Thursday, June 6, 2019

PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang




Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan, memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan membutuhkan pemahaman yang mendalam, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat dimanifestasikan oleh seseorang filsuf yang otentik.
Perumusan tersebut merupakan suatu stimulus atau rangsangan untuk memberikan suatu bimbingan tentang bagaimana cara kita harus mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran, dalam eksistensinya terdapat tiga bentuk kebenaran, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.
Dalam filsafat ada tingga penyangga yang pertama adalah ontology yang merupakan asas penetapan ruang lingkup serta asas penafsiran akan hakikat pokok objek penelitian, kedua, epistimologi, yang merupakan asas metodologik pemerolehan dan penyusunan bangunan pengetahuan, yang ketiga adalah aksiologi yang merupakan asas tujuan dan pemanfaatan pengetahuan.
Filsafat yang ada sudah berkembang sejak masa pra yunani kuno, yang kemudian berkembang setelahnya adalah filsafat yunani kuno, abad pertengahan, masa rainessance pada abad ke 14-17 M, kemudian pada abad ke 17-19 M memasuki masa filsafat zaman Modern, hingga pada abad ke 19 memasuki filsafat abad kontemporer, salah satu pemikiran yang terkenal adalah filsafat positivistic. Yang dikemukakan pertama kali oleh August Comte yang sekarang menjadi bapak positivism. Dan datang setelahnya adalah kritik terhadap positivisme yaitu post positivistic.
Dalam makalah ini akan dibahas sedikit mengenai masa sejarah positivistic dan post positivistic, dan bagaimana paradigma dari kedua aliran filsafat ini, serta tokoh-tokoh yang ada dibalik adanya kedua aliran yang saling bertolak belakang ini.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Positivisme

1.      Sejarah munculnya positivisme
Dari zaman Aristoteles (± 350 s.M) sampai David Hume (± 1750), jadi selama kira-kira dua ribu tahun orang berpandangan bahwa apa yang terjadi bersifat ilmiah. Peneliti dan pengamatan adalah hal yang pasif, artinya tidak dengan sengaja memanipulasi lingkungan dan tidak mengadakan eksperimen dengan lingkungan itu, masa itu disebut masa pra positivism.
Setelah itu timbul pandangan baru yakni peneliti dapat dengan sengaja mengadakan perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan eksperimen. Timbullah apa yang disebut metode ilmiah. Orang percaya, bahwa kita dapat menemukan aturan-aturan, hukum-hukum dan prinsip-prinsip tentang dunia kenyataan, baik dalam ilmu-ilmu alam maupundalam ilmu-ilmu social, walaupun dianggap bahwa aturan-aturan itu lebih sukar dicapai dalam ilmu-ilmu social, hukum-hukum itu dapat ditemukan dari data empiris dengan menggunakan sampel yang luas. Masa itu disebut masa positivisme.[1]
Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte, Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber danberpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.[2]

