BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu merupakan sesuatu
yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan
kebutuhan manusia terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Ilmu telah
banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai masalah kehidupan pelik lainnya. Ilmu tidak bisa
berdiri sendiri tanpa disertai dengan pengetahuan, dengan integrasi ilmu dan
pengetahuan diperlukan filsafat sebagai sarana untuk berfikir serta untuk mendapatkan
ilmu dan pengetahuan.
Banyak persoalan yang
timbul semenjak ilmu pengetahuan berkembang, hal ini dipandang dalam dua
wilayah, yaitu ilmu pengetahuan dipandang dalam aspek secara umum dan aspek
dari segi agama.
Dewasa ini, persoalan hubungan ilmu dan
agama lebih mengemukakan dalam ranah etis. Teknologi sebagai anak kandung ilmu
dianggap telah menghasilkan dampak negatif bagi kelestarian alam semesta, baik berupa
pencemaran lingkungan, bencana alam maupun pada kerusakan moralitas manusia. Sebagai
contoh ilmu pengetahuan dipandang sebagai dampak negatif ketika bidang
kedokteran menemukan teknologi cloning dan berbagai rekayasa genetika
yang hendak diterapkan pada manusia. Disinilah diperlukan integritas antara
ilmu pengetahuan dan agama.
Kebenaran ilmu dan agama (dalam hal ini
agama Islam) dianalogikan sebagaimana sinar yang ‘satu’ yang menyinari suatu
ruangan yang memiliki jendela dengan beragam warna. Setiap jendela akan
memancarkan warna yang bermacam-macam sesuai dengan warna kacanya. Demikianlah
ia menggambarkan bahwa kebenaran berasal dari Yang Satu, dan tampak muncul
beragam kebenaran tergantung sejauh mana manusia mampu menangkap kebenaran itu.
Kebenaran yang ditangkap ilmuwan hanyalah sebagian yang mampu ditangkap dari
kebenaran Tuhan (wahyu), demikian pula kebenaran yang ditangkap oleh
agamawan. Dengan demikian, kebenaran yang ditangkap ilmuwan dan agamawan
bersifat komplementer, saling melengkapi.
Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah bagaimana substansi ilmu
pengetahuan itu dari sudut pandang moderen dan Agama Islam (al-Qur’an dan
Hadis)?
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang sudah diuraikan maka penulis merumuskan permasalahan,
yaitu “bagaimana hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif Moderen dan Islam
(al-Qur’an dan Hadis)”.
2.
Batasan Masalah
Yang
menjadi batasan masalah dalam makalah ini adalah :
a.
Bagaimana hakikat ilmu pengetahuan ?
b.
Bagaimana ilmu pengetahuan dipandang dari sudut
pandang dunia moderen ?
c.
Bagaimana ilmu pengetahuan dipandang dari sudut
pandang dunia Islam (al-Qur’an dan Hadis) ?
BAB II
HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN
A.
Depenisi Ilmu Pengetahuan
1.
Pengertian Ilmu dan Pengetahuan
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahsa Arab,
yaitu ‘Alima, Ya’lamu, ‘Ilman yang berarti mengerti, mengetahui dan
memahami dengan benar. Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari
kata Science, yang berasal dari bahasa latin scienta dari bentuk
kata scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui.[1]
Menurut The Liang Gie Ilmu Sebagai Pengetahuan,
aktivitas atau metode merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu adalah
rangkaian aktivitas manusia yang di laksanakan dengan metode tertentu, yang
akhirnya aktivitas metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah.
Menurut Sumarna, ilmu dihasilkan dari pengetahuan
ilmiah yang berangkat dari perpaduan proses berfikir deduktif (rasional) dan
berfikir induktif (empiris), jadi proses berfikir inilah yang membedakan antara
ilmu dan pengetahuan.
