Saturday, June 8, 2019

AKSIOLOGI ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sebagai manusia dengan daya berpikir yang melebihi makhluk lain, hendaknya segala tingkah laku kita selalu dapat dipertanggung jawabkan serta sesuai dengan etika kemanusiaan. Apalagi kita telah mengenal ilmu sejak kecil. Maka tuntutan untuk dapat menciptakan masyarakat yang berbudaya ilmu pengetahuan memang selazimnya dibebankan kepada manusia.
Ilmu-ilmu kemanusiaan selalu mengalami pembaharuan dan perbaikan sesuai dengan kaidah atau norma kemajuan. Ilmu-ilmu ini selalu berada antara yang kurang menjadi sempurna, yang kabur menjadi jelas, yang bercerai-berai menjadi terpadu, yang keliru menjadi lebih benar dan yang masih rekaan manjadi lebih yakin.
Di tengah-tengah masyarakat muncul nilai-nilai yang memang tidak dapat dilihat dengan panca indra karena bersifat abstrak. Namun nilai memiliki peranan penting dalam merubah peradaban masyarakat termasuk manusia di dalamnya. Nilai tradisional yang melembaga dan terlalu mengikat akan menghambat perkembangan peradaban. Dan dengan adanya ilmu, merupakan salah satu solusi dari permasalahan tersebut.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku menyimpang serta kejahatan di kalangan masyarakat. Sehingga akan terwujud bangsa yang berbudaya ilmu pengetahuan, yang sesuai dengan perkembangan zaman modern ini, namun tidak terlepas dari kendali sebagai bangsa yang memiliki moralitas yan baik.
Pada pertemuan yang lalu, telah kita bahas secara tuntas tentang cabang filsafat ilmu yaitu epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan. Dan ada satu cabang filsafat ilmu lagi yaitu aksiologi atau teori nilai yang nantinya akan membahas tentang guna pengetahuan. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan hal-hal yang terkait dengan nilai atau dalam bahasa filsafatnya adalah aksiologi dan hubungan antara nilai dengan ilmu pengetahuan itu sendiri.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sangat jelas tadi, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa pengertian aksiologi?
2.      Apa saja penilaian dalam aksiologi?
3.      Apa kegunaan aksiologi dalam ilmu pengetahuan?
4.      Apakah nilai itu bersifat objektif atau subjektif?
5.      Bagaimana relasi antara nilai dan ilmu pengetahuan?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami aksiologi sebagai langkah awal dalam mempelajari bidang ini.
2.      Untuk mengetahui penilaian dalam aksiologi
3.      Untuk mengetahui kegunaan aksiologi dalam ilmu pengetahuan
4.      Untuk mengetahui apakah nilai itu bersifat objektif atau subjektif
5.      Untuk mengetahui hubungan antara nilai dengan ilmu pengetahuan.












BAB II
PEMBAHASAN

5.1  What is Aksiologi? What the Nature of  Value?
Aksiologi merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian. Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu Axios dan Logos. Axios yang berarti nilai dan Logos artinya ilmu atau teori. Secara istilah, aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas persoalan nilai. Biasanya para ahli filsafat menyebutnya dengan the theory of values. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[1]
Aksiologi secara mendalam membedakan antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai (value).[2] Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau dirumuskan akan muncul seperti ini Ada = Sesuatu + Nilai. Oleh karena itu sifat nilai selalu tergantung pada pengembannya yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilai bersifat parasitis.[3]
Lalu apa hakikat dari nilai itu sendiri? Pertanyaan ini belum bisa dijawab sebelum istilah hakikat itu sendiri belum dipahami. Secara singkat saja, hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya sesuatu. Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas terjilid dengan rapi. Nah  kertas itu yang merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Begitu juga halnya dengan hakikat nilai. Apa itu hakikat nilai? Berarti sebuah unsur yang harus ada sebagai syarat adanya nilai. Contoh, Gitar itu bagus! Apakah kita tahu nilai dari gitar itu? Sudah pasti, karena sudah disebutkan yaitu bagus. Disitulah letak nilai. Nilai disini memiliki arti netral, nilai tidak memihak, tapi mengidentifikasikan ini loh nilainya. Gitar itu bagus, jelek atau sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu di adanya pembedaan, antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar bagus. Dimana nilainya? Jelas "bagus" nilainya. Dimana pengembannya? Jelas "gitar" pengembannya. Dari sini dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak. Seperti, jelek, bagus, indah, samar, penyayang, hanya dapat diketahui disinilah letak kedudukan nilai. Sedangkan pengemban nilai tidak selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu sifatnya objektif.
Menurut Mautner, aksiologi sudah mulai digunakan sebagaimana seperti sekarang ini oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserl Scheeler dan Nicolai Hartmann. Scheeler mengontraskan aksiologi dengan praxeologi, yaitu sebuah teori dasar tentang tindakan, akan tetapi lebih sering dikontraskan lagi dengan deontology, yaitu sebuah teori mengenai tindakan baik secara moral.[4]
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian. Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya, karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Walaupun demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia.

