BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai manusia dengan daya berpikir yang melebihi makhluk lain,
hendaknya segala tingkah laku kita selalu dapat dipertanggung jawabkan serta
sesuai dengan etika kemanusiaan. Apalagi kita telah mengenal ilmu sejak kecil. Maka
tuntutan untuk dapat menciptakan masyarakat yang berbudaya ilmu pengetahuan
memang selazimnya dibebankan kepada manusia.
Ilmu-ilmu kemanusiaan selalu mengalami pembaharuan dan perbaikan
sesuai dengan kaidah atau norma kemajuan. Ilmu-ilmu ini selalu berada antara
yang kurang menjadi sempurna, yang kabur menjadi jelas, yang bercerai-berai
menjadi terpadu, yang keliru menjadi lebih benar dan yang masih rekaan manjadi
lebih yakin.
Di tengah-tengah masyarakat muncul nilai-nilai yang memang tidak
dapat dilihat dengan panca indra karena bersifat abstrak. Namun nilai memiliki
peranan penting dalam merubah peradaban masyarakat termasuk manusia di
dalamnya. Nilai tradisional yang melembaga dan terlalu mengikat akan menghambat
perkembangan peradaban. Dan dengan adanya ilmu, merupakan salah satu solusi
dari permasalahan tersebut.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan yang
diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku menyimpang serta
kejahatan di kalangan masyarakat. Sehingga akan terwujud bangsa yang berbudaya
ilmu pengetahuan, yang sesuai dengan perkembangan zaman modern ini, namun tidak
terlepas dari kendali sebagai bangsa yang memiliki moralitas yan baik.
Pada pertemuan yang lalu, telah kita bahas secara tuntas tentang
cabang filsafat ilmu yaitu epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas
bagaimana kita memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang
membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan. Dan ada
satu cabang filsafat ilmu lagi yaitu aksiologi atau teori nilai yang nantinya
akan membahas tentang guna pengetahuan. Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis akan memaparkan hal-hal yang terkait dengan nilai atau dalam bahasa
filsafatnya adalah aksiologi dan hubungan antara nilai dengan ilmu pengetahuan
itu sendiri.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sangat jelas tadi, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian aksiologi?
2.
Apa saja penilaian dalam aksiologi?
3.
Apa kegunaan aksiologi dalam ilmu pengetahuan?
4.
Apakah nilai itu bersifat objektif atau subjektif?
5.
Bagaimana relasi antara nilai dan ilmu pengetahuan?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dan memahami aksiologi sebagai langkah awal dalam
mempelajari bidang ini.
2.
Untuk mengetahui penilaian dalam aksiologi
3.
Untuk mengetahui kegunaan aksiologi dalam ilmu pengetahuan
4.
Untuk mengetahui apakah nilai itu bersifat objektif atau subjektif
5.
Untuk mengetahui hubungan antara nilai dengan ilmu pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
5.1 What is Aksiologi? What
the Nature of Value?
Aksiologi merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian.
Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu Axios dan Logos. Axios
yang berarti nilai dan Logos artinya ilmu atau teori. Secara istilah,
aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas persoalan nilai. Biasanya
para ahli filsafat menyebutnya dengan the theory of values. Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.[1]
Aksiologi secara mendalam membedakan antara ada (being
[keberadaan]) dengan nilai (value).[2] Hal ini
dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Kalau
dirumuskan akan muncul seperti ini Ada = Sesuatu + Nilai. Oleh karena
itu sifat nilai selalu tergantung pada pengembannya yaitu Sesuatu. Hal
ini berarti nilai bersifat parasitis.[3]
Lalu apa hakikat dari nilai itu sendiri? Pertanyaan ini belum bisa
dijawab sebelum istilah hakikat itu sendiri belum dipahami. Secara singkat
saja, hakikat adalah unsur yang harus/wajib ada untuk adanya sesuatu.
Misalnya, apa yang membuat kita tahu bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang
paling utama adalah adanya kertas, yang kedua yaitu kertas terjilid dengan
rapi. Nah kertas itu yang
merupakan unsur utama dari sebuah buku.
Begitu juga halnya dengan hakikat nilai. Apa itu hakikat nilai?
Berarti sebuah unsur yang harus ada sebagai syarat adanya nilai. Contoh, Gitar
itu bagus! Apakah kita tahu nilai dari gitar itu? Sudah pasti, karena sudah
disebutkan yaitu bagus. Disitulah letak nilai. Nilai disini memiliki
arti netral, nilai tidak memihak, tapi mengidentifikasikan ini loh
nilainya. Gitar itu bagus, jelek atau sedang-sedang saja tetap memiliki nilai.