Jujun S. Surisumantri menyatakan bahwa pada hakikatnya
ilmu mempelajari alam sebagaimana asalnya dan terbatas pada ruang lingkup
pengalaman kita, sedangkan pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan
untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia dan
untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepadanya.[2]
Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan cammon sense, suatu pengetahuan
yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun
dilanjutkan secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.[3]
Jadi bisa dikatakan bahwa pengetahuan (knowledge)
adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh
secara bisa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran,
informasi dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) di dalamnya
terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sitematis, metodis,
ilmiah, dan mencakup kebenaran umum (general truth) mengenai objek studi
yang bersifat fisis (natural).
Sejalan dengan itu dapat dipahami bahwa ilmu dan
pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lain, yang mana ilmu membentuk daya
intelegensia yang melahirkan adanya skill atau keterampilan, dan
pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang melahirkan tingkah laku
kehidupan manusia.
Maka, ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan
mengenai sesuatu hal tertentu (obyek/lapangan) yang merupakan suatu kesatuan
yang sistematis dan memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat
dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab kejadian itu.[4]
2.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Sehubungan dengan adanya berbagai sumber, sifat-sifat,
karakter dan susunan ilmu pengetahuan, maka pandangan tentang ilmu pengetahuan
itu orang mengutarakan pembagian ilmu pengetahuan (classification). Hal
ini tergantung dari cara dan tempat para ahli itu meninjaunya, pada zaman purba
dan abad pertengahan pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan “artis
liberalis” atau kesenian merdeka yang terdiri dari dua bagian[5],
yaitu:
a.
Trivium atau tiga bagian ialah :
1)
Gramatika, bertujuan agar manusia dapat berbicara yang
baik
2)
Dialektika, bertujuan agar menusia dapat berfikir
dengan baik, formal dan logis.
3)
Retorika, bertujuan agar manusia dapat berbicara
dengan baik.
b.
Quadrivium, atau empat bagian adalah :
1)
Arimatika, ilmu hitung
2)
Geometerika, ilmu ukur
3)
Musika, ilmu musik
4)
Astronomia, ilmu perbintangan
Pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
sudut pandang.[6]
a.
Berdasarkan cara memperolehnya :
1)
Pengetahuan dengan kehadiran (knowledge by present
/ al-ilm al-hudlury) yaitu pengetahuan yang hakikat objek yang diketahui
tersebar dan tersaksikan secara langsung pada diri subjek yang mengetahui atau
pelaku persepsi
2)
Pengetahuan diusahakan (acquired knowledge / al-ilm
al-husuli) yaitu pengetahuan yang eksistensi objek tidak secara langsung
tersaksikan oleh subjek, tetapi subjek menangkapnya melalui perantara yang
mencerminkan objek berupa konsep mental.
b.
Berdasarkan sumbernya
1)
Pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan diperoleh dari
serapan indera baik lahir maupun batin
2)
Pengetahuan rasional yaitu pengetahuan yang diperoleh
dari penalaran rasional seperti ungkapan ½ lebih kecil dari keseluruhan.
3)
Pengetauan intuitif atau visi spiritual yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui intuitif atau kasyaf.
4)
Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu, diriwayatkan
atau dinukilkan.
c.
Berdasarkan kepentingannya
1)
Pengetahuan Dimonatif
Yaitu
pengetahuan yang digunakan untuk melakukan dominasi kekuasaan.
2)
Pengetahuan Deskriptif
Yaitu
pengetahuan yang digunakan untuk mendeskripsiakn fenomena.
3)
Pengetahuan Emansipatoris
Yaitu
pengetahuan yang digunakan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat tertindas.
3.
Persyaratan menjadi sebuah ilmu pengetahuan
Ada
tiga hal pokok yang menjadi persyaratan ilmu pengetahuan, yaitu :
a.
Pengakuan atas adanya kenyataan bahwa setiap manusia
terlepas dari kasta, kepercayaan, jenis kelamin atau usia, mempunyai hak yang
tidak dapat diganggu gugat atau dipersoalkan lagi untuk mencari ilmu.
b.
Metode ilmiah itu tidak hanya pengamatan atau
eksperimentasi, tetapi juga teori dan sistematisasi. Ilmu pengetahuan mengamati
faktor-faktor, mengklasifikasikannya, menunjukkan hubungan-hubungannya dan
menggunakannya sebagai dasar untuk menyusun teori.
c.
