BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun,
dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, tidak saja
pada ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Positivisme
mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta obyektif. Jika faktanya adalah
“Gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi. Jika fakta itu
“benda-benda mati” ilmu pengetahuannya adalah fisika. Maka dalam hal ini yang merupakan persoalan serius
yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pada pola pikir positivisme yang
memang sesuai bila diterapkan pada ilmi-ilmu alam, melainkan positivisme dalam
ilmu-ilmu social.[1]
Persoalan serius yang selalu
menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek
observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia
sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk
mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’peran
subyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada tiga pendekatan yang
sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial dengan menawarkan
metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai
bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika,
dan teori kritis.[2] Tulisan berikut ini lebih akan memfokuskan pada kajian metode
fenomenologi.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl, yang memperkembangkan
aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia.
Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali kepada data
bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya.
Subyek harus melepaskan atau – menurut istilah Husserl, menaruh antara tanda
kurung semua pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya
serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini
disebutnya epoche. Melaui proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari
unsur-unsur semantaranya yang tidak hakiki. sehingga tinggal eidos
(hakikat obyek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam
kesadaran. Jelaslah disini bahwa fonomenologi Husserl menebas tradisi yang
sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan
lewat konstuksi spekulatif di dalam budi. Bagi Husserl, pengetahuan sejati
adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk
membentuk teori.
Metode fonomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai
gejala-gejala yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga
bermagsud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fonomenologi
bukanlah sekedar deskriptif atau normatif belaka, tetapi metode ini memberikan
kepada kita arti yang lebih dalam dari satu fenomena.
B.
Rumusan Massalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka permasalahan dalam makalah
ini dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian (filsafat) fenomenologi?
2.
Langkah-langkah
kegiatan apa saja yang digunakan dalam fenomenologi?
3.
Apa
pengaruh fenomenologi dalam praksis keilmuan modern?
C.
Tujuan makalah
Sesuai rumusan masalah
diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian filsafat fenomenologi.
2.
Untuk
mengetahui langkah-langkah kegiatan dalam fenomenologi.
3.
Untuk
mengetahui pengaruh fenomenologi dalam praksis keilmuan modern.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT FENOMENOLOGI
A.
Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani
phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan.
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian
terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Fenomenologi adalah ilmu penentuan kesimpulan dari adanya
gejala-gejala ;aliran filsafat oleh Edmund Husserl(1859-1938) tentang mausia
dan kesadarannya ; manusia yang tahu dan mengalami; pengetahuan yang kita
miliki hanya pengetahuan yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia.[3]
Menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak perlu harus
diamati dengan panca indera, sebab fenomena juga dapat dilihat secara rohani,
tanpa melewati indera, dan juga tidak perlu suatu peristiwa. Jadi apa yang
kelihatan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya. Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian sebenarnya dengan cara menerobos semua
fenomena yang menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha
inilah yang dinamakan untuk mencapai “ hakekat segala sesuatu”.[4]
Bagi Husserl fenomena adalah data sejauh disadari atau sejauh masuk
dalam pemahaman. Fenomena tidak mungkin lepas dari kesadaran atau dipisahkan
dengan kesadaran. Fenomena dan kesadaran adalah suatu kesatuan yang identik.
Fenomena yang diselidiki harus bersifat hakiki, harus murni tidak boleh
terpengaruh oleh ruang dan waktu. Apabila kita mengamati sebatang pohon yang
terdiri atas kayu, kulit serta daunnya, bukan berarti pohon hanya terdiri dari
itu saja melainkan seluruh struktur kepohonannya, sejauh saya sadari seutuhnya
itulah yang dimaksud fenomena.[5] Dalam
fenomenologi, pengamatan bertujuan menemukan hakekat dan menghubungkan
kesadaran dengan objek(bersatunya subjek dan objek).
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan
pendekatan reduksi. Yang dimaksud dengan reduksi dalam hal ini adalah penundaan
segala sesuatu yang ada tentang objek sebelum dilakukan pengamatan intuitif.
Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang
digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya sebagai penempatan sesuatu
diantara dua karung. Namun yang dimaksud adalah “melupakan
pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan berusaha melihat objek
secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada
sebelumnya. Reduksi ini adalah salah
satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologi bersikap netral. Tidak
menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini
diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri.[6]
B.
