BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Membicarakan
mengenai integrasi ilmu pengetahuan dan agama
kita ingat kepada seorang tokoh yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah
filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma>’il Ra>ji
Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu
pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi
antara ilmu pengetahuan dengan iman.(http://w.w.w.
Intermassa.com pada tanggal 17 Desember 2012.
Gagasannya tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam
institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT (International
Institute of Islamic Thought ) pada 1980, di Amerika Serikat. Kini,
lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai
negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Ditanah air tercinta ini gagasan cerah ini dipelopori oleh beberapa
tokoh diatranya oleh Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetik , M.Amin Abdullah
dengan visi program reintegrasi epistemologi keilmuan jaring
laba-laba.Imam Suprayogo dengan pohon ilmunya dll.
Pemikiran
tentang integrasi keilmuan dewasa ini
yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim tersebut diatas , tidak lepas
dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang
sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep
bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila
mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan
dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Disamping
itu terdapat pandangan bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara sekuler ( barat )dianggap sebagai
pengetahuan yang sekuler , oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau paling
tidak l ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan
pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil
dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi
spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan
sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan
teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk
kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang
merugikan manusia.
Maka dalam
makalah ini penulis berkeinginan untuk memaparkan gagasan integrasi keilmuan
yang ditawarkan oleh M.Amin Abdullah1 yang disampaikan dalam seminar
yang diselenggarakan oleh tim Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 2002
,berjudul “Etika Tauhidik Sebagai Dasar
Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama:Dari Positivistik – Sekularistik ke Teoantroposentrik – Integralistik.
1. M. Amin
Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972,
dia menamatkan pendidikan menegah di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah
(KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan dengan Program
Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidika Darusslam(IPD)1977 di
pesantren yang sama
B.
RUMUSAN
MASALAH
Permasalahan
yang penting diajukan adalah bagaimana integrasi keilmuan menurut M.Amin
Abdullah bisa dimengerti.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mengakhiri Dikotomi Agama dan Ilmu Dalam Praktek
Kependidikan
Aktivitas
pendidikan dan keilmuan di perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi agama di
tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi
informasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati nurani
terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku cerdik pandai.
Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat.
Tindakan kekerasan dan mutual distrust mewabah di mana-mana. M. Kamal Hasan
meringkas kegalauan jaman ini sebagai berikut:
“the advent of new
millennium brings with new challengers of the negative aspects of globalization
and inevironmental crises which, if unchecked,
would put the whole planet earth in peril, in addition to the old theath of
nuclear war, unresolved ienternational cinflicts in the middle east dan eastern
Europe, tribal wariare in Africa, the AIDS scourge, increasing crime of all
forms, breaking of the family institution, drugabuse, urban decay, obscnenity
and a host of sosial ills. Religious wich preach the goals of peace, justice,
holistic, wellbeing and righteous living have to address the ebove issues while
they continue to oppose sosial injustices, oppression, corruption, abuse of
power, greed, materialsm, racism, sexism, hedonism and nihilism.”[i]
Jauh
sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola pengembangan
keilmuan yang bercorak integritalistik-ensiklopedik
di satu sisi, yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusyid, Ibnu Khaldun, berhadapn denga pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi lain, yang
dikembangkan oleh para ahli hadits dan ahli fiqih. Keterpisahan secara
diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis,
berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada
umumnya.[ii]
Dalam ketiga revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi
industri dan revolusi informasi, tidak ada satu pun Muslim tercatat namanya
dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.[iii]
Perkembangan
dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi
Umum yang tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di
satu pihak, sementara di lain pihak, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan
Tinggi Agama (baca: Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan
teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan
penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami proses
pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan kehiduapan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik dan
sosial-keagamaan di tanah air.
Dari
sini tergambar bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan di Perguruan Tinggi
Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara
terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak
dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami
kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif
yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan,
ras, etnis, filosofis, ekonomi, politik, gender, peradaban). Dari latar
belakang seperti itulah, gerakan repprochment
(kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada)
antara dua kubu keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan rapprochement, dapat juga disebut
sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi
epistimologi keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk
mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga
pada milenium ketiga serta tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global
dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah
Allah fi al-ardh.
