BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
historis karena kelahiran ilmu tidak terlepas dari peran filsafat. Sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Kedudukan filsafat sebagai
induk dari ilmu pengetahuan, memiliki proses perumusan yang sangat sulit dan
membutuhkan pemahaman yang mendalam, sebab nilai filsafat itu hanyalah dapat
dimanifestasikan oleh seseorang filsuf yang otentik.
Perumusan
tersebut merupakan suatu stimulus atau rangsangan untuk memberikan suatu
bimbingan tentang bagaimana cara kita harus mempertahankan hidup. Manusia
sebagai makhluk pencari kebenaran, dalam eksistensinya terdapat tiga bentuk
kebenaran, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.
Dalam
filsafat ada tingga penyangga yang pertama adalah ontology yang merupakan asas penetapan
ruang lingkup serta asas penafsiran akan hakikat pokok objek penelitian, kedua,
epistimologi, yang merupakan asas metodologik pemerolehan dan penyusunan
bangunan pengetahuan, yang ketiga adalah aksiologi yang merupakan asas tujuan
dan pemanfaatan pengetahuan.
Filsafat
yang ada sudah berkembang sejak masa pra yunani kuno, yang kemudian berkembang
setelahnya adalah filsafat yunani kuno, abad pertengahan, masa rainessance pada
abad ke 14-17 M, kemudian pada abad ke 17-19 M memasuki masa filsafat zaman
Modern, hingga pada abad ke 19 memasuki filsafat abad kontemporer, salah satu
pemikiran yang terkenal adalah filsafat positivistic. Yang dikemukakan pertama
kali oleh August Comte yang sekarang menjadi bapak positivism. Dan datang
setelahnya adalah kritik terhadap positivisme yaitu post positivistic.
Dalam
makalah ini akan dibahas sedikit mengenai masa sejarah positivistic dan post
positivistic, dan bagaimana paradigma dari kedua aliran filsafat ini, serta
tokoh-tokoh yang ada dibalik adanya kedua aliran yang saling bertolak belakang
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Positivisme
1.
Sejarah
munculnya positivisme
Dari zaman Aristoteles (± 350 s.M) sampai David Hume (± 1750), jadi
selama kira-kira dua ribu tahun orang berpandangan bahwa apa yang terjadi
bersifat ilmiah. Peneliti dan pengamatan adalah hal yang pasif, artinya tidak
dengan sengaja memanipulasi lingkungan dan tidak mengadakan eksperimen dengan
lingkungan itu, masa itu disebut masa pra positivism.
Setelah
itu timbul pandangan baru yakni peneliti dapat dengan sengaja mengadakan
perubahan dalam dunia sekitar dengan melakukan eksperimen. Timbullah apa yang disebut
metode ilmiah. Orang percaya, bahwa kita dapat menemukan aturan-aturan,
hukum-hukum dan prinsip-prinsip tentang dunia kenyataan, baik dalam ilmu-ilmu
alam maupundalam ilmu-ilmu social, walaupun dianggap bahwa aturan-aturan itu
lebih sukar dicapai dalam ilmu-ilmu social, hukum-hukum itu dapat ditemukan
dari data empiris dengan menggunakan sampel yang luas. Masa itu disebut masa
positivisme.[1]
Terminologi positivisme dicetuskan pada pertengahan abad 19 oleh salah
satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte, Positivisme secara etimologi
berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu
peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita.
Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang
hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya
merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan
suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber danberpangkal pada
kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme.[2]
2.
Paradigma Positivisme
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yagn
positif dan dari sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkandalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.[3]
Sebagai suatu aliran pemikiran filsafat positivisme adalah suatu gerakan suatu
gerakan filsafat yang bercirikan penekanan pada ilmu dan metode ilmiah sebagai
satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang dengan tajam membedakan antara fakta
nyata dan nilai. Dan sangat menolak terhadap agama dan filsafat tradisional
terutama metafisik. Jadi positivism membatasi bidang filsafat dan ilmu pada
bidang dan gejala-gejalanya saja yang apat diamati, diukur, dianalisis dan
dapat dibuktikan dengan data empiris.[4]
Dalam memecahkan suatu masalah yang ada disekitar masyarakat,
positivisme berusaha mengetahui penyebab terjadinya masalah dan solusi dari
masalah tersebut dengan azas positivisme. Proses penelitian dikerjakan dua
tahap, yaitu
a.
Tahap
pertama, mengikuti cara yang dilakukan oleh kelompok rasionalisme Descrates .
ia membuat hipotesis tentang terjadinya masalah lewat teori dan hasil
penelitian yang telah dikaji kebenaranya dengan rasional. Penalaran yang
digunakan ialah penalaran deduktif.
b.