Langkah-Langkah Kegiatan Dalam Fenomenologi
Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Edmund Husserl
usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu itu melalui reduksi yakni terdiri
dari:
1.
Reduksi
fenomenologis
Reduksi fenomenologis adalah menyaring setiap keputusan yang secara
naïf muncul terhadap objek yang diamati seperti keputusan yang subjektif
sehingga fenomena tampak murni.[7]
Menurut Husserl, fenomena (gejala) yang kita hadapi bukanlah
fenomena itu sendiri atau fenomena yang murni, melainkan disisipi data-data
yang bersifat aksidental. Reduksi fenomenologis dimaksudkan mencapai fenomena
murni dengan jalan mengurung data aksidental itu. Adapun data tersebut terutama
terletak pada tiga bidang yaitu:
a.
Subjektivitas
ialah mengurung segala sesuatu yang bersifat subjektif.
b.
Teori
ialah mengurung hipotesis, anggapan dasar, antara lain asumsi dan postulat.
c.
Tradisi
ialah mengurung segala sesuatu berdasarkan tradisi, adat, kebiasaan dan
pendapat orang lain.
2.
Reduksi
Eiditis
Reduksi yang bertujuan mencapai hakikat fenomena murni yang
dilakukan pada dua taraf adalah sebagai berikut:
a.
Taraf
pertama tidak akan dipersoalkan apakah fenomena itu benar ada atau tidak dengan
maksud meniadakan masalah idealism dan realisme, tetapi hanya mempersoalkan
apakah fenomena itu dan bagaimanakah fenomena itu.
b.
Taraf
kedua dilakukan reduksi terhadap ciri-ciri yang tidak hakiki pada fenomena
murni sehingga tercapailah hakikat fenomena murni.[8]
Reduksi
eiditis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku.
Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat di satukan
dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.Tercapainya fenomena murni dalam kesadaran tidaklah berarti
perjalanan sudah selesai, criteria fenomenologis harus dipenuhi. Oleh karena
itu obyek yang dijadikan ajang pengamatan harus benar-benar hakiki. Objek
hakiki tersebut oleh Husserl disebut eidos.
Eidos adalah intisari atau pokok sejati. Intisari ini tidak dapat
dipahami sebagai sesuatu hal yang tersembunyi di balik atau di alam factual.
Dalam fenomenologi tak ada sesuatu pun yang tersembunyi atau tertutup salah
satu suatu yang lain. Segalanya terbuka dan menampakkan diri.[9]
3.
Reduksi
transendental
Reduksi transendental ialah situasi dan kondisi subjek secara
hakiki terbebas dari pengalaman empiris dalam rangka mengimbangi kemurnian
fenomena sehingga yang tidak ada hubungannya dengan yang diteliti dibersihkan
dengan kesadaran murni[10].
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek
dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin
dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan
ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi dalam system filsafatnya, Husserl akhirnya
menjurus pada idealism transendental seperti digambarkan diatas. Dan
diceritakan hal itu bertentangan dengan tujuan semula. Namun semula, bagaimana
jalan yang ditempuhnya dalam masalah itu sampai akhir hayatnya, tidak jelas. Pada
umumnya pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya
sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya.
Pendekatan fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk
reduksi terakhir yang meenimbulkan idealism-transendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai
penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya.
Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu
atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat
dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama. Kita harus
melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita
menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung.[11]
C.
Tokoh dan Pokok-pokok Pikirannya
1. Edmund Husserl (1859-1938)
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk
seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund
Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di
Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di universitas ia belajar
ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian
juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia
mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen
sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di
Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode
yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya
diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk
menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya
dibawa ke Universitas Leuven di Belgia.[12] .
Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman
subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena
obyektif.
Jika
kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap filsafat, kita harus
mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl.
Menurutnya fenomenologi itu merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai
metode ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai
pada fenomeno yang murni, kita harus mulai dengan subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang murni”.
Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa
untuk menentukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda”
sendiri. Dalam bentuk slogan, pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat Zu
den Sactien selbt (to the things). Kembali pada” benda-benda” yaitu bahwa
benda-benda diberi kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya.
Pernyataan tentang hakikat “ benda-benda” tidak lagi bergantung pada orang yang
membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi, “benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan
hakikat dirinya. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran
biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu.
Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat
diperlukan pemikiran kedua(second look). Alat yang digunakan untuk menemukan
hakikat pada pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl
menunjukkan penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah
wesenschau:melihat (secara intuitif) hakikat gejala-gejala.[13]
2. Max Scheller (1874-1928)
Disamping
Husserl adalah filosof fenomenologi, yaitu Max Scheler (1874-1928). Bagi
Scheler, metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk memandang
realitas. Fenomenologi lebih merupakan sikap bahan suatu prosedur khusus yang
diikuti oleh pemikiran (diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini
kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan instuisi
(pengalaman fenomenologi).
Menurut Scheler ada tiga jenis fakta
yang memegang peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu :
(1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3) fakta
fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut
benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri
dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis
merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak
terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.
3. Maurice
Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin
seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti
pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan
diri dari dua ekstrim yaitu : Pertama hanya meneliti atau mengulangi
penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua
hanya memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut
realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan
Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat
mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia
mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa
syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu
deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan
dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan
perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya
persepsi untuk mencapai yang real.
D.
Pengaruh Fenomenologi Dalam Praksis(Metodologi) Keilmuan Modern
Pendekatan fenomenologi ini sangat besar pengaruhnya di dalam filsafat
belakangan ini. Bahkan, pendekatan ini digunakan dalam ilmu pengetahuan, seperti
ilmu-ilmu social dan matematika. J.F. Donceel F.J, misalnya telah menggunakan
pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia di dalam bukunya Philosophical
Antropology. Rouger Garaudy juga menggunakan metode fenomenologi dalam usahanya
memahami filsafat, sejarah politik, kebudayaan-kebudayaan dan agama.(Juhaya S.
Pradja,2000: 121-125).[14]
Konsep ini penting artinya,
sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi
baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund
Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental
Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt
) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi
alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).
Dalam keilmuan modern, fenomenologi sangat berpengaruh karena telah
memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah
mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek
yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
.
E.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat
kami simpulkan bahwa:
1.
Fenomenologi
(Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan
2.
Fenomenologi merupakan
suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami
realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya,
3.
Menurut Husserl, usaha
untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi atau penyaringan yang
terdiri dari: reduksi fenomenologis, eiditis dan transendental.
4.
Sebagai ‘aliran’ epistimologi,
fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938].,Inti pemikiran
fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar,
seseorang harus kembali pada obyek “benda-benda” sendiri, bukan pada
interpretasi yang muncul dari subyek penelitinya semata.
5.
Di mana ciri khas pemikiran Husserl
tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam
satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu
sendiri).Dengan pernyataan ini Husserl menghantar Kita untuk memahami realitas
itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan
diri kepada Kita. Namun sesungguhnya, usaha untuk kembali pada benda-benda itu
sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil
dalam keasadaran Kita. Apa yang tampil kepada Kita itulah yang disebut
fenomena. Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya,
atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada Kita. Karena kesadaran semestinya
merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya,dan fenomenologi
adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
F. Saran-saran
Adapun
beberapa hal yang dapat kami sarankan yaitu :
1. Hendaknya setiap kita selalu
menanamkan pemahaman yang realistis
terhadap
aliran-aliran yang ada dalam filsafat sebagai wahana pengaya pengetahuan
tentang filsafat llmu.
2. Kekurangan dari penyusunan dan
penulisan ini hendaknya menjadi
pemacu
bagi rekan mahasiswa yang lain untuk lebih membuka ide, wawasan dan menggali
lebih dalam akan makna filsafat itu yang sesungguhnya.
[1] . Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar
Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta,
Belukar 2006), 124
[3] . Sutan
Rajasa. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama.hal.169
[4] . Drs.
Sudarsono.S.H. ilmu filsafat suatu pengantar. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.1993.hal.340-341
[5] .
Drs. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.1997.hal.36
[6] . Drs.Atang
Abdul Hakim & Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum dari mitologi
sampai teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.2008.hal.404
[8] . Prof.Dr.
Sutardjo A. Wiramihardja,Psi. Pengantar Filsafat. Bandung:PT.Refika
Aditama.2007.hal.122-123
[9] .
Drs. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.1997.hal.37
[10]
. Drs.Atang
Abdul Hakim & Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi
Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.2008. Hal.33
[13] . Drs.Atang
Abdul Hakim & Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi
Sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.2008.hal.403
[14] .Ibid.
Hal.405
No comments:
Post a Comment