent of new
millennium brings with new challengers of the negative aspects of globalization
and inevironmental crises which, if
unchecked, would put the whole planet earth in peril, in addition to the old
theath of nuclear war, unresolved ienternational cinflicts in the middle east
dan eastern Europe, tribal wariare in Africa, the AIDS scourge, increasing
crime of all forms, breaking of the family institution, drugabuse, urban decay,
obscnenity and a host of sosial ills. Religious wich preach the goals of peace,
justice, holistic, wellbeing and righteous living have to address the ebove
issues while they continue to oppose sosial injustices, oppression, corruption,
abuse of power, greed, materialsm, racism, sexism, hedonism and nihilism.”[5]
Jauh
sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola pengembangan
keilmuan yang bercorak integritalistik-ensiklopedik
di satu sisi, yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusyid, Ibnu Khaldun, berhadapn denga pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi lain, yang
dikembangkan oleh para ahli hadits dan ahli fiqih. Keterpisahan secara
diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis,
berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada
umumnya.[6]
Dalam ketiga revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi
industri dan revolusi informasi, tidak ada satu pun Muslim tercatat namanya
dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.[7]
Perkembangan
dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi
Umum yang tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di
satu pihak, sementara di lain pihak, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan
Tinggi Agama (baca: Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan
teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan
penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami proses
pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan kehiduapan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik dan
sosial-keagamaan di tanah air.
Dari
sini tergambar bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan di Perguruan Tinggi
Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara
terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak
dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan
(tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan
manusia) dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis,
ekonomi, politik, gender, peradaban). Dari latar belakang seperti itulah,
gerakan repprochment (kesediaan untuk
saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu
keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan rapprochement, dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistimologi keilmuan adalah
suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi
perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada milenium
ketiga serta tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola
sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas sebagai khalifah Allah fi
al-ardh.
Perguruan
Tinggi agama khususnya IAIN, secara sadar harus berani mengkaji ulang visi,
misi dan paradigm keilmuan yang pernah
dibangunya selama 50 tahun. Begitu juga perguruan-Perguruan Tinggi umum yang
sudah mapan dan bejalan selama ini. Ide dan usulan perlunya dikembangkan
ilmu-ilmu sosial profetik dankajian agama secara kontekstual di Perguruan
Tinggi umum seperti Universitas Gajah Mada adalah merupakan tanda adanya
keprihatinan yang serius tentang arah pengembangan dan tujuan pembelajaran
ilmu-ilmu umum pada Perguruan Tinggi umum yang telah berjalan selama 50 tahun
belakangan ini. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikotomik antara ilmu
pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus diuabah menjadi bangunan
keilmuan baru yang lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat
komplementer. Tujuan IAIN perlu diorientasikan pada lahirnya sarjana yang
memiliki tiga kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan
menganalisis secara akademik, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan
memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan, keilmuan, maupun
profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan.
2.5
Tantangan Perguruan Tinggi Agama Era Globalisasi Dan Informasi
Berbagai
perubahan di era global yang ditandai dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat
(baca: masyrakat keagamaan) di masa depan akan sangat terbuka disertai
ketergantungan kultur yang bersifat global. Tenaga kerja dari l uar negeri yang
akan masuk ke tanah air tidak dapat dibendung. Kecenderungan ini diperkuat oleh
laju perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat diakses dan dapat
merubah moral, sosia, dan intelektual seseorang dalam waktu cepat. Sektor jasa
dan pariwisata akan tumbuh menjadi paradigm baru ekonomi, sedang kehidupan
sosial-politik dan keagamaan akan berubah bentuk dan fungsinya secara cepat
sesuai dengan irama dan laju keterbukaan di tanah air.
Tantangan
di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam
secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya sekedar survive di tengan persaingan global yang semakin tajam dan ketat,
tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran
mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan
keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar
seluruh perkembangan yang terjadi.
Pemikiran
inilah yang mendorong adanya gagasan tenatang pengembangan IAIN (khususnya
Jakarta dan Yogyakarta) sebagai pilot
project menjadi Universitas Islam Negara (UIN), di bawah Departemen Agama
Republik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas Agama, tetapi
juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistimologi
keilmuan dan etika moral keagammaan yang integralistik. Dalam konsep ini,
fakultas-fakultas agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang. Namun
perlu dikembangkan kurikulum yang sesuai dengan pengguna jasa IAIN di era
global dan diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosennya dengan berbagai metode
dan pendekatan baru dalam Islamic studies, humanities,dan
ilmu-ilmu sosial, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas perlu
dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan
terarah dalam format integrated curriculum, dan bukanya separated curriculum seperti yang berjalan selama ini.
