Bab 1
A.
Pendahuluan
Pengetahuan
(knowledge) adalah sesuatu yang diketahui langsung dari pengalaman, berdasarkan
pancaindra, dan diolah oleh akal budi secara spontan. Pada intinya, pengetahuan
bersifat spontan, subjektif dan intuitif. Pengetahuan dapat dibedakan menjadi
pengetahuan non-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan non-ilmiah
adalah hasil serapan indra terhadap pengalaman hidup sehari hari yang tidak
perlu dan tidak mungkin diuji kebenarannya. Sedangkan pengetahuan pra-ilmiah
adalah hasil serapan indra dan pemikiran rasional yang terbuka terhadap
pengujian lebih lanjut menggunakan metode metode ilmiah.
Ilmu
(sains) berasal dari Bahasa Latin scientia yang berarti knowledge. Ilmu
dipahami sebagai proses penyelidikan yang berdisiplin. Ilmu bertujuan untuk
meramalkan dan memahami gejala gejala alam. Ilmu pengetahuan ialah pengetahuan
yang telah diolah kembali dan disusun secara metodis, sistematis, konsisten dan
koheren. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan tadi harus dipilah
(menjadi suatu bidang tertentu dari kenyataan) dan disusun secara metodis,
sistematis serta konsisten. Tujuannya agar pengalaman tadi bisa diungkapkan
kembali secara lebih jelas, rinci dan setepat-tepatnya.
Metode
Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang
sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam
penelitian disebut metode ilmiah.
Sedangkan Kebenaran
ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini. Sering kali
dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan
negara akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah
melakukan tindakan yang benar.
Kebenaran tidak mungkin
berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik
pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan,
berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral. Untuk mencapai sebuah
kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional,
hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum
kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan
menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat,
ataupun filsafat Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
metode ilmiah?
2. Pengertian
kebenaran ilmiah?
3. Langkah
langkah yang dibutuhkan dalam metode ilmiah?
4. Kriteria
metode ilmiah?
5. Teori
teori kebenaran ilmiah?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui metode ilmiah
2. Untuk
mengetahu kebenaran ilmiah
3. Untuk
mengetahui langkah yang dibutuhkan dalam metode ilmiah
4. Untuk
mengetahui kriteria metode ilmiah
5. Untuk
mengetahui tori teori kebenaran ilmiah
Bab
II
Pembahasan
A.
Pengertian
metode ilmiah
Metode
ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola
kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Metode secara etimologi berasal dari
kata Yunani meta yang berarti sesudah, hodos yang
berarti jalan. Jadi metode berarti langkah langkah yang diambil, menurut urutan
tertentu, untuk mencapai pengetahuan yang benar yaitu sesuatu tatacara, teknik,
atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan
jenis apapun, baik pengetahuan humanistik dan historis, ataupun pengetahuan
filsafat dan ilmiah.[1]
B.
Pengertian
kebenaran ilmiah
Yang
dimaksud dengan kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti
kebenarannya menurut norma norma keilmuan. Adapun kebenaran yang pasti adalah
mengenai suatu objek yang materi, yang diperoleh menurut objek forma, metode
dan system tertentu. Karena itu, kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif,
tidak subjektif. Artinya, terkandung di dalamnya sejumlah pengetahuan menurut
sudut pandang yang berbeda beda, tetapi saling bersesuaian. Dengan demikian,
dapat dipastikan ia tahan terhadap verifikasi baik empirik maupun rasional. Hal
ini wajar, karena sudut pandang, metode dan sistem yang dipakai juga bersumber
dari pengalaman maupun akal pikiran.[2]
Kebenaran
adalah kenyataan adanya (being) yang menampakkan diri sampai masuk akal.
Pengalaman tentang kebenaran itu dialami akal si pengenal dalam kesamaannya
dengan kenyataan adanya yang menampakkan diri kepadanya. Karena kesamaan itu
memang dicari dan dikejar namun belum tercapai, maka menurut pengalaman manusia
si pengenal, kebenaran itu tanpa hentinya mewujudkan diri sambil ditentukan
dari luar, tanpa pernah mencapai kesamaan sempurna.[3]
Kebenaran
(truth) memiliki berbagai macam makna, misalnya keadaan ketika terjadi
kesesuaian dengan fakta khusus atau realitas, atau keadaan yang sesuai dengan
hal hal yang nyata, kejadian kejadian nyata, atau aktualisasi. Kebenaran juga
berarti suatu hal yang cocok dengan aslinya atau sesuai dengan ukuran ukuran
yang ideal.