Tahapa
kedua, menguji hipotesis yang telah disusun dengan metode empiris yang hasilnya
dapat dapat diterima ataupun ditolak, jika hipotesis diterima maka statusnya
menjadi thesis, kebenaran atau dalil.
Dari proses penelitian yang dilakukan dalam memecahkan masalah diperkenalkan
filsafat ilmu pengetahuan baru yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme yaitu nalar deduktif dan induktif.[5]
Secara Ontologis, Positivisme berpandangan bahwa realitas itu
tunggal, dan dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara mandiri, dapat
dieliminasi dari objek lain dan dapat dikontrol. Implikasi metodologis dari
pandangan seperti ini adalah bahwa suatu kerangka tori yang dirumuskan haruslah
bersifat spesifikdan mengabaikan uraian yang terlalu luas dan tidak relevan.
Secara Epistimologis Peneliti bisa dipisahkan dari objek yang
diteliti untuk menjamin objektivitas ilmu yang dibangun ilmu yang dihasilkan
disebut “nomotetik” yaitu berupa hukum-hukum yang disusun dari cirri umum atau
generalisasi dan berlaku secara umum pada populasinya.
Sedangkan secara Aksiologi dalam aras positivisme akan menghasilkan
temuan-temuan ilmiah yang bebas nilai dan juga agar dapat diciptakan hukum yang
berlakunya bebas dari batasan waktu dan tempat.[6]
Apa yang dikerjakan oleh kelompok positivisme
dalam mengungkapkan penyebab terjadinya masalah sama dengan metode keilmuan.
Dan pada umumnya peneliitian-penelitian ilmiah mengikuti daur metode keilmuan.
Beberapa kelemahan dari paham positivisme dalam bidang penelitian adalah
sebagai berikut :
a. Dalam usaha memecahkan masalah dimasyarakat bertitik tolak konsep, teori,
dan hukum yang sudah mapan dan mungkin tidak relevan untuk situasi sosial yang
khas di masyarakat tersebut.
b. Penelitian bersifat verivikasi terhadap teori yang sudah ada, sehingga
manfaat terapan untuk perubahan sosial dalam masyarakat tersa terbatas.
c. Kaum positism mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari gejala sosial
dimasyarakat tanpa memperhatikan keadaan individu secara utuh.
d. Menggunakan pendekatan cross sectional studies dan bukan longitudinal
studies
e. Responden dibagi kedalam kategori-ketegori tertentu dan kelas-kelas berdasarkan
pada klasifikasi yang telah ditentukan sebelumnya.
f. Dalam mengumpulkan data dan informasi sering melibatkan banyak peneliti.
g. Analisi dilakukan setelah data dikumpulkan pada akhir penelitian.
Walaupun terdapat kelemahan namun penggunaanya
sangat luas terutama untuk penelitian sosial, dan sering disebut dengan “metode
survei”[7]
3.
Tokoh-Tokoh
Positivisme
a.
August
Comte ( 1798-1857)
Benama
lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, yang kemudian dianggap
sebagai bapak positivism, Arti positif baginya adalah : nyata,tidak khayal. Melalui
karyanya The Course of Positive Philosophy (1830-1840) Menurutnya
positivism adalah penerapan metode empiris dan ilmiah disetiap lapangan
penelitian. Dalam karyanya tersebut ia menguraikan secara garis besar
prinsip-prinsip positisme yang hingga saat ini masih berlaku. Ia menggambarkan
cara berfikir manusia dalam melihat alam semesta melalui hukum tiga tahap. Dan
istilah positisme mengacu pada tahapan tertinggi yaitu tahapan positif ,dimana
manusia sudah menemukan pengetahuan yang memadai untuk menguasai alam. Manusia
dituntut untuk menyelidiki dan mengkaji berbagai gejalabeserta berbagai hubungan
diantara gejala-gejala tersebut sehingga manusia dapat meramalkan hal-hal yang
terjadi. Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut sebagai konsep dan
hukum-hukum yang bersifat positif yang artinya konsep dan hukum tersebut
bermanfaat jika diketahui, karena benar nyata dan tidak spekulatif.[8] Ia
menolak metafisik dan teologik, menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai
kemajuan. Metode positif nya menempatkan akal (rasio) pada tempat yang sangat
penting karena hanya menusia yang mampu memakai akal untuk mengubah tingkah
laku dan perbuatanya dalam menyesuaikan diri dengan alam sekitar.[9]
b. John Stuart Mill (1803-1873)
John Stuart Mill filsuf logika berkebangsaan Inggris, beliau memberikan landasan-landasan psikologi
terhadap filsafat positive kerena bagi Mill, psikologi merepakan pengetahuan
dasar bagi filsafat.
Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan
ialah pengalaman, karena itu induksi adalah metode yang paling dipercaya dalam
ilmu pengetahuan , dan dia membagi ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan
rohani dan ilmu pengetahuan Alam.[10]
c.
David Emile Durkheim
Seorang sosiolog perancis dalam karyanya The rules of sociological method
(1895) menguraikan satu versi positivism, dan kemudian menjadi acuan bagi para
peneliti ilmu social yang beraliran positivistic. Menurutnya, objek studi
sociologi adalah fakta social (social fact), yakni dengan cara bertindak, berfikir dan
berperasaan yang ada diluar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan
mengendalikan individu “ it consist of ways acting, thingking, and feeling,
external to the individual, and endowed with a power of coercion by reason of
wich control him”
d.
Herbert Spencer (1820-1903)
Seorang Sosiolog Inggris dan pemikiranya berangkat dari
biologi dan digunakan sebagai doktrin biologic, konsepnya diilhami dari
evaluasi biologic dalam konsep tersebut, evolusi adalah proses paling sederhana
ke kompleks, pengetahuan manusia menurutnya adalah terbatas pada kawasan
phenomena, beliau adalah salah satu tokoh positive evolusioner.[11]
B. POST POSITIVISME
1. Sejarah munculnya post positivisme
Pada awal permulaan abad ke 20 sekolompok
ilmuwan social tidak puas dengan cara yang digunakan oleh kelompok
positivisime dalam mencari fakta atau
sebab dari gejala social, mereka tidak memperlihatkan keadaan individu secara
holistic, malah membagi mereka dalam jumlah kategori dasar suatu system
klasifikasi. Mereka mengelompokkan responden
tanpa melihat latar belakang masing-masing secara utuh. Aliran ini berkembang
dari mainstream ilmu-ilmu social jerman yang sarat dengan pemikiran platonic.[12]
2. Paradigma Post positivisme
Kaum post positivisme tidak menerima adanya
satu kebenaran , the truth. Rich mengemukakan kebenaran lebih kompleks daripada
yang diduga. Pengalaman manusia begitu komplek sehingga tidak dapat diikat oleh
satu teori tertentu menurut post positivisme teori itu harus terbuka “open –ended, non
dogmatic, grounded in the circumatanses of everyday life”
Kaum post positivisme mempertahankan filsafat
deterministik bahwa sebab-sebab sangat mungkin menentukan akibat atau hasil
akhir problema yang dikaji kaum ini mencerminkan adanya kebutuhan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi hasil akhir. Filsafat
ini juga cenderung reduksionistis yang orientasinya adalah mereduksi
gagasan-gagasan besar menjadi gagasan kecil yang terpisah untuk diuji lebih
lanjut seperti halnya variabel-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah
rumusan masalah dan hipotesis penelitian.[13]
Post positivisme mengikuti jalan lain daripada
positivisme. Oleh karena itu penelitian itu dilakukan dalam situasi yang wajar
atau dalam “ natural setting” maka metodenya disebut metode naturalistik. [14]
penelitian ini pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya,
berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitar,
peneliti bukan mencari kebenaran mutlak. Peneliti mengakui adanya dunia luar
selain dirinya akan tetapi dunia itu tidak dapat dikenal secara penuh, maka
peneliti harus melihat dari segi pandangnya, atau dari segi pandang responden,
dan pandangan itu pasti berbeda antara satu dengan yang lainya. Pandangan tidak
semata-mata subjektif dan relativistik. Menurut peneliti kualitatif kebenaran
tergantung pada dunia relitas empirik dan konsesus dalam masyarakat ilmuwan.
Secara ontologi, menuntut adanya pendekatan
holistik, mendudukkan objek penelitian dalam suatu kontruksi “ganda” dan
melihat objek dalam kontek “natural” bukan parsial, secara epistimologinya, menuntut bersatunya subjek peneliti dengan subjek pendukung objek penelitian.
Keterlibatan dan penghayatan subjek peneliti di lapangan sangat menentukan
keberhasilan ini, serta menolak “kerangka teori” sebagai langkah persiapan
penelitian.