Pengembangan
IAIN ini diharapakan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan.
Program reintegrasi epistimologi keilmuan
dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada
giliranya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama
seperti yang telah berjalan selama ini. Perubahan dan perkembangan ini bukan
sekedar asal berkembang dan berubah.
Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga tidak mengulangi eksperimen
dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh perguruan-Perguruan Tinggi umum dan
agama yang didirikan oleh Negara maupun swasta.
Pengembangan
ini berada dalam kerangka dan semangat harmonisasi keilmuan dan keagamaan,
bukanya keterpisahan antara keduanya meskipun berada di bawah satu atap kampus.
Hal ini penting untuk memberikan landasan moral Islam terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial-ekonomi, dan
sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-keagamaan di tanah air, sekaligus
mengartikulasikan ajaran Islam sesuai denga perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer.
Selain
alasan di atas, sejak tahun 1980. Madrasah Aliyah yang ada di Indonesia yang
jumlah muridnya tidak kurang dari 800.075 siswa telah berubah orientasi. Pada
awalnya perbandingan muatan pelajaran agama dan umum 30:70 dan pada tahun
2000/2001 kurikulum Madrasah Aliyah 100% sama dengan kurikulum SMU dengan
penekanan pendidikan umum yang bercirikan Islam. Denga perubahan tersebut, maka
para lulusan Madrasah Aliyah yang jumlahnya sangat signifikan, juga mengalami
perubahan orientasi untu memilih program studi umum di Perguruan Tinggi,
sementara yang lain mengambil program studi agama. Hanya saja kecenderungan
dikotomistik yang berjalan selama ini masih menghantui banyak kalangan dan
tidak bisa menolong krisis yang dialami oleh paradigm ilmu-ilmu sekuler maupun
ilmu-ilmu keagamaan dalam bentuknya yang terpisah seperti yang selama ini
berjalan.
2.6 Visi Baru Program Reintegrasi
Epistimologi Keilmuan: Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentris-Integralistik
Dengan
meminjam konsep yang pernah dikembangkan oleh Kuntowijoyo, penulis ingin
melanjutkan konsep tersebut dengan sedikit memberi beberapa ilustrasi tambahan
di sana-sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang selama ini di IAIN
dan upaya pengembanganya lebih lanjut secara integrative di masa depan.
Agama
dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
diri sendiri dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara
global. Seperangkat aturan-aturan, nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah
yang sebenarnya disebut “syari’at”.[8]
Kitab suci Al-Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan
dapat menjadi teologi ilmu serta grand
theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekular.
Agama
memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan
sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada
dua macam, yaitu pengetahuan yang
bersumber dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan
antara keduanya disebut teoantroposentris.
Modernisme
dan sekularisme sebagai hasil turunanya yang menghendaki diferensiasi yang
ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat
zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak
pandang atau horizon berfikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu
ada perubahan. Perubahan yang dimakasud adalah gerakan resakralisasi,
deprivitasi agama dan ujungnya dideferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali).
Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor
kehidupan lain, maka dideferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan
sektor-sektor kehidupan lain termasuk agama dan ilmu.
Agama
menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah,
benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk) tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam teologi
ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan
ilmu. Selain ontology (whatness)
keilmuan, epistimologi keilmuan (howness),
agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness).
Ilmu yang
lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif (mengalami proses objektifikasi).
Dalam arti, ilmu tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama,
dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi sebagai gejala
keilmuan yang ibjektif (sisi historisitas-empirisitas) semata. Meyakini latar
belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah. Ilmu
yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang
normative. Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh
manusia, bukan untuk orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk pengikut agama tertentu saja. Contoh
objektifitas ilmu, antara lain dapat disebutkan disini: optic dan aljabar (tanpa
harus didkaitkan denga budaya Islam era Al-Haitami, Al-Khawarizmi) mekanika
dan astropisika (tanpa dikait-kaitkan
dengan budaya yudeo-kristiani), akupuntur
(tanpa harus percaya konsep yin-yang toisme), pijet urat (tanpa harus percaya konsep animism-dinamisme dalam
budaya leluhur), yoga (tanpa harus
percaya hindhuisme), khasiat madu lebah (tanpa
harus percaya kepada Al Quran yang memuji lebah), perbankan Syariah (tanpa harus meyakini etika Islam tentang
ekonomi).