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan beberapa
arti tentang kebenaran, yaitu (1) keadaan yang benar (cocok dengan hal atau
keadaan sesungguhnya); (2) sesuatu yang benar (sungguh sungguh ada, betul demikian
halnya); (3) kejujuran, ketulusan hati; (4) selalu izin, perkenanan; dan (5)
jalan kebetulan.
Berbagai
macam teori dan pandanga tentang kebenaran telah menjadi perdebatan di kalangan
para ahli filsafat. Ada berbagai macam pernyataan tentang apakah yang membentuk
suatu kebenaran; bagaimana mendeifinisikan dan mengidentifikasi kebenaran; dan
apakah kebenaran itu objektif, subjektif, relatif, atau absolute.
Di
masa Yunani Kuno, istilah “kebenaran” sudah menjadi istilah yang dikenal oleh
para filsuf, yang memiliki definisi yang terlentang dalam sejarah dengan apa
yang diasosiasikan dengan topik topik, seperti logika,geometri, matematika,
deduksi,induksi, dan filsafat alam. Gagasan gagasan para filsuf Yunani, seperti
Socrates, Plato, dan Aristoteles tentang
kebenaran umumnya dilihat sebagai suatu yang sesuai dengan teori kebenaran
korespodensi, yang mengatakan bahwa kepercayaan yang benar dan pernyataan yang
benar itu cocok dengan situasi yang aktual. Di kalangan filsif Muslim, teori
kebenaran juga berkembang. Ibnu Sina, salah satu filsuf Muslim awal,
mendefinisikan kebenaran bahwa kebenaran adalah apa yang cocok dalam pikiran
terhahap apa yang di luarnya.[4]
C.
Langkah
langkah yang dibutuhkan dalam metode ilmiah
Kebenaran
ilmiah yang meskipun dikuasai oleh relativitasnya, selalu berpatokan kepada
beberapa hal mendasar, yaitu:
1)
Adanya teori
yang dijadikan dalil utama dalam mengukur fakta fakta aktual
2)
Adanya data data
yang berupa fakta atau realitas senyatanya dan realitas dalam dokumen tertentu
3)
Adanya
pengelompokkan fakta dan data yang signifikan
4)
Adanya uji
validitas
5)
Adanya penarikan
kesimpulan yang operasional
6)
Adanya fungsi
timbal balik antara teori dan realitas
7)
Adanya
pengembangan dialektika terhadap teori yang sudah teruji
8)
Adanya
pembatasan wilayah penelitian yang proporsional
Ciri
ciri tersebut merupakan “citra” ilmu pengetahuan dan metode ilmiah. Oleh karena
itu, menurut Juhaya S. Pradja (1997), metode ilmiah dimulai dengan pengamatan
pengamatan, kemudian memperkuat diri dengan pengalaman dan menarik kesimpulan atas
dasar pembuktian yang akurat.
Dalam
metode penelitian yang menaati metode ilmiah, tahapan tahapan penelitian harus
sistematis dan sesuai dengan prosedur atau terencana dengan matang. Tahapan
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Penentuan lokasi
penelitian
Dalam
menentukan lokasi penelitian perlu dipertimbangkan hakikat masalah yang hendak
diteliti, kemampuan peneliti untuk melanjutkan penelitian, waktu yang tersedia
sesuai target yang ditentukan, sarana dan prasarana, fasilitas penelitian, dan
sebagainya.
2.
Penentuan metode
penelitian
Metode
penelitian akan berkaitan dengan teknik pengumpulan data, apakah menggunakan
pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, dominasi
filsafat ilmu cukup kuat, karena penalaran ilmiah lebih banyak menggunakan
logika, baik deduktif maupun induktif. Di antara jenis penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan metode penelitian eksploratif
dan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian eksploratif bertujuan untuk memahami eksistensi dan relevansi
antara berbagai fenomena dalam perilaku sosial secara komprehensif. Metode
penelitian deskriptif dipergunakan untuk menggambarkan berbagai gejala dan
fakta yang terdapat dalam kehidupan sosial secara mendalam.
3.
Penentuan sumber
data
Informasi
data dalam penelitian diperoleh melalui dua sumber, yakni lapangan dan dokumen.
Sumber data lapangan adalah seorang tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat
pemerintahan, dan sebagainya yang merupakan sumber data primer. Sumber
informasi dokumen primer dapat berupa arsip arsip yang berkaitan dengan masalah
penelitian, misalnya undang undang, peraturan keanggotaan semacam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Sumber sumber skunder dapat berupa buku buku
tentang subject matter yang ditulis orang lain, dokumen dokumen yang
merupakan hasil penelitian dan hasil laporan.