Semua orang harus mengakui bahwa ilmu pengetahuan
berguna dan berarti untuk individu maupun sosial.
4.
Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu penegetahuan diukur dari logia atau tidaknya
pengetahuan itu, kelogisan itulah yang membuat suatu ilmu pengetahuan menjadi
sebuah kebenaran, karena berbicara masalah ukuran ilmu pengetahuan berarti
berbicara masalah kebenaran. Kebenaran suatu ilmu pengetahuan itu ditentukan logis
atau tidaknya teori ilmu pengetauan itu dikemukakan.[7]
Manusia
berpengetahuan tidak lain dalam rangka mengejar kebenaran. Hanya dengan seperti
inilah pengetahuan akan diterima kebenarannya. Mengingat objek pengetahuan itu
beraneka ragam, maka tolak ukur kebenaran yang menjadi syarat diterimanya
pengetahuan pun berlainan terahadap objek pengetahuan yang bersifat :
a.
Empiris, ukuran kebenarannya adalah bukti kenyataan
(factual)
b.
Ideal, sandaran kebenarannya dalah hukum pikir
(rasional)
c.
Transenden, landasan kebenarannya adalah rasa percaya
(superrasional)[8]
Menurut Mudlor Ahmad, bobot dari kebenaran itu
berjenjang dalam tiga tingkatan, yaitu :
a.
Kebenaran mutlak atau absolute yaitu kebenaran
yang sebenar-benarnya, kebenaran sejati, kebenaran sempurna, atau kebenaran
hakiki.
b.
Kebenaran nisbi atau relative, yaitu kebenarna
setingkat dibawah mutlak, kebenaran yang tidak utuh.
c.
Kebenaran dasar yaitu kebenaran yang paling bawah,
yaitu kebenaran yang tidak bisa dipersalahkan tetapi masih membutuhkan
penegasan lebih lanjut diantaranya pengetahuan bukan khilaf, adanya ubungan
antara subjek dan objek, manusia dapat mengetaui.[9]
Dalam hubungannya dengan kadar atau ukuran ilmu
pengetahuan, teori kebenaran telah popular dibahas dalam berbagai buku
filsafat, yang menyatakana bahwa ada beberapa teori kebenaran diantaranya :
a.
Teori kebenaran korespondensi
Suatu
idea atau proposisi itu benar apabila secara akurat dan cukup menyerupai atau
merepresentasikan realitas.
b.
Teori kebenaran koherensi
Suatu
proposisi atau pernyataan benar jika proposisi tersebut berada dalam keadaan
saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar.
c.
Teori kebenaran pragmatis
Teori
ini mengukur kebenaran melalui konsekuensi praktis dari sebuah pernyataan.
d.
Teori kebenaran agama
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran berasal dari Tuhan, kebenaran ini mutlak dan
berada diatas kemampuan dan kemauan manusia.[10]
B.
Objek dan Sumber Ilmu Pengetahuan
1)
Objek Ilmu Pengetahuan
Salah satu ciri dari ilmu
pengetahuan itu adalah memiliki penyelidikan, obyek dari penyelidikan dari ilmu
terdiri dari dua objek, yaitu objek materil dan objek formal. Objek material
adalah suatu hal yang menjadi sasaran penyelidikan atau pemikiran sesuatu yang
dipelajari, baik berupa benda kongkret maupun benda yang abstrak. Sedangkan
objek formal merupakan sudut pandang atau cara memandang terhadap objek
materil, termasuk prinsip yang dugunakan.[11]
Pada hakikatnya objek pengetahuan
manusia dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang ada atau wujud, sehingga
objek pengetahuan manusia bisa disebut sebagai maujudat, entitas-entitas
yang wujud.[12]
Menurut Langeveld dalam
bukunya Menuju ke Pemikiran Filsafat, ia menjelaskan bahwa objek
pengetahuan dapat dibedakan menjadi tiga :
a.
Objek empiris (objek rasa), yaitu objek pengetahuan
yang pada dasarnya ada dan dapat ditangkap oleh indra lahir dan indra bathin.
b.
Objek ideal (objek bukan rasa), yaitu objek yang pada
dasarnya tiada dan menjadi ada berkat kegiatan akal.
c.