Selain
itu para cerdik pandai telah tertipu ilmu-ilmu secular yang mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan
kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu diantaranya
adalah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi Negara-negara
kuat era globalisasi),[9]
dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu nuklir),[10]
dominasi kepentingan kebudayaan Barat (orientalisme). Ilmu yang lahir bersama
etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Produk keilmuan
harus bermanfaat untuk seluruh umat manusia tanpa memandang corak agama,
bangsa, kulit maupun etnisnya (rahmatan
lil alamin).
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan,
bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu
holistik-intra galistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya
sendiri, dari masyarakat sekitar dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan
konsep integralisme dan re-integrasi epistimologi keilmuan sekaligus akan dapat
menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negative
agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak halaman.
Untuk
lebih jelasnya Amin Abdullah memberi contoh mengenai ilmu yang bercorak
integralistik bersama prototip sosok ilmuan integrative yang dihasilkannya.
Contoh dapat diambil dari ilmu ekonomi syariah, yang sudah nyata ada praktik
penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (bank
Muamalat), Bank BNI Syariah. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi
diantaranya adalah bagi hasil (al-mudharabah), dan kerjasama (al-musyarakah).
Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang
dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, nonagama, atau bahkan
anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan lil alamin). Kedepan, pola keilmuan yang integralistik
dengan basis moralitas keagmaan yang humanistic ini dituntut dapat memasuki
wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sosial work, lingkungan, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan Internasional, hukum dan peradilan dan
begitu seterusnya.(hal 105)
Gambar
di bawah ini mengilustrasikan hubungan jarring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik.
Tergambar di situ bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik
begitu luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional maupun
modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat
menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar
sosok manusia beragama (Islam) yang terapil dalam menangani dan menganalisis
isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan
pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh
ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu
sosial (sosial science) dan humaniora
(humanities) kontemporer. Di atas
segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan
etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang dimaknai secara baru (hermeneutis)
selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu
dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk
kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang
etnisitas, agama, ras maupun golongan.
2.7
Horizon Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentrik-Integralistik
Dalam Universitas Negeri
Kondisi
yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa radius daya jangkau aktifitas keilmuan
dan lebih-lebih pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan
STAIN di seluruh tanah air, hanya terfokus pada Lingkar 1 dan jalur lingkar
lapis 2 (kalam, falsafah, tasawuf, hadis, tarikh, fiqih, tafsir, lughah).

Itu
pun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak pendekatan keilmuan humaniora
klasik. IAIN pada umunya sekarang ini belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu
sosial dan humanities kontemporer
seperti yang tergambar pada jalur lingkar 2 (Antropologi, sosiologi, psikologi,
filsafat dan berbagai teori dan pendekatan yang ditawarkan). Akibatnya, terjadi
jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara ilmi-ilmu keislaman
klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu
sosial dan humaniora kontemporer, bahkan juga ilmu-ilmu alam.
Kesenjangan
wawasan keilmuan ini cukup berakibat pada dinamika keilmuan dan implikasinya
dalam kehidupan sosial keagamaan dalam masyarakat Indonesia, mengingat alumni
IAIN Sunan Ampel Kalijaga banyak yang menjadi tokoh di masyarakat di manapun
mereka berada. Lebih-lebih, kesenjangan wawasan keilmuan ini juga dirasakan
oleh mahasiswa dan alumni Perguruan Tinggi umum, khususnya yang mengambil
jurusan eksakta. Upaya-upaya untuk menjembatani jurang wawasan tersebut
dilakukan oleh program strata 2 (Magister), tetapi tidak semua IAIN dapat
melakukannya. Hal itu disebabkan karena keterbatasan sumber daya tenaga
pengajar yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu keislaman sekaligus ilmu-ilmu
sosial dan humanities kontemporer.
Yang dapat melakukan pun akan menemui
banyak kesulitan karena selain keterbatasan sumber daya manusia, juga mind set mahasiswa strata satu sudah
sedenikian kental warna studi teks klasik normative tanpa tersentuh oleh
warisan Iptek, ilmu sosial maupun Humaniora.