4.
Tahap tahap
penelitian
Penelitian
yang menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif
dilaksanakan dengan tahapan tahapan berikut.
a) Tahap orientasi. Dalam tahap
ini, peneliti akan mengumpulkan data secara umum.
b) Tahap eksplorasi. Tahap ini
dilakukan untuk mengumpulkan data yang lebih spesifik. Observasi dilakukan pada
hal hal yang berhubungan dengan focus penelitian.
c) Tahap membercheck. Dalam kegiatan
wawancara dan pengamatan, data yang terkumpul dicatat dan dibuat dalam bentuk
laporan. Hasilnya dikemukakan untuk dicek kebenarannya. Agar hasil
penelitiannya sahih, membercheck dilakukan setelah wawancara.
5.
Teknik
pengumpulan data
Dalam
penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif, pengumpulan data
dilakukan langsung oleh peneliti. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan:
a. Peneliti
merupakan alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang diperkirakan bermakna bagi peneliti
b. Peneliti
sebagai alat yang dapat langsung menyesuaikan diri terhadap segala aspek yang
diteliti sehingga dapat memahami situasi dalam berbagai tingkah laku. Demikian
pula, penelitian dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
6.
Analisis data
Analisis
data secara sistematis dilakukan dengan tiga langkah secara bersamaan.
Pertama,
reduksi
data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan data, pengabstrakan dari transformasi data besar yang muncul
dari catatan catatan tertulis di
lapangan.
Kedua,
penyajian
data, yakni penyajian sekumpulan informasi sistematis yang member kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian tersebut dapat
berbentuk matrik, grafik, jaringan, dan bagan.
Ketiga,
penarikan
kesimpulan ataun verifikasi. Langkah verifikasi, dilakukan sejak permulaan,
pengumpulan data, pembuatan pola pola, penjelasan konfigurasi konfigurasi yang mungkin, dan alur sebab akibat serta
proposisi.
7.
Teknik
pemeriksaan data
Dalam
pemeriksa data kualitatif, terdapat beberapa kriteria. Menurut Moleong dalam
Nasution (1988:25), pemeriksaan data kualitatif adalah sebagai berikut:
a) Derajat
kepercayaan (creadibility)
Kredibilitas
ini merupakan konsep pengganti validitas internal dalam penelitian kualitatif.
b) Keteralihan
(transferbility)
Konsep
ini merupakan pengganti dari validitas eksternal dalam penelitian kualitatif.
c) Kebergantunga
(dependability)
Konsep
ini merupakan pengganti konsep reability dalam penelitian kualitatif. Reability
tercapai apabila alat alat ukur digunakan secara berulang ulang dan hasil
serupa.
d) Kepastian
(confirmability)
Konsep
ini pengganti konsep objektivitas dalam penelitian kualitatif. Pada penelitian
kualitatif, objektivitas diukur melalui orangnya atau peneliti sendiri.[5]
D. Kriteria metode ilmiah
Supaya
suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode
tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.
Berdasarkan
Fakta, Keterangan-keterangan yang ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang
akan dikumpulkan dan yang dianalisa haruslah berdasarkan fakta-fakta yang
nyata. Janganlah penemuan atau pembuktian didasar-kan pada daya khayal,
kira-kira, legenda-legenda atau kegiatan sejenis.
2.
Bebas
dari Prasangka, Metode ilmiah harus mempunyai sifat bebas prasangka, bersih dan
jauh dari pertimbangan subjektif. Menggunakan suatu fakta haruslah dengan
alasan dan bukti yang lengkap dan dengan pembuktian yang objektif. Apabila
hasil dari suatu penelitian, misalnya, menunjukan bahwa ada ketidak sesuaian
dengan hipotesis, maka kesimpulan yang diambil haruslah merujuk kepada hasil
tersebut, meskipun katakanlah, hal tersebut tidak disukai oleh pihak pemberi
dana.
3.
Menggunakan
Prinsip Analisa, Dalam memahami serta memberi arti terhadap fenomena yang
kompleks, harus digunakan prinsip analisa. Semua masalah harus dicari
sebab-musabab serta pemecahannya dengan menggunakan analisa yang logis, Fakta
yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanya atau hanya dibuat
deskripsinya saja. Tetapi semua kejadian harus dicari sebab-akibat dengan
menggunakan analisa yang tajam.
4.