Objek transenden (objek luar rasa), yaitu objek yanag
pada dasarnya ada, tetapi berada diluar jangkauan pikiran dan perasaan manusia.[13]
2)
Sumber Ilmu Pengetahuan
a.
Menurut Muhammad In’am Esha, ada beberapa ragam
pemikiran para ahli tentang sumber pengetahuan yang dimungkinkan bagi manusia
yaitu :
1)
Sumber pengetahuan berasala dari pengalaman yang
bersandar dari pesepsi indera (idrak al-hawas)
2)
Sumber pengetahuan berasal dari pemikiran yang
bersandar dari rasio/akal.
3)
Sumber pengetahuan intuitif yang bersandar pada hati (qalb).
4)
Sumber pengetahuan yang bersandar pada khabar sadiq,
yaitu pengetahuan yang bersumber pada otoritas atau kesaksian sumber yang
terpercaya dan juga wahyu.[14]
b.
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Filsafat
Ilmu;Sebuah Pengantar Popular, menjelaskan bahwa sumber pengetahuan ada
empat :
1)
Penalaran
2)
Pengalaman
3)
Intuisi
4)
Dan wahyu [15]
c.
Menurut Harold Titus dkk dalam Persoalan-Persoalan
Filsafat menjelaskan bahwa sumber pengetahuan yang mungkin bagi manusia ada
empat :
1)
Kesaksian sumber kedua : bersandar pada otoritas
2)
Indra sebagai sumber : Bersandar kepada persepsi indra
3)
Pemikiran sebagai sumber : bersandar pada akal
4)
Dalam diri sendiri sebagai sumber : bersandar kepada
intuisi.
d.
Amtsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu,
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan itu dimungkinkan berasal dari empat sumber
yaitu :
1)
Empirisme (pengalaman)
2)
Rasionalisme (akal)
3)
Intuisi
4)
Wahyu[16]
Dari paparan beberapa tokoh yang telah disebutkan,
dapat disimpulkan bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman (experience),
keyakinan dalam hati, penalaran, logika, dan kebenaran mutlak (wahyu).
C.
Ilmu Pengetahuan dalam Persfektif Moderen dan Islam
(al-Qur’an dan Hadis)
Proses helenisme (pertemuan anatara budaya Yunani-Roma
dengan Islam), menurut Watt terjadi dalam dua gelombang. Pertama
pertemuan dalam bentuk pemikiran yang terjadi lewat proses penerjemahan selama
2 abad (750-950 M). Kedua pertemuan dalam bentuk kontak senjata dalam
perang Salib yang disusul serbuan tentara Hulagu ke Baghdad terjadi antara
1095-1258 M.[17]
Dalam proses inilah terjadi pola fikir antara Ilmuan Barat dan Ilmuan Islam.
Islam memandang Ilmu pengetahuan sebagai cara yang
utama bagi penyalamatan jiwa dan pencapaian kebahagiaan serta kesejahteraan
dalam kehidupan kini dan nanti yang bersumber pada prinsip Tuhid atau
keesaan Tuhan sebagai sebuah pernyataan pengetahuan tentang realitas.[18]
Sedangkan sains moderen memandang ilmu pengetahuan sebagai pola fikir yang
berpijak pada makna dan logika, artinya akal lebih merupakan pemikiran yang
berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu.[19]
Di bawah ini penulis akan membahas sekelumit tentang ilmu pengetahuan dari
sudut pandang moderen dan dari sudut pandang Islam (al-Qur’an dan Hadis).
1. Ilmu Pengetahuan
dalam Persfektif Moderen
Yang dimaksud dengan sains (ilmu pengetahuan) moderen
disini adalah model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh para filosof
dan ilmuan barat sejak abad ketujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya
di wilayah teknologi. Dalam hal ilmu pengetahuan moderen kita fahami bahwa
ilmuan barat lah yang memegang peranannya.