5.2  Penilaian dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilaian yang umum digunakan yaitu:[5]
1. Etika
Etika berasal dari kata Yunani ethos dan ethiko. Ethos berarti watak, sifat, kebiasaan. Ethikos berarti keadaban dan tingkah laku yang baik. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah pandangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.[6]

2. Estetika
Estetika adalah bagian aksiologi yang membicarakn mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.[7] Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.

5.3  Kegunaan Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan
Aksiologi berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini,menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.[8] Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:[9]
1.      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life).
Dalam posisi ini filsafat menjadi jalan kehidupan. Jika dalam agama (Islam) dikatakan bahwa agama islam adalah al-shirat al-mustaqim, maka filsafat sebagai filsafat hidup demikian juga halnya. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai philosophy of life gunanya ialah untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3.      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Pandangan tentang filsafat yang ketiga ini adalah yang amat penting. Dalam hidup ini, kita sebagai manusia social pasti menghadapi banyak masalah. Dan tak heran pun ketika seseorang sedang ditimpa masalah, berbagai cara pun ia ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Contoh, ada orang yang menyelesaikan masalahnya dengan cara sains, adapula dengan cara filsafat dan inilah yang sedang kita bahas. How the philosophy solve the problems?
Bisa diibaratkan seperti ini, bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah-masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Sesuai dengan sifat filsafat, yaitu menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian masalah secara mendalam ialah menyelesaikan malasah dengan mencari tahu penyebab terjadinya masalah tersebut. Sedangkan universal artinya melihat dan mengkaji masalah seluas-luasnya.
Dengan penyelesaian masalah seperti itu, dapatlah dikatakan bahwa kegunaan filsafat itu luas sekali, di berbagai bidang pun filsafat bisa diterapkan.
  
5.4  Objektivitas dan Subjektivitas Nilai
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
Menurut Honnex seperti yang dikutip oleh Muhammad In'am Esha yaitu bahwa terdapat beberapa pandangan tentang objektivitas dan subjektivitas nilai,[10] sebagaimana berikut:
1.      Objektivisme Aksiologis
Menurut pandangan ini, penetapan nilai merupakan sesuatu yang dianggap objektif. Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur yang berada dalam realitas objektif. Bisa dikatakan nilai berasal dari suatu objek melalui ketertarikan.
Objektivisme merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai mendahului penilaian oleh karenanya validitas nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai. Dengan pengertian tersebut, spesifikasi nilai menurut objektivisme adalah:
·         Nilai bersifat tetap, mutlak, dan tak terubahkan
·         Nilai bukanlah penilaian, melainkan memiliki posisi sendiri secara objektif
Adapun masalah yang dihadapi oleh objektivisme adalah: pertama, mengalami kesulitan ketika harus memilih satu dari dua atau lebih dari dua hal yang objektif, contohnya: anda punya satu penawar racun. Anda dan teman anda keracunan, anda akan bingung karena anda memiliki prinsip harus menolong dan bertahan hidup. Anda harus mengorbankan salah satunya, objektivesme tidak mengizinkan hal ini. Oleh sebab itu dalam hal yang darurat objektivisme mengalami kelemahan. Kedua, dengan nilai memiliki posisinya sendiri maka nilai dilepaskan dari pengembannya, padahal identifikasi membutuhkan pengemban. Ketiga, menghilangkan relasi subjek-objek jadi seolah-olah subjek tidak berguna disini.