2.      Paradigma Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yagn positif dan dari sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkandalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.[3] Sebagai suatu aliran pemikiran filsafat positivisme adalah suatu gerakan suatu gerakan filsafat yang bercirikan penekanan pada ilmu dan metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang dengan tajam membedakan antara fakta nyata dan nilai. Dan sangat menolak terhadap agama dan filsafat tradisional terutama metafisik. Jadi positivism membatasi bidang filsafat dan ilmu pada bidang dan gejala-gejalanya saja yang apat diamati, diukur, dianalisis dan dapat dibuktikan dengan data empiris.[4]
Dalam memecahkan suatu masalah yang ada disekitar masyarakat, positivisme berusaha mengetahui penyebab terjadinya masalah dan solusi dari masalah tersebut dengan azas positivisme. Proses penelitian dikerjakan dua tahap, yaitu
a.       Tahap pertama, mengikuti cara yang dilakukan oleh kelompok rasionalisme Descrates . ia membuat hipotesis tentang terjadinya masalah lewat teori dan hasil penelitian yang telah dikaji kebenaranya dengan rasional. Penalaran yang digunakan ialah penalaran deduktif.
b.      Tahapa kedua, menguji hipotesis yang telah disusun dengan metode empiris yang hasilnya dapat dapat diterima ataupun ditolak, jika hipotesis diterima maka statusnya menjadi thesis, kebenaran atau dalil.
Dari proses penelitian yang dilakukan dalam memecahkan masalah diperkenalkan filsafat ilmu pengetahuan baru yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme  yaitu nalar deduktif dan induktif.[5]
Secara Ontologis, Positivisme berpandangan bahwa realitas itu tunggal, dan dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara mandiri, dapat dieliminasi dari objek lain dan dapat dikontrol. Implikasi metodologis dari pandangan seperti ini adalah bahwa suatu kerangka tori yang dirumuskan haruslah bersifat spesifikdan mengabaikan uraian yang terlalu luas dan tidak relevan.
Secara Epistimologis Peneliti bisa dipisahkan dari objek yang diteliti untuk menjamin objektivitas ilmu yang dibangun ilmu yang dihasilkan disebut “nomotetik” yaitu berupa hukum-hukum yang disusun dari cirri umum atau generalisasi dan berlaku secara umum pada populasinya.
Sedangkan secara Aksiologi dalam aras positivisme akan menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang bebas nilai dan juga agar dapat diciptakan hukum yang berlakunya bebas dari batasan waktu dan tempat.[6]
Apa yang dikerjakan oleh kelompok positivisme dalam mengungkapkan penyebab terjadinya masalah sama dengan metode keilmuan. Dan pada umumnya peneliitian-penelitian ilmiah mengikuti daur metode keilmuan. Beberapa kelemahan dari paham positivisme dalam bidang penelitian adalah sebagai berikut :
a.       Dalam usaha memecahkan masalah dimasyarakat bertitik tolak konsep, teori, dan hukum yang sudah mapan dan mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang khas di masyarakat tersebut.
b.      Penelitian bersifat verivikasi terhadap teori yang sudah ada, sehingga manfaat terapan untuk perubahan sosial dalam masyarakat tersa terbatas.
c.       Kaum positism mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial dimasyarakat tanpa memperhatikan keadaan individu secara utuh.
d.      Menggunakan pendekatan cross sectional studies dan bukan longitudinal studies
e.       Responden dibagi kedalam kategori-ketegori tertentu dan kelas-kelas berdasarkan pada klasifikasi yang telah ditentukan sebelumnya.
f.       Dalam mengumpulkan data dan informasi sering melibatkan banyak peneliti.
g.      Analisi dilakukan setelah data dikumpulkan pada akhir penelitian.
Walaupun terdapat kelemahan namun penggunaanya sangat luas terutama untuk penelitian sosial, dan sering disebut dengan “metode survei”[7]

3.      Tokoh-Tokoh Positivisme
a.       August Comte ( 1798-1857)
Benama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, yang kemudian dianggap sebagai bapak positivism, Arti positif baginya adalah : nyata,tidak khayal. Melalui karyanya The Course of Positive Philosophy (1830-1840) Menurutnya positivism adalah penerapan metode empiris dan ilmiah disetiap lapangan penelitian. Dalam karyanya tersebut ia menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positisme yang hingga saat ini masih berlaku. Ia menggambarkan cara berfikir manusia dalam melihat alam semesta melalui hukum tiga tahap. Dan istilah positisme mengacu pada tahapan tertinggi yaitu tahapan positif ,dimana manusia sudah menemukan pengetahuan yang memadai untuk menguasai alam. Manusia dituntut untuk menyelidiki dan mengkaji berbagai gejalabeserta berbagai hubungan diantara gejala-gejala tersebut sehingga manusia dapat meramalkan hal-hal yang terjadi. Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut sebagai konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif yang artinya konsep dan hukum tersebut bermanfaat jika diketahui, karena benar nyata dan tidak spekulatif.[8] Ia menolak metafisik dan teologik, menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Metode positif nya menempatkan akal (rasio) pada tempat yang sangat penting karena hanya menusia yang mampu memakai akal untuk mengubah tingkah laku dan perbuatanya dalam menyesuaikan diri dengan alam sekitar.[9]