Berbicara masalah moderen dan barat, ilmu pengetahuan
ditemukan dalam bentuk “kebebasan” dalam kemanusiaannya, maka dengan kebebasan
itu mereka mengarahkan ke kehidupan yang sekuler, yaitu suatu kehidupan
pembebasan dari kedudukan manusia yang merupakan koloni dan sub koloni agama
dan gereja. Akibatnya tidak mengherankan jika filsafat dan agama di Barat
masing-masing berdiri sendiri, proses diferensiasi ini kemudian dilanjutkan
dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu-ilmu pengetahuan dan cabangnya yang
metodologinya masing-masing mengembangkan spesialisasinya sendiri secara
intens.[20]
Dalam sains modern memandang ilmu pengetahuan alam
sebagai contoh sederhana, yang mana Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri
sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan
penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang
dilakukan oleh Auguste Comte,[21]
sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa
gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih
dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum
secara lebih tenang dan rasional, maka akan memperoleh landasan baru bagi
ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih
cepat. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika,
Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi.
Penggolongan
tersebut didasarkan
pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam
urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara
logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang
dibelakangnya.[22]
Disini jelas lah
bahwa sains modern yang dikembangkan oleh Barat hanya berpijak kepada akal
saja, dan berkembang dalam bentuk faham-faham yang mereka kembangkan sendiri,
hal ini terlihat ketika mereka mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dari
disiplin ilmu yang tertua.
Keberhasilan
sains Barat dalam memajukan ilmu pengetahuan, ternyata tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh manusia secara
keseluruhan. Apa yang telah dilakukan saintis Barat, sesungguhnya bukan sekedar
membangun kemajuan teknologi yang dibanggakan. Lebih dari pada itu, para
saintis Barat telah mengantarkan kehidupan manusia pada gerbang kehancuran,
karena dari pencapaian tersebut kehidupan manusia semakin mengalami malapetaka
yang tidak terbantahkan.
Pada tataran
yang lebih luas, sebagian saintis sudah ada yang mulai terbongkar epistemologinya. Sebagai sebuah contoh
dapat kita lihat dari tokoh semisal Richard Tarnas dan Thomas S. Khun. Richard
Tarnas menyatakan bahwa sains Barat saat ini sedang memasuki “krisis
global” sebuah krisis yang multidimensional yang mengakibatkan kehidupan
manusia semakin terpuruk. Sains memang telah berhasil membantu manusia dalam
mensejahterakan hidup, akan tetapi akibat yang ditimbulkan jauh lebih parah
dibandingkan dengan kemajuannya. Hal ini disebabkan paradigma yang dibangun
dalam sains Barat tidak berbasiskan pada nilai dan etika.[23]
Terlihat jelas
integrasi peranan etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Etika hanya bias
dijelaskan dengan ilmu pengetahuan agama.
2. Ilmu Pengetahuan
dalam Perspektif Islam (al-Qur’an dan Hadis)
Secara konseptual sebetulnya
bagi orang Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan hal yang baru,
melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari kemajuan dan pandangan
dunianya (world-view). Konseptualisasi ilmu yang dilakukan oleh pemikir
muslim pada masa awalnya kelihatan pada upaya mendefinisikan ilmu yang tiada
habis-habisnya dengan kepercayaan bahwa ilmu tidak lebih dari perwujudan “memahami
tanda-tanda kekuasaan Tuhan”.[24]
Didalam Islam terkandung
dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai zat
pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam semesta sebagai yang dicipta (al-makhluq),
hal ini terbukti ketika para ilmuan muslim dulu mengklasifikasikan ilmu dalam
berbagai macam jenis, Ibnu Khaldun misalnya mengklasifikasikan ilmu dalam dua
jenis ilmu pokok, yaitu naqliyah dan ‘aqliyah. Ilmu naqliyah
adalah ilmu yang berdasarkan wahyu, dan ilmu naqliyah adalah ilmu yang
berdasarkan kepada rasio.[25]
Dan Al-ghazali dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengklasifikasi ilmu menjadi
dua kelompok yaitu ilmu yang wajib dicari dan menjadi tanggung jawab setiap
individu (fardhu ‘ain), dan ilmu yang wajib dicari dan menjadi tanggung
jawab sekelompok umat Islam (fardhu kifayah).