Oleh karena itu di adanya pembedaan, antara letak kedudukan nilai dan pengemban
nilai.
Gitar bagus. Dimana nilainya? Jelas "bagus" nilainya.
Dimana pengembannya? Jelas "gitar" pengembannya. Dari sini dapat
diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak. Seperti, jelek, bagus, indah,
samar, penyayang, hanya dapat diketahui disinilah letak kedudukan nilai.
Sedangkan pengemban nilai tidak selalu bersifat material tetapi juga
immaterial dan selalu sifatnya objektif.
Menurut Mautner, aksiologi sudah mulai digunakan sebagaimana
seperti sekarang ini oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserl Scheeler dan
Nicolai Hartmann. Scheeler mengontraskan aksiologi dengan praxeologi, yaitu
sebuah teori dasar tentang tindakan, akan tetapi lebih sering dikontraskan lagi
dengan deontology, yaitu sebuah teori mengenai tindakan baik secara moral.[4]
Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau
kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan
di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai
ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya
pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya
dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama,
bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan
ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam
melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan
maupun penggunaan produk penelitian. Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham
nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya, karena
dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Walaupun
demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata
melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan
sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru
menambah masalah bagi manusia.
5.2 Penilaian dalam
Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilaian yang umum digunakan yaitu:[5]
1. Etika
Etika berasal
dari kata Yunani ethos dan ethiko. Ethos berarti watak, sifat, kebiasaan.
Ethikos berarti keadaban dan tingkah laku yang baik. Etika adalah cabang
filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian
etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika
merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Di situ dipersoalkan mengenai
masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku
Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran
kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di
atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda
dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah
dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari
etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang
ia lakukan.
Didalam etika, nilai
kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah
tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap
diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem
filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.
Hedoisme adalah pandangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral
dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar
tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah
ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi,
adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut
Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik.
Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya
kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.[6]
2. Estetika
Estetika adalah bagian aksiologi yang membicarakn mengenai keindahan,
menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman,
seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.[7]
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai
keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan
semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan
sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bangun
pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita
merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah
tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung
mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan
sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
5.3 Kegunaan
Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan
Aksiologi
berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak
dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal
ini,menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu
bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau
justru malapetaka bagi umat manusia.[8] Memang
kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa
mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan
ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:[9]
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia
pemikiran.
Jika seseorang hendak
ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia,
atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan
mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life).
Dalam posisi ini
filsafat menjadi jalan kehidupan. Jika dalam agama (Islam) dikatakan bahwa
agama islam adalah al-shirat al-mustaqim, maka filsafat sebagai filsafat
hidup demikian juga halnya. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori
ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu
sebagai philosophy of life gunanya ialah untuk menjadi petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Pandangan tentang
filsafat yang ketiga ini adalah yang amat penting. Dalam hidup ini, kita sebagai
manusia social pasti menghadapi banyak masalah. Dan tak heran pun ketika
seseorang sedang ditimpa masalah, berbagai cara pun ia ditempuh untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Contoh, ada orang yang menyelesaikan
masalahnya dengan cara sains, adapula dengan cara filsafat dan inilah yang
sedang kita bahas. How the philosophy solve the problems?
Bisa diibaratkan
seperti ini, bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki
kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila
masalah-masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang
digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara
tuntas. Penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah
yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Sesuai dengan sifat
filsafat, yaitu menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal.
Penyelesaian masalah secara mendalam ialah menyelesaikan malasah dengan mencari
tahu penyebab terjadinya masalah tersebut. Sedangkan universal artinya melihat
dan mengkaji masalah seluas-luasnya.
Dengan penyelesaian
masalah seperti itu, dapatlah dikatakan bahwa kegunaan filsafat itu luas
sekali, di berbagai bidang pun filsafat bisa diterapkan.
5.4 Objektivitas
dan Subjektivitas Nilai
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan
diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu
faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah
terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris
dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya.
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas
melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya
tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil
dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau
terikat pada nilai subjektif.
Menurut Honnex seperti yang dikutip oleh Muhammad In'am Esha yaitu bahwa
terdapat beberapa pandangan tentang objektivitas dan subjektivitas nilai,[10]
sebagaimana berikut:
1. Objektivisme Aksiologis
Menurut pandangan ini, penetapan
nilai merupakan sesuatu yang dianggap objektif. Nilai, norma, ideal dan
sebagainya merupakan unsur yang berada dalam realitas objektif. Bisa dikatakan
nilai berasal dari suatu objek melalui ketertarikan.