2.      Subjektivisme Aksiologis
Subjektivisme merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai tergantung pada kesadaran yang menilai oleh karenanya nilai sama dengan penilaian. Sesuatu itu bernilai karena ada subjek yang menilai. Frondizi dalam bukunya berpendapat bahwa nilai itu "subjektif" jika eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian.[11]
Dengan pengertian diatas, maka spesifikasi nilai menurut subjektivisme adalah:
·         Nilai bersifat relative
·         Bersifat relative dikarenakan nilai adalah penilaian, penilaian itu dilakukan oleh setiap orang dan setiap orang memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Masalah yang dihadapi subjektivisme juga tidak kalah menariknya dengan masalah objektivisme. Pertama, dikarenakan nilai bersifat relative maka tidak ada pedoman universal yang harus dijunjung, tidak ada peraturan apapun karena semuanya bersifat relatif, oleh karena itu maka subjektivisme bisa mengacaukan segala sesuatu. Kedua, subjektivisme bersikap netral terhadap pernyataan ini "apakah saya harus menghormati orang tua?", menurut subjektivisme, bisa dijawab "iya" ataupun "tidak" karena berdasar atas penilaian subjek saja. Misalnya subjeknya adalah seseorang yang sudah mapan, dia bisa saja berkata "mengapa saya harus menghormati orang tua? Padahal saya tang membiayai mereka saat ini".

3.      Relasionalisme Aksiologis
Relasionisme aksiologis memandang nilai sebagai hubungan saling terkait dengan variabel, atau sebagai produk dari hubungan antar variabel tersebut. Nilai tidak bersifat privat (subyektif) tetapi bersifat publik, sekalipun tidak bersifat obyektif dalam arti terlepas dari kepentingan.
Relasionisme aksiologis didukung oleh Dewey (instrumentalisme) yang berpandangan bahwa nilai adalah ketetapan hati atau kepuasan harmonis dari konflik-konflik yang terjadi dalam lingkungan sosial, sedangkan  Pepper (kontekstualisme) berpendapat bahwa suatu nilai muncul dari arena yang didalamnya telah dilakukan sesuatu dengan kualitas peristiwa yang ada didalamnya.

4.      Minimalisme Aksiologis
Minimalisme berpandangan bahwa penentuan nilai merupakan ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk, yang keduanya tidak bersifat faktual. Oleh sebab itu ilmu tentang nilai dipandang mustahil. Dalam pandangan minimalisme ini, nilai adalah sesuatu yang sulit dijelaskan dan nilai bersifat emotif, meski memiliki makna secara factual. Pandangan menyatakan bahwa nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subjek, objek ataupun sebagai hubungan.

5.5  Relasi antara Nilai dan Ilmu Pengetahuan
Problem relasi antara pengetahuan dan nilai muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat, terutama pada masa revolusi saintifik (scientific revolution) pada abad ke-17.[12] Pertanyaan yang diajukan sebenarnya sederhana, bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat mencapai tingkat obyektivitas murni? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat memberikan kebenaran yang bersifat universal, yang berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat bebas dari nilai?
Nilai merupakan tema yang selalu ramai dibicarakan dalam kajian para filosof akan tetapi perbedaan pendapat di kalangan mereka belum dapat dipertemukan. Sekelompok ilmuwan ada yang menganggap bahwa filsafat dan ilmu bebas nilai karena nilai dianggap tidak memadai untuk menjadi obyek ilmu. Alasannya, nilai sulit diobservasi dan diuji coba melalui eksperimen. Di sisi lain, ada juga ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu terikat oleh nilai. Sebab jika filsafat dan ilmu tidak dibingkai oleh nilai, maka hasil perenungan kefilsafatan dan hasil kajian keilmuan akan bergerak ke arah yang membahayakan. Kelompok terakhir ini, bahkan ada yang menyebut nilai sebagai ruhnya ilmu. Ilmu tanpa nilai dengan demikian diibaratkan seperti tubuh tanpa ruh atau mati dan berarti tidak berguna.
Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan memperoleh nilai ilmiah, universal dari filsafat, yaitu berupa wawasan atau pandangan yang menyeluruh, luas dan mendalam. Wawasan demikian sangat berguna bagi ilmu pengetahuan untuk selalu bersikap kritis terhadap lingkungannya.













BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dari paparan tentang aksiologi serta relasinya dengan ilmu pengetahuan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
·         Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu Axios dan Logos. Axios yang berarti nilai dan Logos artinya ilmu atau teori. Secara istilah, aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas persoalan nilai. Biasanya para ahli filsafat menyebutnya dengan the theory of values.
·         Penilaian dalam aksiologi yaitu ada etika dan estetika.
·         Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal:
1.      Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
2.      Filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life).
3.      Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah
·         Beberapa pandangan tentang objektivitas dan subjektivitas nilai
1.      Objektivisme aksiologis
2.      Subjektivisme aksiologis
3.      Relasionalisme aksiologis
4.      Minimalisme aksiologis
·         Relasi antara nilai dengan ilmu pengetahuan dapat diketahui bahwa setiap ilmu pengetahuan memperoleh nilai ilmiah, universal dari filsafat, yaitu berupa wawasan atau pandangan yang menyeluruh, luas dan mendalam. Wawasan demikian sangat berguna bagi ilmu pengetahuan untuk selalu bersikap kritis terhadap lingkungannya.

3.2  Penutup
Alhamdulillah, makalah dengan penjelasan yang singkat dan padat telah selesai disusun. Penulis telah menkombinasikannya dengan berbagai argumen para hli dan tentunya dengan literatur yang banyak dan berkualitas, maka janganlah ada keraguan untuk menjadikannya sebagai bahan bacaan tentunya. Semoga makalah ini dapat memberi sebuah pengetahuan serta pandangan dalam berfilsafat dan semoga tidak malah menambah kebigungan para pembaca tentang aksiologi.
Kritik membangun dari pembaca atau dari penelaah makalah ini sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya. Jazakumullahu khoiron katsir...


























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, 1990, Filsafat Umum, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
http://philosopherscommunity.blogspot.com, diakses tanggal 03 desember 2012
Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT. Pancaranintan Indahgraha.
Muhammad In'am Esha, 2010, Menuju Pemikiran Filsafat, Malang : UIN Press.
Reza A.A Wattimewa, 2008,Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar,Jakarta : PT. Grasindo
Risieri Frondizi, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sutardjo A. Wiramiharja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung : PT. Refika Aditama.
The Liang Gie. 2004, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty.


[1] Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT. Pancaranintan Indahgraha. Hal: 234.
[2] Risieri Frondizi, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal : 2.
[3] http://aprillins.com/2009/243/filsafat-nilai-sebuah-pengenalan/
[4] Sutardjo A. Wiramiharja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung : PT. Refika Aditama. Hal: 55.
[5] Ibid, hal : 37
[6] http://philosopherscommunity.blogspot.com
[7] The Liang Gie. 2004, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty.
[8] Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : PT. Pancaranintan Indahgraha. Hal : 233.
[9] Ahmad Tafsir, 1990, Filsafat Umum, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Hal: 42.
[10] Muhammad In'am Esha, 2010, Menuju Pemikiran Filsafat, Malang : UIN Press. Hal : 123-125.
[11] Risieri Frondizi, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal : 20.
[12] Reza A.A Wattimewa, 2008,Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar,Jakarta : PT. Grasindo. Hal:223

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...