Menggunakan
Hipotesa, Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntun dalam proses berpikir
dengan menggunakan analisa. Hipotesa harus ada untuk mengonggokkan persoalan
serta memadu jalan pikiran ke arah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang
ingin diperoleh akan mengenai sasaran dengan tepat. Hipotesa merupakan pegangan
yang khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti.
5.
Menggunakan
Ukuran Obyektif, Seorang peneliti harus selalu bersikap objektif dalam mencari
kebenaran. Semua data dan fakta yang tersaji harus disajikan dan dianalisis
secara objektif. Pertimbangan dan penarikan kesimpulan harus menggunakan
pikiran yang jernih dan tidak berdasarkan perasaan.
6.
Menggunakan
Teknik Kuantifikasi, Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim
harus digunakan, kecuali untuk artibut-artibut yang tidak dapat
dikuantifikasikan Ukuran-ukuran seperti ton, mm, per detik, ohm, kilogram, dan
sebagainya harus selalu digunakan Jauhi ukuran-ukuran seperti: sejauh mata
memandang, sehitam aspal, sejauh sebatang rokok, dan sebagai¬nya Kuantifikasi
yang termudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, ranking dan rating.[6]
Ada beberapa kriteria di dalam buku Ilmu pengetahuan
dan metodenya yang diterjemahkan oleh Mooris R dan Ernest Nagel, yaitu sebagai
berikut:
1)
Fakta fakta dan metode ilmiah
Metode ilmu pengetahuan tidak ingin memaksakan
keinginan dan harapan manusia atas perubahan benda benda dengan cara yang tak
terduga duga. Bahkan metode ilmiah bisa saja digunakan untuk memuaskan
keinginan manusia. Tetapi pemanfaatannya secara berhasil tergantung pada
percobaan, dengan hati hati dan terlepas dari apa yang menjadi keinginan
manusia, untuk mengenal, dan mengambil keuntungan darinya, struktur yang
dimiliki oleh perubahan itu.
a. Secara konsekuen, metode ilmiah ini berusaha untuk
mengetahui apa fakta itu sesungguhnya, dan penggunaan metode harus dibimbing
oleh fakta fakta yang telah diketahui
b. Setiap penyelidik muncul dari satu masalah yang
dirasakan, sehingga tidak ada satu pun penyelidikan yang berlangsung tanpa suatu
seleksi atau saringan terhadap pokok persoalan yang ada.
c. Kemampuan untuk merumuskan masalah masalah yang
pemecahannya dapat ikut memecahkan masalah lainnya, merupakan bakat yang jenius
sekali, yang menuntut suatu kemampuan yang luar biasa.
d. “Fakta” yang dicapai oleh setiap penyelidikan adalah
proposisi proposisi, yang kebenarannya menuntut bukti jelas.
2)
Hipotesis dan metode ilmiah
Metode ilmu pengetahuan akan mustahil, jika hipotesis
hipotesis yang diajukan sebagai pemecahan itu tidak dapat diuraikan lebih
lanjut untuk memperlihatkan apa yang dinyatakan. Makna sepenuhnya suatu
hipotesis diketahui melalui implikasi implikasinya.
a. Hipotesis hipotesis diajukan kepada seorang peneliti
karena sesuatu yang ada dalam pokok persoalan yang sedang diselidiki atau karena
pengetahuannya sebelumnya mengenai pokok persoalan yang lain.
b. Hipotesis diperlukan pada setiap tingkat penyelidikan.
c. Hipotesis dapat dipandang sebagai usul kaitan yang
mungkin ada di antara fakta fakta aktual atau fakta fakta yang dibayangkan.
d. Jumlah hipotesis yang bisa dihadapi seorang peneliti
tidak ada batasnya, dan itulah fungsi sifat imaginasinya.
e. Kita perlu memiliki, katakan saja dalam gudang
persediaan, hipotesis hipotesis yang berbeda, yang konsekuensinya telah
diselidiki dengan cermat.
f. Uraian deduktif mengenai hipotesis hipotesis, bukanlah
tugas utama metode ilmiah
g. Tidak ada satu pun hipotesis yang mendukung suatu
proposisi umum dapat ditunjuk sebagai yang benar secara absolut.
3)
Bukti dan metode ilmiah
Metode ilmiah menempuh jalan keraguan sistematis.