Objektivisme merupakan
suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai mendahului penilaian oleh
karenanya validitas nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai. Dengan
pengertian tersebut, spesifikasi nilai menurut objektivisme adalah:
·
Nilai bersifat tetap,
mutlak, dan tak terubahkan
·
Nilai bukanlah
penilaian, melainkan memiliki posisi sendiri secara objektif
Adapun masalah yang
dihadapi oleh objektivisme adalah: pertama, mengalami kesulitan ketika harus
memilih satu dari dua atau lebih dari dua hal yang objektif,
contohnya: anda punya satu penawar racun. Anda dan teman anda keracunan, anda
akan bingung karena anda memiliki prinsip harus menolong dan bertahan hidup.
Anda harus mengorbankan salah satunya, objektivesme tidak mengizinkan hal ini.
Oleh sebab itu dalam hal yang darurat objektivisme mengalami kelemahan. Kedua,
dengan nilai memiliki posisinya sendiri maka nilai dilepaskan dari
pengembannya, padahal identifikasi membutuhkan pengemban. Ketiga,
menghilangkan relasi subjek-objek jadi seolah-olah subjek tidak berguna disini.
2. Subjektivisme Aksiologis
Subjektivisme merupakan
suatu paham yang beranggapan bahwa keberadaan nilai tergantung pada kesadaran
yang menilai oleh karenanya nilai sama dengan penilaian. Sesuatu itu bernilai
karena ada subjek yang menilai. Frondizi dalam bukunya berpendapat bahwa nilai
itu "subjektif" jika eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian.[11]
Dengan pengertian
diatas, maka spesifikasi nilai menurut subjektivisme adalah:
·
Nilai bersifat relative
·
Bersifat relative
dikarenakan nilai adalah penilaian, penilaian itu dilakukan oleh setiap orang
dan setiap orang memiliki penilaian yang berbeda-beda.
Masalah yang dihadapi
subjektivisme juga tidak kalah menariknya dengan masalah objektivisme. Pertama,
dikarenakan nilai bersifat relative maka tidak ada pedoman universal yang harus
dijunjung, tidak ada peraturan apapun karena semuanya bersifat relatif, oleh
karena itu maka subjektivisme bisa mengacaukan segala sesuatu. Kedua,
subjektivisme bersikap netral terhadap pernyataan ini "apakah saya harus
menghormati orang tua?", menurut subjektivisme, bisa dijawab
"iya" ataupun "tidak" karena berdasar atas penilaian subjek
saja. Misalnya subjeknya adalah seseorang yang sudah mapan, dia bisa saja
berkata "mengapa saya harus menghormati orang tua? Padahal saya tang
membiayai mereka saat ini".
3. Relasionalisme Aksiologis
Relasionisme
aksiologis memandang nilai sebagai hubungan saling terkait dengan variabel,
atau sebagai produk dari hubungan antar variabel tersebut. Nilai tidak bersifat
privat (subyektif) tetapi bersifat publik, sekalipun tidak bersifat obyektif
dalam arti terlepas dari kepentingan.
Relasionisme
aksiologis didukung oleh Dewey (instrumentalisme) yang berpandangan bahwa nilai
adalah ketetapan hati atau kepuasan harmonis dari konflik-konflik yang terjadi
dalam lingkungan sosial, sedangkan Pepper (kontekstualisme) berpendapat bahwa
suatu nilai muncul dari arena yang didalamnya telah dilakukan sesuatu dengan
kualitas peristiwa yang ada didalamnya.
4. Minimalisme Aksiologis
Minimalisme
berpandangan bahwa penentuan nilai merupakan ekspresi emosi atau usaha untuk
membujuk, yang keduanya tidak bersifat faktual. Oleh sebab itu ilmu tentang
nilai dipandang mustahil. Dalam pandangan
minimalisme ini, nilai adalah sesuatu yang sulit dijelaskan dan nilai bersifat
emotif, meski memiliki makna secara factual. Pandangan menyatakan bahwa nilai
sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subjek, objek ataupun
sebagai hubungan.
5.5 Relasi antara
Nilai dan Ilmu Pengetahuan
Problem relasi antara pengetahuan dan nilai muncul sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat, terutama pada masa revolusi
saintifik (scientific
revolution) pada abad ke-17.[12]
Pertanyaan yang diajukan sebenarnya sederhana, bisakah ilmu pengetahuan dan
filsafat mencapai tingkat obyektivitas murni? Bisakah ilmu pengetahuan dan
filsafat memberikan kebenaran yang bersifat universal, yang berlaku untuk
siapapun, kapanpun, dan dimanapun? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat bebas
dari nilai?
