Saturday, June 8, 2019

FENOMENOLOGI (B)


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, tidak saja pada ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta obyektif. Jika faktanya adalah “Gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati” ilmu pengetahuannya adalah fisika. Maka  dalam hal ini yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pada pola pikir positivisme yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmi-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu social.[1]
Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’peran subyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.[2] Tulisan berikut ini lebih akan memfokuskan pada kajian metode fenomenologi.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl, yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subyek harus melepaskan atau – menurut istilah Husserl, menaruh antara tanda kurung semua pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini disebutnya epoche. Melaui proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur semantaranya yang tidak hakiki. sehingga tinggal eidos (hakikat obyek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran. Jelaslah disini bahwa fonomenologi Husserl menebas tradisi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan lewat konstuksi spekulatif di dalam budi. Bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.
Metode fonomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai gejala-gejala yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermagsud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fonomenologi bukanlah sekedar deskriptif atau normatif belaka, tetapi metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari satu fenomena.
B.   Rumusan Massalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.  Apa pengertian (filsafat) fenomenologi?
2.  Langkah-langkah kegiatan apa saja yang digunakan dalam fenomenologi?
3.  Apa pengaruh fenomenologi dalam praksis keilmuan modern?

C.   Tujuan makalah
Sesuai rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian filsafat fenomenologi.
2.      Untuk mengetahui langkah-langkah kegiatan dalam fenomenologi.
3.      Untuk mengetahui pengaruh fenomenologi dalam praksis keilmuan modern.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT FENOMENOLOGI
A.    Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu penentuan kesimpulan dari adanya gejala-gejala ;aliran filsafat oleh Edmund Husserl(1859-1938) tentang mausia dan kesadarannya ; manusia yang tahu dan mengalami; pengetahuan yang kita miliki hanya pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia.[3]
Menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak perlu harus diamati dengan panca indera, sebab fenomena juga dapat dilihat secara rohani, tanpa melewati indera, dan juga tidak perlu suatu peristiwa. Jadi apa yang kelihatan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “ hakekat segala sesuatu”.[4]
Bagi Husserl fenomena adalah data sejauh disadari atau sejauh masuk dalam pemahaman. Fenomena tidak mungkin lepas dari kesadaran atau dipisahkan dengan kesadaran. Fenomena dan kesadaran adalah suatu kesatuan yang identik. Fenomena yang diselidiki harus bersifat hakiki, harus murni tidak boleh terpengaruh oleh ruang dan waktu. Apabila kita mengamati sebatang pohon yang terdiri atas kayu, kulit serta daunnya, bukan berarti pohon hanya terdiri dari itu saja melainkan seluruh struktur kepohonannya, sejauh saya sadari seutuhnya itulah yang dimaksud fenomena.[5] Dalam fenomenologi, pengamatan bertujuan menemukan hakekat dan menghubungkan kesadaran dengan objek(bersatunya subjek dan objek).
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala sesuatu yang ada tentang objek sebelum dilakukan pengamatan intuitif. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya.  Reduksi ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologi bersikap netral. Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri.[6]

B.     Langkah-Langkah Kegiatan Dalam Fenomenologi
Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Edmund Husserl usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu itu melalui reduksi yakni terdiri dari:
1.      Reduksi fenomenologis
Reduksi fenomenologis adalah menyaring setiap keputusan yang secara naïf muncul terhadap objek yang diamati seperti keputusan yang subjektif sehingga fenomena tampak murni.[7]
Menurut Husserl, fenomena (gejala) yang kita hadapi bukanlah fenomena itu sendiri atau fenomena yang murni, melainkan disisipi data-data yang bersifat aksidental. Reduksi fenomenologis dimaksudkan mencapai fenomena murni dengan jalan mengurung data aksidental itu. Adapun data tersebut terutama terletak pada tiga bidang yaitu:
a.       Subjektivitas ialah mengurung segala sesuatu yang bersifat subjektif.
b.      Teori ialah mengurung hipotesis, anggapan dasar, antara lain asumsi dan postulat.
c.       Tradisi ialah mengurung segala sesuatu berdasarkan tradisi, adat, kebiasaan dan pendapat orang lain.
2.      Reduksi Eiditis
Reduksi yang bertujuan mencapai hakikat fenomena murni yang dilakukan pada dua taraf adalah sebagai berikut:
a.       Taraf pertama tidak akan dipersoalkan apakah fenomena itu benar ada atau tidak dengan maksud meniadakan masalah idealism dan realisme, tetapi hanya mempersoalkan apakah fenomena itu dan bagaimanakah fenomena itu.
b.      Taraf kedua dilakukan reduksi terhadap ciri-ciri yang tidak hakiki pada fenomena murni sehingga tercapailah hakikat fenomena murni.[8]
Reduksi eiditis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat di satukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.Tercapainya fenomena murni dalam kesadaran tidaklah berarti perjalanan sudah selesai, criteria fenomenologis harus dipenuhi. Oleh karena itu obyek yang dijadikan ajang pengamatan harus benar-benar hakiki. Objek hakiki tersebut oleh Husserl disebut eidos.
Eidos adalah intisari atau pokok sejati. Intisari ini tidak dapat dipahami sebagai sesuatu hal yang tersembunyi di balik atau di alam factual. Dalam fenomenologi tak ada sesuatu pun yang tersembunyi atau tertutup salah satu suatu yang lain. Segalanya terbuka dan menampakkan diri.[9]
3.      Reduksi transendental
Reduksi transendental ialah situasi dan kondisi subjek secara hakiki terbebas dari pengalaman empiris dalam rangka mengimbangi kemurnian fenomena sehingga yang tidak ada hubungannya dengan yang diteliti dibersihkan dengan kesadaran murni[10].
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi dalam system filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealism transendental seperti digambarkan diatas. Dan diceritakan hal itu bertentangan dengan tujuan semula. Namun semula, bagaimana jalan yang ditempuhnya dalam masalah itu sampai akhir hayatnya, tidak jelas. Pada umumnya pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang meenimbulkan idealism-transendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama. Kita harus melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung.[11]