Post positivisme menggunakan tata pikir logis lebih dari sekedar kausal linier dan bertujuan membangun ilmu
indiografik, secara aksiologi mengakui empat kebenaran yaitu kebenaran empirik
sensual, kebenaran empirik logis, etik, dan transedental. Menurut Sutarmanto penedekatan kualitatif terdapat pada filsafat post positivisme
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mencoba memperoleh gambaran yang lebih jelas
b. Bersifat holistik
c. Memahami makna
d. Memandang hasil penelitian secara subjektif.[15]
3. Tokoh –Tokoh Post Positivisme
a. Karl A Ropper
Karl Raimund Popper,
yang pada tahun 1934 menggebrak dunia filsafat sains dengan bukunya The
Logic of Scientific Discovery. Dalam bukunya tersebut, Karl Popper
melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa itu yang
didominasi oleh Positivisme.
Karl Popper mengajukan sebuah gagasan yang menarik mengenai falsifikasi.
Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran teori lewat
fakta-fakta.
Menurut Karl Popper,
proses verifikasi sangatlah lemah. Verifikasi hanyalah bekerja melalui logika
induksi. Logika induksi adalah penyimpulan suatu teori umum dari pembuktian
fakta-fakta partikular. Karl Popper lebih condong untuk menggunakan falsifikasi.
Jadi fokus penelitian sains bukan lah pembuktian positif, namun pembuktian
negatif. Artinya fokus penelitian adalah untuk membuktikan bahwa suatu teori
umum adalah salah dengan menyodorkan sebuah bukti yang membuktikan bahwa ia
salah. Hal ini membuat penelitian ilmiah lebih efisien karena teori langsung
dapat dipastikan gugur hanya dengan sebuah fakta.
Berbeda dengan
verifikasi yang membutuhkan banyak sample untuk bisa mengambil kesimpulan.
Bahkan banyaknya sample itu pun sama sekali tidak bisa memastikan bahwa teori
tersebut benar adanya. Karena sample, bagaimanapun juga hanyalah bagian kecil
dari keseluruhan objek penelitian.
Kesimpulannya, dalam
filsafat ilmu Karl Popper, selama suatu teori belum bisa difalsifikasi, maka ia
akan dianggap benar. Artinya, keyakinan kebenaran terhadap teori tersebut
adalah tidak mutlak, hanya merupakan keyakinan yang memadai. Atau bisa juga
dikatakan bahwa dalam filsafat ilmu Popper, ada semacam mild skepticism
terhadap sebuah teori.
Namun ketika teori
tersebut difalsifikasi, maka hal tersebut akan menimbulkan keyakinan mutlak
bahwa teori tersebut salah. Artinya yang akan memberikan keyakinan mutlak
adalah falsifikasi, bukan verifikasi. Hal ini berbeda dengan positivisme yang
akan meyakini kebenaran mutlak suatu teori selama ia telah mengalami proses
verifikasi sesuai standar ilmiah positivisme.[16]
b. Thomas Kuhn
Thomas
Kuhn orang Ohio Amerika, dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960
hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivism
empiric yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung
kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya
perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa
perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, perubahan yang sering
disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2)
dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang
berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan
pentingnya paradigma kultural,– terutama dalam karya intelektual untuk memahami
identitas manusia.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Awal
mula positivism pada abad ke 19 yang dipelopori oleh August comte yaitu masa
dimana peneliti sengaja mengadakan perubahan dunia sekitar dengan melakukan
eksperimen sedangkan post positivism muncul pada abad ke 20 sebagai reaksi atas
positivism yang dipelopori oleh Karl R Popper
2.
a.
Paradigma Positivisme
·
Ontologis
Positivisme
berpandangan bahwa realitas itu tunggal, dan dapat dipecah-pecah, dapat
dipelajari secara mandiri, dapat dieliminasi dari objek lain dan dapat
dikontrol
· Epistimologi
Peneliti
bisa dipisahkan dari objek yang diteliti untuk menjamin objektivitas ilmu yang
dibangun ilmu yang dihasilkan disebut “nomotetik” yaitu berupa hukum-hukum yang
disusun dari ciri umum atau generalisasi dan berlaku secara umum pada
populasinya.
· Aksiologi
Menghasilkan
temuan-temuan ilmiah yang bebas nilai dan juga agar dapat diciptakan hukum yang
berlakunya bebas dari batasan waktu dan tempat.
c.
Paradigma
Post positivism
· Ontologi
Menuntut adanya pendekatan holistik,
mendudukkan objek penelitian dalam suatu kontruksi “ganda” dan melihat objek
dalam kontek “natural” bukan parsial
· Epistimologi
Menuntut bersatunya subjek peneliti
dengan subjek pendukung objek penelitian. Keterlibatan dan penghayatan subjek
peneliti di lapangan sangat menentukan keberhasilan ini, serta menolak
“kerangka teori” sebagai langkah persiapan penelitian
· Aksiologi
Mengakui empat kebenaran yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran
empirik logis, etik, dan trasedental.