b.      John Stuart Mill (1803-1873)
John Stuart Mill filsuf logika berkebangsaan Inggris, beliau memberikan landasan-landasan psikologi terhadap filsafat positive kerena bagi Mill, psikologi merepakan pengetahuan dasar bagi filsafat.
Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman, karena itu induksi adalah metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan , dan dia membagi ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan rohani dan ilmu pengetahuan Alam.[10]

c.       David Emile Durkheim
Seorang sosiolog perancis dalam karyanya  The rules of sociological method (1895) menguraikan satu versi positivism, dan kemudian menjadi acuan bagi para peneliti ilmu social yang beraliran positivistic. Menurutnya, objek studi sociologi adalah fakta social (social fact),  yakni dengan cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang ada diluar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu “ it consist of ways acting, thingking, and feeling, external to the individual, and endowed with a power of coercion by reason of wich control him

d.      Herbert Spencer (1820-1903)
Seorang Sosiolog Inggris dan pemikiranya berangkat dari biologi dan digunakan sebagai doktrin biologic, konsepnya diilhami dari evaluasi biologic dalam konsep tersebut, evolusi adalah proses paling sederhana ke kompleks, pengetahuan manusia menurutnya adalah terbatas pada kawasan phenomena, beliau adalah salah satu tokoh positive evolusioner.[11]

B.     POST POSITIVISME

1.      Sejarah munculnya post positivisme
Pada awal permulaan abad ke 20 sekolompok ilmuwan social tidak puas dengan cara yang digunakan oleh kelompok positivisime  dalam mencari fakta atau sebab dari gejala social, mereka tidak memperlihatkan keadaan individu secara holistic, malah membagi mereka dalam jumlah kategori dasar suatu system klasifikasi. Mereka mengelompokkan responden tanpa melihat latar belakang masing-masing secara utuh. Aliran ini berkembang dari mainstream ilmu-ilmu social jerman yang sarat dengan pemikiran platonic.[12]

2.      Paradigma Post positivisme
Kaum post positivisme tidak menerima adanya satu kebenaran , the truth. Rich mengemukakan kebenaran lebih kompleks daripada yang diduga. Pengalaman manusia begitu komplek sehingga tidak dapat diikat oleh satu teori tertentu menurut post positivisme teori itu harus terbuka “open –ended, non dogmatic, grounded in the circumatanses of everyday life
Kaum post positivisme mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir problema yang dikaji kaum ini mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi hasil akhir. Filsafat ini juga cenderung reduksionistis yang orientasinya adalah mereduksi gagasan-gagasan besar menjadi gagasan kecil yang terpisah untuk diuji lebih lanjut seperti halnya variabel-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah rumusan masalah dan hipotesis penelitian.[13]
Post positivisme mengikuti jalan lain daripada positivisme. Oleh karena itu penelitian itu dilakukan dalam situasi yang wajar atau dalam “ natural setting” maka metodenya disebut metode naturalistik. [14] penelitian ini pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitar, peneliti bukan mencari kebenaran mutlak. Peneliti mengakui adanya dunia luar selain dirinya akan tetapi dunia itu tidak dapat dikenal secara penuh, maka peneliti harus melihat dari segi pandangnya, atau dari segi pandang responden, dan pandangan itu pasti berbeda antara satu dengan yang lainya. Pandangan tidak semata-mata subjektif dan relativistik. Menurut peneliti kualitatif kebenaran tergantung pada dunia relitas empirik dan konsesus dalam masyarakat ilmuwan.
Secara ontologi, menuntut adanya pendekatan holistik, mendudukkan objek penelitian dalam suatu kontruksi “ganda” dan melihat objek dalam kontek “natural” bukan parsial, secara epistimologinya, menuntut bersatunya subjek peneliti dengan subjek pendukung objek penelitian. Keterlibatan dan penghayatan subjek peneliti di lapangan sangat menentukan keberhasilan ini, serta menolak “kerangka teori” sebagai langkah persiapan penelitian.
Post positivisme menggunakan tata pikir logis lebih dari sekedar kausal linier dan bertujuan membangun ilmu indiografik, secara aksiologi mengakui empat kebenaran yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logis, etik, dan transedental. Menurut Sutarmanto penedekatan kualitatif terdapat pada filsafat post positivisme dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Mencoba memperoleh gambaran yang lebih jelas
b.      Bersifat holistik
c.       Memahami makna
d.      Memandang hasil penelitian secara subjektif.[15]