Di sisi lain, ada Ibnu Rusyd
sebagai ilmuan muslim yang menganut paham Aristotalian, berpendapat bahwa kosmologi
dan ilmu pengetahuan yang sejati dan valid bukan gagasan yang ada dalam ide,
juga bukan realitas yang tampak oleh indera tetapi kesesuaian antara konsep
yang ada dalam ide dengan apa yang ada dalam realitas empiris yang semuanya
lahir dari sebab penggerak yang bermuara pada gerak hasrat Tuhan.[26]
Dari pandangan ilmuan muslim,
dapat kita cerdasi bahwa Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan mempunyai unsur
yang saling berkaitan erat dengan agama, yang diibaratkan dengan dua sisi mata
uang yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, yang mana penggunaan ilmu
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah SWT, dalam arti
kata kesadaraan akan keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang peling
fundamental, sehingga apapun aktifitas (keagamaan maupun budaya) senantiasa
dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme (tauhid) tersebut.[27]
Menurut
konsep
Islam sains dan teknologi harus berorientasi pada nilai-nilai berikut :
a. Sumber
ilmu adalah Allah, manusia hanya diberikan sedikit saja dari ilmuNya. Quran
surat al-kahfi:109. Quran surat al-Isra’: 85
b.
Ilmu pengetahuan dipergunakan sebagai sarana (tools)
untuk menyempurnkan ibadah kepada Allah, karena tujuan Allah menciptakan jindan
manusia adalah untuk beribadah kepadanya. QS. Adzariyat : 56
c.
Alam semesta
beserta isinya hak milik mutlak Allah Swt. QS. Thaha: 6
d.
Alam semesta
beserta isinya merupakan nikmat Allah Swt. Yang dianugerahkan kepada umat
manusia. QS.Luqman:20
e. Alam
yang dikaruniakan Allah Swt. harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak
melampaui batas-batas ketentuan-Nya. QS. Al-A’raf : 31.
f. Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang digunakan tidak boleh menimbulkan kerusakan (mafsadah)
apalagi mengancam kehidupan manusia. QS.Al-Ankabut: 36.
g. Ilmu
pengetahuan dan teknologi dipergunakan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat. QS. Al-Baqarah: 201.[28]
Mensinergikan antara sains
dan agama merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan keharusan karena
mengabaikan nilai-nilai agama dalam perkembangan sains dan teknologi akan
melahirkan dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada orde sosial-kemanusiaan
tetapi juga pada orde kosmos atau alam semesta.
Sebagai contoh sederhana
dampak negatif dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak
beroreantasi pada prinsip agama adalah ketika
bidang kedokteran menemukan teknologi cloning dan berbagai rekayasa genetika
yang hendak diterapkan pada manusia. Dan kita tidak bias menebak rekayasa
apalagi yang akan diterapkan kepada manusia sehingga manusia sendiri dijadikan
“kelinci” percobaan. Disinilah diperlukan integritas antara ilmu pengetahuan
dan agama. Semua yang dilakukan manusia tidak luput dari aturan-aturan (syari’at)
yang berguna bagi manusia apapun itu dan seberapa majunya pengetahuan itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai
sesuatu hal tertentu (obyek/lapangan) yang merupakan suatu kesatuan yang
sistematis dan memberikan penjelasan yang sistematis yang dapat dipertanggung
jawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab kejadian itu.
2.
Ilmu pengetahuan dalam persfektif modern dipandang
sebagai ilmu pengetahuan ditemukan dalam bentuk “kebebasan” dalam
kemanusiaannya, maka dengan kebebasan itu mereka mengarahkan ke kehidupan yang
sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang merupakan
koloni dan sub koloni agama dan gereja. Akibatnya tidak mengherankan jika
filsafat dan agama di Barat masing-masing berdiri sendiri, proses diferensiasi
ini kemudian dilanjutkan dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu-ilmu
pengetahuan dan cabangnya yang metodologinya masing-masing mengembangkan spesialisasinya
sendiri secara intens.
3.