Nilai merupakan tema yang selalu ramai dibicarakan dalam kajian
para filosof akan tetapi perbedaan pendapat di kalangan mereka belum dapat
dipertemukan. Sekelompok ilmuwan ada yang menganggap bahwa filsafat dan ilmu
bebas nilai karena nilai dianggap tidak memadai untuk menjadi obyek ilmu.
Alasannya, nilai sulit diobservasi dan diuji coba melalui eksperimen. Di sisi
lain, ada juga ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu terikat oleh nilai. Sebab jika
filsafat dan ilmu tidak dibingkai oleh nilai, maka hasil perenungan
kefilsafatan dan hasil kajian keilmuan akan bergerak ke arah yang membahayakan.
Kelompok terakhir ini, bahkan ada yang menyebut nilai sebagai ruhnya ilmu. Ilmu
tanpa nilai dengan demikian diibaratkan seperti tubuh tanpa ruh atau mati dan
berarti tidak berguna.
Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan memperoleh nilai ilmiah,
universal dari filsafat, yaitu berupa wawasan atau pandangan yang menyeluruh,
luas dan mendalam. Wawasan demikian sangat berguna bagi ilmu pengetahuan untuk
selalu bersikap kritis terhadap lingkungannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari
paparan tentang aksiologi serta relasinya dengan ilmu pengetahuan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
·
Aksiologi berasal dari bahasa yunani yaitu Axios dan Logos.
Axios yang berarti nilai dan Logos artinya ilmu atau teori.
Secara istilah, aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas persoalan
nilai. Biasanya para ahli filsafat menyebutnya dengan the theory of values.
·
Penilaian dalam aksiologi yaitu ada etika dan estetika.
·
Untuk
mengetahui kegunaan filsafat ilmu, kita dapat memulainya dengan melihat
filsafat sebagai tiga hal:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia
pemikiran.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy of life).
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah
·
Beberapa pandangan
tentang objektivitas dan subjektivitas nilai
1.
Objektivisme aksiologis
2.
Subjektivisme aksiologis
3.
Relasionalisme aksiologis
4.
Minimalisme aksiologis
·
Relasi antara nilai dengan ilmu pengetahuan dapat diketahui bahwa setiap
ilmu pengetahuan memperoleh nilai ilmiah, universal dari filsafat, yaitu berupa
wawasan atau pandangan yang menyeluruh, luas dan mendalam. Wawasan demikian
sangat berguna bagi ilmu pengetahuan untuk selalu bersikap kritis terhadap
lingkungannya.
3.2
Penutup
Alhamdulillah,
makalah dengan penjelasan yang singkat dan padat telah selesai disusun. Penulis
telah menkombinasikannya dengan berbagai argumen para hli dan tentunya dengan
literatur yang banyak dan berkualitas, maka janganlah ada keraguan untuk
menjadikannya sebagai bahan bacaan tentunya. Semoga makalah ini dapat memberi
sebuah pengetahuan serta pandangan dalam berfilsafat dan semoga tidak malah
menambah kebigungan para pembaca tentang aksiologi.
Kritik
membangun dari pembaca atau dari penelaah makalah ini sangat diharapkan untuk
perbaikan makalah selanjutnya. Jazakumullahu khoiron katsir...
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Tafsir, 1990, Filsafat Umum,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
http://aprillins.com/2009/243/filsafat-nilai-sebuah-pengenalan/, diakses tanggal 03 desember 2012
Jujun S.
Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :
PT. Pancaranintan Indahgraha.
Muhammad In'am Esha, 2010, Menuju
Pemikiran Filsafat, Malang : UIN Press.
Reza A.A Wattimewa, 2008,Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar,Jakarta
: PT. Grasindo
Risieri
Frondizi, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sutardjo A. Wiramiharja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung :
PT. Refika Aditama.
The Liang Gie. 2004, Pengantar Filsafat
Ilmu, Yogyakarta : Liberty.
[1] Jujun
S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta
: PT. Pancaranintan Indahgraha. Hal: 234.
[3] http://aprillins.com/2009/243/filsafat-nilai-sebuah-pengenalan/
[4] Sutardjo A. Wiramiharja, 2006, Pengantar Filsafat, Bandung :
PT. Refika Aditama. Hal: 55.
[6] http://philosopherscommunity.blogspot.com
[8] Jujun
S. Suriasumantri, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta
: PT. Pancaranintan Indahgraha. Hal : 233.
[12] Reza A.A Wattimewa, 2008,Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar,Jakarta
: PT. Grasindo. Hal:223
No comments:
Post a Comment