3.      Tokoh –Tokoh Post Positivisme
a.       Karl A Ropper
Karl Raimund Popper, yang pada tahun 1934 menggebrak dunia filsafat sains dengan bukunya The Logic of Scientific Discovery. Dalam bukunya tersebut, Karl Popper melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa itu yang didominasi oleh Positivisme. Karl Popper mengajukan sebuah gagasan yang menarik mengenai falsifikasi. Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran teori lewat fakta-fakta.
Menurut Karl Popper, proses verifikasi sangatlah lemah. Verifikasi hanyalah bekerja melalui logika induksi. Logika induksi adalah penyimpulan suatu teori umum dari pembuktian fakta-fakta partikular. Karl Popper lebih condong untuk menggunakan falsifikasi. Jadi fokus penelitian sains bukan lah pembuktian positif, namun pembuktian negatif. Artinya fokus penelitian adalah untuk membuktikan bahwa suatu teori umum adalah salah dengan menyodorkan sebuah bukti yang membuktikan bahwa ia salah. Hal ini membuat penelitian ilmiah lebih efisien karena teori langsung dapat dipastikan gugur  hanya dengan sebuah fakta.
Berbeda dengan verifikasi yang membutuhkan banyak sample untuk bisa mengambil kesimpulan. Bahkan banyaknya sample itu pun sama sekali tidak bisa memastikan bahwa teori tersebut benar adanya. Karena sample, bagaimanapun juga hanyalah bagian kecil dari keseluruhan objek penelitian.
Kesimpulannya, dalam filsafat ilmu Karl Popper, selama suatu teori belum bisa difalsifikasi, maka ia akan dianggap benar. Artinya, keyakinan kebenaran terhadap teori tersebut adalah tidak mutlak, hanya merupakan keyakinan yang memadai. Atau bisa juga dikatakan bahwa dalam filsafat ilmu Popper, ada semacam mild skepticism terhadap sebuah teori.
Namun ketika teori tersebut difalsifikasi, maka hal tersebut akan menimbulkan keyakinan mutlak bahwa  teori tersebut salah. Artinya yang akan memberikan keyakinan mutlak adalah falsifikasi, bukan verifikasi. Hal ini berbeda dengan positivisme yang akan meyakini kebenaran mutlak suatu teori selama ia telah mengalami proses verifikasi sesuai  standar ilmiah positivisme.[16]

b.      Thomas Kuhn
Thomas Kuhn orang Ohio Amerika, dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivism empiric yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.[17]


















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Awal mula positivism pada abad ke 19 yang dipelopori oleh August comte yaitu masa dimana peneliti sengaja mengadakan perubahan dunia sekitar dengan melakukan eksperimen sedangkan post positivism muncul pada abad ke 20 sebagai reaksi atas positivism yang dipelopori oleh Karl R Popper
2.      a. Paradigma Positivisme
·         Ontologis
Positivisme berpandangan bahwa realitas itu tunggal, dan dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara mandiri, dapat dieliminasi dari objek lain dan dapat dikontrol
·       Epistimologi
Peneliti bisa dipisahkan dari objek yang diteliti untuk menjamin objektivitas ilmu yang dibangun ilmu yang dihasilkan disebut “nomotetik” yaitu berupa hukum-hukum yang disusun dari ciri umum atau generalisasi dan berlaku secara umum pada populasinya.
·       Aksiologi
Menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang bebas nilai dan juga agar dapat diciptakan hukum yang berlakunya bebas dari batasan waktu dan tempat.
c.    Paradigma Post positivism
·       Ontologi
Menuntut adanya pendekatan holistik, mendudukkan objek penelitian dalam suatu kontruksi “ganda” dan melihat objek dalam kontek “natural” bukan parsial
·       Epistimologi
Menuntut bersatunya subjek peneliti dengan subjek pendukung objek penelitian. Keterlibatan dan penghayatan subjek peneliti di lapangan sangat menentukan keberhasilan ini, serta menolak “kerangka teori” sebagai langkah persiapan penelitian
·       Aksiologi
Mengakui empat kebenaran yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logis, etik, dan trasedental.