Tetapi ini tidak berarti meragukan semua hal, karena ini jelas tidak
mungkin. Akan tetapi selalu mempertanyakan apa kekurngan suatu bukti yang abash
dalam kedudukannya sebagai pendukung.
a. Ilmu pengetahuan tidak puas dengan kepastian
psikologis, karena intensitas suatu keyakinan yang dianut bukanlah suatu
jaminan kebenaran.
b. Tidak ada satu pun proposi yang berhubungan dengan
masalah fakta berada di balik setiap keraguan yang berarti.
c. Dengan demikian ilmu pengetahuan selalu siap untuk
meninggalkan suatu teori bila fakta fakta menuntutnya.
4)
Sifat abstrak teori teori ilmiah
Tidak ada satu pun teori yang menegaskan segala
sesuatu yang mungkin dapat ditegaskan mengenai suatu persoalan.
a. Semua teori menyangkut abstraksi dari pokok persoalan
yang kongkret.
b. Karena abstraknya sifat teori teor, maka ilmu
pengetahuan sering tampaknya bertentangan dengan akal sehat.
5)
Jenis jenis teori ilmiah
Penjelasan ilmiah terdiri dari beberapa peraturan atau
hukum mengungkapkan suatu watak yang sama dari seperangkat kejadian serta
kejadian kejadian khusus, yang ingin dijelaskan.
a. Akan tetapi, jelas kiranya bahwa sampai tingkat
tertentu proses penjelasan harus sampai tuntas.
b. Ada beberapa jenis “hukum” yang sering digunakan
sebagai penjelasan terhadap fenomena.[7]
Kriteria ilmiah menurut tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM adalah
sebagai berikut:
a. Tahap pertama adalah observasi, yang dimaksud
adalah bahwa tahap ini berbuat lebih dari sekedar melakukan pengamatan biasa.
Kenyataan empirik yang terjadi maka objeknya diselidiki, dikumpulkan,
diidentifikasi, didaftar, dan
diklasifikasikan secara ilmiah
b. Tahap kedua adalah induksi, yang dimaksud
adalah dipermudah dengan digunakannya alat alat bantu matematika dalam
merumuskan serta mengumpulkan data data empirik. Pengukuran secara kuantitatif
terhadap besaran besaran tertentu yang saling berhubungan, maka hubungan
tersebut dapat digambarkan dalam simbol matematika. Apabila suatu kejadian
terjadi secara berulang ulang (terjadi keajegan), maka pernyataan umum tersebut
memperoleh kedudukan sebagai hukum.
c. Tahap ketiga adalah deduksi logis, yang
dimaksud adalah data data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem
pernyataan yang runtut. Penyusunan sistem semacam ini juga tergantung
dipergunakannya pengertian pengertian operasional tertentu, yaitu bahasa buatan dalam rangka
teori ilmiah.
d. Tahap keempat adalah observasi eksperimental,
yang dimaksud adalah pernyataan yang telah dijabarkan secara deduktif (secara
rasional). Diuji dengan melakukan verifikasi atau klarifikasi secara empirik. Verifikasi
atau klarifikasi secara empirik
dimaksudkan untuk mengukuhkan pernyataan pernyataan rasional hasil deduksi
sebagai teori. Verifikasi untuk mengukuhkan atau mengugurkan pernyataan
pernyataan rasional hasil dari deduksi deduksi logis.[8]
E. Teori teori kebenaran ilmiah
Terdapat
tiga teori yang popular yaitu teori koheren, koresponden dan teori pragmatik, kiranya
memang cocok untuk dipakai sebagai landasan dasar pengukuran kebenaran ilmiah.
1. Teori
Koheren (coheren theory). Teori ini dikembangkan oleh kaum
idealis, dan sering disebut sebagai teori saling hubungan atau teori
konsistensi. Disebut demikian karena teori ini menyatakan bahwa kebenaran
secara tepat antara ide ide yang sebelumnya telah diakui kebenarannya.
2. Teori
Koresponden (correspondence theory). Teori ini diterima secara luas oleh
kaum idealis, maka teori koresponden ini diterima oleh kaum realis dan bahkan
mungkin oleh kebanyakan orang. Teori ini antara lain menyatakan bahwa jika
suatu pertimbangan sesuai denga fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak,
maka pertimbangan itu salah. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta fakta itu
sendiri.