C.    Tokoh dan Pokok-pokok Pikirannya
1.      Edmund Husserl (1859-1938)
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia.[12] . Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Jika kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap filsafat, kita harus mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl. Menurutnya fenomenologi itu merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomeno yang murni, kita harus mulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang murni”.
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menentukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan, pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu den Sactien selbt (to the things). Kembali pada” benda-benda” yaitu bahwa benda-benda diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “ benda-benda” tidak lagi bergantung pada orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat diperlukan pemikiran kedua(second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah wesenschau:melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.[13]
2.      Max Scheller (1874-1928)
Disamping Husserl adalah filosof fenomenologi, yaitu Max Scheler (1874-1928). Bagi Scheler, metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk memandang realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap bahan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurut Scheler ada tiga jenis fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu :
(1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.
3.      Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu : Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.

D.    Pengaruh Fenomenologi Dalam Praksis(Metodologi) Keilmuan Modern
Pendekatan fenomenologi ini sangat besar pengaruhnya di dalam filsafat belakangan ini. Bahkan, pendekatan ini digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu-ilmu social dan matematika. J.F. Donceel F.J, misalnya telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam bukunya Philosophical Antropology. Rouger Garaudy juga menggunakan metode fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik, kebudayaan-kebudayaan dan agama.(Juhaya S. Pradja,2000: 121-125).[14]
Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).
Dalam keilmuan modern,  fenomenologi sangat berpengaruh karena telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
.
E.     Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa:
1.      Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan
2.      Fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya,
3.      Menurut Husserl, usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari: reduksi fenomenologis, eiditis dan transendental.
4.      Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938].,Inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada obyek “benda-benda” sendiri, bukan pada interpretasi yang muncul dari subyek penelitinya semata.
5.      Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita itulah yang disebut fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya, atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena kesadaran semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya,dan fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
F.     Saran-saran
Adapun beberapa hal yang dapat kami sarankan yaitu :
1.       Hendaknya setiap kita selalu menanamkan pemahaman yang realistis
terhadap aliran-aliran yang ada dalam filsafat sebagai wahana pengaya pengetahuan tentang filsafat llmu.
2.       Kekurangan dari penyusunan dan penulisan ini hendaknya menjadi
pemacu bagi rekan mahasiswa yang lain untuk lebih membuka ide, wawasan dan menggali lebih dalam akan makna filsafat itu yang sesungguhnya.







[1] . Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,   (Yogyakarta, Belukar  2006), 124
[2] . Ibid, 126-127
[3] . Sutan Rajasa. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama.hal.169
[4] . Drs. Sudarsono.S.H. ilmu filsafat suatu pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.1993.hal.340-341
[5] . Drs. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.1997.hal.36
[6] . Drs.Atang Abdul Hakim & Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum dari mitologi sampai teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.2008.hal.404
[7] . Ibid.hal.33
[8] . Prof.Dr. Sutardjo A. Wiramihardja,Psi. Pengantar Filsafat. Bandung:PT.Refika Aditama.2007.hal.122-123
[9] . Drs. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT.Raja Grafindo  Persada.1997.hal.37
[10] . Drs.Atang Abdul Hakim & Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.2008. Hal.33
[12] . Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, , 1983hlm. 114

[13] . Drs.Atang Abdul Hakim & Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.2008.hal.403
[14] .Ibid. Hal.405

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...