Isu-isu
sosial, politik, ekonomi, keagamaan, militer, gender, lingkungan, ilmu-ilmu
sosial dan humanities kontemporer
pasca modern, seperti yang tergambar pada jalur lingkar lapis3 hampir-hampir
tidak tersentuh oleh ilmu-ilmu sosial dan kajian keislaman di tanah air,
khususnya di IAIN dan STAIN. Ungkapan seperti “to be religious today is to be interreligious” terasa masih sangat absurd dan unthinkable, bahkan mustahil untuk dipikirkan bagi tradisi
keilmuan lingkar lapis 2, meskipun era globalisasi-informasi memaksa manusia
beragama di era sekarang untuk berpikir demikian.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Bahwa adanya
angggapan dalam masayarakat luas yang mengatakan bahwa agama dan ilmu adalah
dua entitas yang tidak bisa dipertemuakan terus dicarikan jalan keluarnya dan
diantara ilmuan yang berusaha pada bidang ini adalah M. Amin Abdullah mantan Rektor UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
2.
Terjadinya
dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan
Islam berusaha melakukan integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak
dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia secara umum
dan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam secara khusus.
3.
Program
Reintegrasi epistemologi keilmuan danimplikasinya dalam proses belajar mengajar
secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu umum dan
ilmu agama.
4.
Agama
menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyah; benar, salah),
bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyah;
manfaat, merugikan).
5.
Contoh yang
dapat diambil dari penyatuan antara wahyu Allah dan temuan pikiran manusia
beriman adannya Bank Muamalah, Bank Syariat yang bisa dinikmati oleh semua
lapaisan.
6.
Menyadari
bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas maka Amin
Abdullah mengilustrasikannya dengan hubungan jaring laba-laba yang bercorak
teoantroposentris-integralistik.
7.
Penyatuan
antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada
integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis,
Epistemologis dan aksiologis.
8.
Walau
gagasan ini tidak begitu saja bisa diaplikasikan sebagaimana yang dirasakan
oleh penggagas sendiri baik dikalangan civitas akademika maupun dimasyarakat
luas, maka menurut penulis gagasan ini harus disampaikan lebih hati-hati,
apalagi ketika nilai-nilai agama yang bersifat wahyu diintegrasikan dengan ilmu
pengetahuan yang bersifat duniawi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar, 2006
Ali A. Mazrui, “The Ethics of war and
the rhetoric of politics: the West and the rest,” dalam Islamic Millenium. Volume II, Number 2, January-March 2002.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam, Cet.VIII.
Penerbit Mizan, 1998
Mahatir
Muhammad, globalization and the New
Relities (Selangor : Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, 2002).
http://aminabd.wordpress.com
[2] M. Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa
Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972, dia menamatkan pendidikan menegah di Kulliyat
al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian
dilanjutkan dengan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidika
Darusslam (IPD)1977 di pesantren yang sama
[3]
http://aminabd.wordpress.com
[4]
http://www.artikata.com
[6] Menurut laporan
pengembangan manusia (Human Development Report 2002-UNDP), Nilai Human Development Index (HDI) 2000,
Indonesia mendapat nilai 0,688 (urutan 109), Cina 0,72 (urutan 96), Filipina
0,754 (urutan 77), Thailand 0,752 (urutan 70), Malaysia 0,782 (urutan 59),
Jepang 0,933 (urutan 9). Untuk diketahui, HDI adalah indeks campuran yang
merupakan ukuran rata-rata prestasi penting atas tiga dimensi dasar dalam
pengembangan atau pembangunan manusia: (a) long
and healthy life; (b) pengetahuan (knowledge);
(c) kelayakan standar hidup (a decent
standard of living).
[7] Mahatir
Muhammad, globalization and the New
Relities (Selangor : Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, 2002), 54 dan 61.
[8] Bandingkan
QS Al-Jatsiyah (45); 17. “kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syriat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syriat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” Juga QS al-maidah (5): 48.
Pengertian dan pemahaman syariat sebagai seperangkat aturan dan nilai-nilai
serta prinsip-prinsip dasar, lebih lanjut lihat Ziauudin Srdar, “The Ethical
Connection: Cristian Muslim Relations in the Postmodern Age,” dalam Islam and Cristian Muslim Relations, volume
2, Number 1, June 1991, 66.
[10] Ali
A. Mazrui, “The Ethics of war and the rhetoric of politics: the West and the
rest,” dalam Islamic Millenium. Volume
II, Number 2, January-March 2002, 1-10.
No comments:
Post a Comment