3. Teori
kegunaan (pragmatic theory). Teori ini memandang dari sisi menyeluruh,
umum, universal, dan ideal.[9]
Dalam
perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah sejak
Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog
membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang
awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan
penyempurnaan penyempurnaan sampai kini. Sebagaimana dikemukakan seorang filsuf
abad XX Jaspers sebagaimana yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemukakan
bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan
filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Teori kebenaran selalu parallel dengan
teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori teori kebenaran yang telah terlambang
itu antara lain adalah:
1. Teori Koresponden. Yaitu teori
kebenaran yang paling awal dan paling tua
yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala
sesuatu yang kita ketahui adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan
yang dikenal oleh subjek. Atau dengan kata lain adalah suatu pengetahuan yang
mempunyai salaing kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya, atau bagaimana
dikemukakan dengan Randal dan Buchler dalam buku Philosophy an introduction menyatakan bahwa “A belief is called “true” if
it “agrees” with a fact”.
2. Teori Kebenaran Koherensi.
Menurut Kattsoff (1986) dalam buku Elements of Philosophy “suatu
proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita”. Dengan
memperhatikan dua kutipan yang bernada sama maka dapat diungkapkan dengan bahasa yang lebih
sederhana bahwa teori kebenaran
koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan yaitu suatu proposisi itu
atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi yang
terdahulu yang bernilai benar. Sebagai contoh kita sebagai bangsa Indonesia
pasti memiliki pengetahuan bahwa Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jum at tanggal 17 Ramadhan. Jika
seseorang hendak membuktikannya tidak dapat langsung melalui kenyataan dalam
objektivanya, karena kenyataan tersebut telah berlangsung 67 tahun yang lalu.
Untuk membuktikannya, maka harus melalui ungkapan ungkapan tentang fakta itu,
yaitu melalui sejarah atau dapat diafirmasikan kepada orang orang yang
mengalami dan mengetahui kejadian itu.
3. Teori Kebenaran Pragmatis.
Kattsof (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa
penganut pragmatism melatakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam
konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman pengalaman, pernyataan itu
adalah benar.
4. Teori Kebenaran Sintaksis.
Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan
sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa
yang melakatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar bila
pernyataan itu mengikuti aturan aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata
lain itu mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi
itu tidak mempunyai arti.
5. Teori Kebenaran Semantis.
Teori kebenaran semantik yang dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang
dikembangkan oleh paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari
filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori kebenaran semantik suatu proposisi
memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi yang
merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai pangacu (referent) yang jelas.
Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan proposisi dalam
referensinya itu.
6. Teori Kebenaran Non Diskripsi. Teori
kebenaran non diskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai
benar yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu.
7. Teori Kebenaran Logik yang berlebih lebihan.
Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya
merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu
pemborosan, karena pada dasarnya apa pernyataan yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing masing saling
melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat
logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama,
memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita
membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang
berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang
hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau
data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri
telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri.[10]
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Metode
secara etimologi berasal dari kata Yunani meta yang berarti
sesudah, hodos yang berarti jalan. Jadi metode berarti langkah
langkah yang diambil, menurut urutan tertentu, untuk mencapai pengetahuan yang
benar yaitu sesuatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah dirancang dan
dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik pengetahuan
humanistik dan historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Yang
dimaksud dengan kebenaran ilmiah adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti
kebenarannya menurut norma norma keilmuan.
Langkah
langkah yang dibutuhkan dalam metode ilmiah,
Penentuan lokasi penelitian, Penentuan metode penelitian, Penentuan
sumber data, Tahap tahap penelitian, Teknik pengumpulan data, Analisis data,
Teknik pemeriksaan data.
Kriteria
metode ilmiah sebagai berikut: Berdasarkan Fakta, Bebas dari Prasangka,
Menggunakan Prinsip Analisa, Menggunakan Hipotesa, Menggunakan Ukuran Obyektif.
Teori
teori kebenaran ilmiah yang
popular yaitu teori koheren, koresponden
dan teori pragmatik.
Daftar Pustaka
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Bandung, CV
Pustaka Setia, 2009, http://baimsangadji.blogspot.com/2010/11/makalah-metode-ilmiah_14.html
Bosco Carvallo, Sonny Keraf,
A, Andrea Ata ujan, Ilmu pengetahuan dan metodenya, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, 1988
Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum,
Jogjakarta, Ar Ruzz Media, 2011
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan,
Jogjakarta, Ar-Ruzz, 2005
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 2010
Verhaak dan R. Haryono Imam,
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, PT Gramedia, 1989
[6] http://baimsangadji.blogspot.com/2010/11/makalah-metode-ilmiah_14.html, diakses 10 Oktober 2012
pukul 6.43
[7] Bosco Carvallo, Sonny
Keraf, A, Andrea Ata ujan, Ilmu pengetahuan dan metodenya, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 1988, h 134-141
No comments:
Post a Comment