Ilmu pengetahuan dalam persfektif Islam dipandang
sebagai kesadaraan akan keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang peling
fundamental, sehingga apapun aktifitas (keagamaan maupun budaya) senantiasa
dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme (tauhid) tersebut.
4.
Antara ilmu pengetahuan, teknologi dan agama
dibutuhkan integritas dan perpaduan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemilogi, dan Aksiologi
Pengetahuan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006.
Amtsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rajawali Pers, 2005.
A.Susanto,
Filsafat Ilmu ; Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologism, Epistemologis, Dan
Aksiologis, Jakarta : Bumi Aksara, 2011.
A.
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2004.
Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta ; Bumi Aksara, 2005.
http://www.sunan-ampel.ac.id/kolom-akademis/1503-sains-dan-teknologi-dalam-perspektif-islam,
diakses 17/10/2012 jam 18.15.
http://blog.tp.ac.id/categhory/filsafat-ilmu,
diakses 16/10/2012 jam 15.34
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Popular, Jakarta :
Pustaka sinar harapan, 2007.
Koento
Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,
Cet.Ke-2, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1996.
Mudlor
Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi dalam Filsafat), Bandung :
Trigenda Karya, 1994.
Muhammad
In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, Malang ; UIN Maliki Press, 2010.
M.Zainuddin
Dkk, Memadu Sains Dan Agama (Menuju Universitas Islam Masa Depan),
Malang : Bayumedia Publishing.
Osman
Bakar, Tauhid dan Sains (Esai-Esai Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam),
Bandung : Pustaka Hidayah, 1994.
The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4, Yogyakarta : Penerbit
Liberty 1999.
[1]
A.Susanto, Filsafat Ilmu ; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologism,
Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta : Bumi Aksara, 2011, h.76
[2]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Popular,
Jakarta : Pustaka sinar harapan, 2007, h.105-106
[3]
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta ; Bumi Aksara,
2005, h.10-11
[4] Ibid, h.14
[5] Ibid, h.18
[6]
Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, Malang ; UIN
Maliki Press, 2010, h.109
[7]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemilogi, dan
Aksiologi Pengetahuan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006, h. 22
[8]
Muhammad In’am Esha, Op.Cit, h.111
[9]
Mudlor Ahmad, Ilmu dan Keinginan Tahu (Epistemologi dalam Filsafat),
Bandung : Trigenda Karya, 1994, h. 94
[10] Ibid, h. 102
[11]
A.Susanto, Op.cit, h.78-79
[12]
Muhammad In’am Esha, Op.cit, h.101-102
[13]
Loc.cit, Langeveld dalam Muhammad In’am Esha, h.102
[14]
Muhammad In’am Esha, Op.cit, h.105-106
[15]
Jujun S.Suriasumantri, Op.cit, h.50
[16]
Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rajawali Pers, 2005, h.
98
[17]
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004, h.3
[18]
Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Esai-Esai Tentang Sejarah dan Filsafat
Sains Islam), Bandung : Pustaka Hidayah, 1994, h.11
[19]
A. Khudori Soleh, Op.cit, h.4
[20] M.Zainuddin
Dkk, Memadu Sains dan Agama (Menuju Universitas Islam Masa Depan),
Malang : Bayumedia Publishing, 2004
[21] Koento Wibisono, Arti
Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Cet.Ke-2,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1996, h. 8
[22] The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4, Yogyakarta : Penerbit Liberty 1999, h.29
[23] http://www.sunan-ampel.ac.id/kolom-akademis/1503-sains-dan-teknologi-dalam-perspektif-islam,
diakses 17/10/2012 jam 18.15.
[24] M. Zainuddin dkk, Op.cit,
h. 25-26
[25]
Ibid, h. 9, Ilmu naqliyah antara lain ; al-Qur’an, hadis,
fiqih, kalam, tasawuf dan bahasa. Sedangkan ilmu aqliyah antara lain :
filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dll, semuanya ini bukan
dimaksudkan untuk mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, tetapi hanya
sekadar klasifikasi, Lihat Azyumardi Azra (Perta,2002:16)
[26] A. Khudori Saleh, Op.cit,
h. 108-113
[27]
M. Zainuddin dkk, Op.cit, h. 23
No comments:
Post a Comment