3.
- Tokoh – tokoh positivism
a.
August
comte
Menurutnya
positivism adalah penerapan metode empiris dan ilmiah disetiap lapangan
penelitian
b.
John
Stuart Mill
Satu-satunya
yang menjadi sumber penegetahuan ialah pengalaman
c.
David Emile Durkheim
Objek studi sociologi
adalah fakta social (social fact), yakni
dengan cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang ada diluar individu dan
mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu.
d.
Herbert
Spencer
pengetahuan
manusia menurutnya adalah terbatas pada kawasan phenomena.
-
Tokoh-tokoh
Post positivism
a.
Karl
R Popper
Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu
pengguguran teori lewat fakta-fakta.
b.
Thomas
Kuhn
Positivism empiric yang dianggap telah
mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke
arah post-positivisme yang lebih etik.
B. Analisis
Paradigma
positivism merupakan dasar dari pada kuantitatif yang melihat sesuatu
berdasarkan natural setting. Sehingga menilai sesuatu apa adanya atau
tanpa melakukan sesuatu yan berarti untuk meningkatkan suatu object penelitian.
Tidak semua object bisa ditetiti secara natural atau dihitung berdasarkan
dengan angka. Sedangkan paradigma postpositivisme yang melandasi penelitian
kualitatif , melihat sesuatu secara utuh (holistic) terkadang melihat sesuatu
secara objektif karena peneliti terlibat secara langsung dalam peneltian, maka
dibutuhkan komponen-komponen lain dalam analisis data sehingga terhindar dari
penilaian objektif.
C. Refleksi
Banyak pengetahuan yang diambil dari
pembahasan ini berupa tidak semua objek bisa dinali dengan angka dan tidak
semua realita bersifat natural karena realita bisa dirubah-rubah sesuai dengan
kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W,
Research Design: pendekatan kulitatif,kuantitatif dan metode campuran
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat
Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta.
Kasiram,Moh. metodologi penelitian kualitatif-kuantitatif, UIN
malang press. Malang: 2008
Nasution, S. 2002. Metode penelitian Naturalistik Kualitatif,
Tarsito : Bandung
Salam, Burhanudin, 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi,
Rineka Cipta :Jakarta
Upe, Ambo dan Damsid, 2010. Asas-Asas Multiple Research,
Yogyakarta : Tiara Wacana.
http://www.artikelbagus.com/2011/11/perkembangan-filsafat-ilmu-pada-tahun.html, diakses
tanggal 5/11/2012
http://aishkhuw.blogspot.com/2009/11/sejarah-positivisme.html, diakses tanggal 3/11/2012
Warkhopmbahlalar.com/2011/07/paradigma-ilmu-positivisme-postpositivisme-dan
kontruktivistik/, diakses
tanggal 5/11/2012
[1] S. Nasution. 2002, Metode penelitian Naturalistik Kualitatif.
Bandung: Tarsito, h 3
[2] http://aishkhuw.blogspot.com/2009/11/sejarah-positivisme.html, diakses tanggal 3/11/2012 pukul 14.45
[3] Fuad Ihsan, 2010, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka
Cipta. h 182
[4] Moh. Kasiram, 2008,Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif,
Malang:UIN malang press. h 116
[5] Ida Bagoes Mantra, Op Cit. h 22-23
[6] Moh. Kasiram, Op Cit .h 116-117
[8] Ambo Upe dan Damsid, 2010. Asas-Asas Multiple Research,
Yogyakarta:Tiara Wacana. h 46-47
[10]
Burhanudin Salam.2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi,
Jakarta:Rineka Cipta, h 195-196
[11] Warkhopmbahlalar.com/2011/07/paradigma-ilmu-positivisme-postpositivisme-dan
kontruktivistik/, diakses tanggal 5/11/2012 pukul
20.27
[13]
John W Creswell, Research
Design: pendekatan kulitatif,kuantitatif dan metode campuran, h 9
[15]
Ambo Upe dan Damsid, Op Cit , h 26-27
[16] http://panjikeris.wordpress.com/2012/03/22/teori-falsifikasi-karl-popper/ diakses tanggal 5/11/2012
[17] http://www.artikelbagus.com/2011/11/perkembangan-filsafat-ilmu-pada-tahun.html, diakses tanggal 5/11/2012
No comments:
Post a Comment