3.          - Tokoh – tokoh positivism
a.       August comte
Menurutnya positivism adalah penerapan metode empiris dan ilmiah disetiap lapangan penelitian
b.      John Stuart Mill
Satu-satunya yang menjadi sumber penegetahuan ialah pengalaman
c.       David Emile Durkheim
Objek studi sociologi adalah fakta social (social fact),  yakni dengan cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang ada diluar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu.
d.      Herbert Spencer
pengetahuan manusia menurutnya adalah terbatas pada kawasan phenomena.
-          Tokoh-tokoh Post positivism
a.    Karl R Popper
Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran teori lewat fakta-fakta.
b.    Thomas Kuhn
Positivism empiric yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.

B.    Analisis
            Paradigma positivism merupakan dasar dari pada kuantitatif yang melihat sesuatu berdasarkan natural setting. Sehingga menilai sesuatu apa adanya atau tanpa melakukan sesuatu yan berarti untuk meningkatkan suatu object penelitian. Tidak semua object bisa ditetiti secara natural atau dihitung berdasarkan dengan angka. Sedangkan paradigma postpositivisme yang melandasi penelitian kualitatif , melihat sesuatu secara utuh (holistic) terkadang melihat sesuatu secara objektif karena peneliti terlibat secara langsung dalam peneltian, maka dibutuhkan komponen-komponen lain dalam analisis data sehingga terhindar dari penilaian objektif.

C.    Refleksi
Banyak pengetahuan yang diambil dari pembahasan ini berupa tidak semua objek bisa dinali dengan angka dan tidak semua realita bersifat natural karena realita bisa dirubah-rubah sesuai dengan kebutuhan.




























DAFTAR PUSTAKA


Creswell,  John W, Research Design: pendekatan kulitatif,kuantitatif dan metode campuran
Ihsan, Fuad.  2010. Filsafat Ilmu,  Jakarta : Rineka Cipta.
Kasiram,Moh. metodologi penelitian kualitatif-kuantitatif, UIN malang  press. Malang: 2008
Nasution,  S. 2002.  Metode penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito : Bandung
Salam, Burhanudin, 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Rineka Cipta :Jakarta
Upe, Ambo dan Damsid, 2010. Asas-Asas Multiple Research, Yogyakarta : Tiara Wacana.
Warkhopmbahlalar.com/2011/07/paradigma-ilmu-positivisme-postpositivisme-dan kontruktivistik/, diakses tanggal 5/11/2012




[1] S. Nasution. 2002, Metode penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, h 3
[3] Fuad Ihsan, 2010, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta. h 182
[4] Moh. Kasiram, 2008,Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, Malang:UIN malang  press. h 116
[5] Ida Bagoes Mantra, Op Cit. h 22-23
[6] Moh. Kasiram, Op Cit .h 116-117
[7] Ida Bagoes Mantra, Op Cit. h 23-25
[8] Ambo Upe dan Damsid, 2010. Asas-Asas Multiple Research, Yogyakarta:Tiara Wacana. h 46-47
[9] Ibid, h 22
[10] Burhanudin Salam.2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi,  Jakarta:Rineka Cipta, h 195-196
[11] Warkhopmbahlalar.com/2011/07/paradigma-ilmu-positivisme-postpositivisme-dan kontruktivistik/, diakses tanggal 5/11/2012 pukul 20.27
[12] Ibid, h 52
[13] John W Creswell, Research Design: pendekatan kulitatif,kuantitatif dan metode campuran, h 9
[14] S. Nasution, Op Cit.  h 5
[15] Ambo Upe dan Damsid, Op Cit , h 26-27

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...