Perguruan
tinggi agama khususnya IAIN, secara sadar harus berani mengkaji ulang visi,
misi dan paradigm keilmuan yang pernah
dibangunya selama 50 tahun. Begitu juga perguruan-perguruan tinggi umum yang
sudah mapan dan bejalan selama ini. Ide dan usulan perlunya dikembangkan
ilmu-ilmu sosial profetik dankajian agama secara kontekstual di perguruan
tinggi umum seperti Universitas Gajah Mada adalah merupakan tanda adanya
keprihatinan yang serius tentang arah pengembangan dan tujuan pembelajaran
ilmu-ilmu umum pada perguruan tinggi umum yang telah berjalan selama 50 tahun
belakangan ini. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikotomik antara ilmu pengetahuan
umum dan ilmu pengetahuan agama harus diuabah menjadi bangunan keilmuan baru
yang lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer.
Tujuan IAIN perlu diorientasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki tiga
kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan
menganalisis secara akademik, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan
memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan, keilmuan, maupun
profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan.
B. TANTANGAN PERGURUAN
TINGGI AGAMA ERA GLOBALISASI DAN INFORMASI
Berbagai
perubahan di era global yang ditandai dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat
(baca: masyrakat keagamaan) di masa depan akan sangat terbuka disertai
ketergantungan kultur yang bersifat global. Tenaga kerja dari l uar negeri yang
akan masuk ke tanah air tidak dapat dibendung. Kecenderungan ini diperkuat oleh
laju perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat diakses dan dapat
merubah moral, sosia, dan intelektual seseorang dalam waktu cepat. Sektor jasa
dan pariwisata akan tumbuh menjadi paradigm baru ekonomi, sedang kehidupan
sosial-politik dan keagamaan akan berubah bentuk dan fungsinya secara cepat
sesuai dengan irama dan laju keterbukaan di tanah air.
Tantangan
di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam
secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya sekedar survive di tengan persaingan global yang semakin tajam dan ketat,
tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan
rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak
boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang
terjadi.
Pemikiran
inilah yang mendorong adanya gagasan tenatang pengembangan IAIN (khususnya
Jakarta dan Yogyakarta) sebagai pilot
project menjadi Universitas Islam Negara (UIN), di bawah Departemen Agama
Republik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas Agama, tetapi
juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistimologi
keilmuan dan etika moral keagammaan yang integralistik. Dalam konsep ini,
fakultas-fakultas agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang. Namun
perlu dikembangkan kurikulum yang sesuai dengan pengguna jasa IAIN di era
global dan diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosenya dengan berbagai metode
dan pendekatan baru dalam Islamic studies, humanities,dan
ilmu-ilmu sosial, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas perlu
dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan
terarah dalam format integrated curriculum, dan bukanya separated curriculum seperti yang berjalan selama ini.
Pengembangan
IAIN ini diharapakan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Program
reintegrasi epistimologi keilmuan dan
implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada giliranya
akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti
yang telah berjalan selama ini. Perubahan dan perkembangan ini bukan
sekedar asal berkembang dan berubah.
Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga tidak mengulangi eksperimen
dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi umum dan
agama yang didirikan oleh Negara maupun swasta.
Pengembangan
ini berada dalam kerangka dan semangat harmonisasi keilmuan dan keagamaan,
bukanya keterpisahan antara keduanya meskipun berada di bawah satu atap kampus.
Hal ini penting untuk memberikan landasan moral
Islam terhadap pengembanga ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan
hidup, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-keagamaan
di tanah air, sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai denga
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer.
Selain
alas an di atas, sejak tahun 1980. Madrasah aliyah yang ada di Indonesia, yang
jumlah muridnya tidak kurang dari 800.075 siswa telah berubah orientasi. Pada
awalnya perbandingan muatan pelajaran agama dan umum 30:70 dan pada tahun
2000/2001 kurikulum madrasah aliyah 100% sama dengan kurikulum SMU dengan
penekanan pendidikan umum yang bercirikan Islam. Denga perubahan tersebut, maka
para lulusan madrasah aliyah yang jumlahnya sangat signifikan, juga mengalami
perubahan orientasi untu memilih program studi umum di perguruan tinggi,
sementara yang lain mengambil program studi agama. Hanya saja kecenderungan
dikotomistik yang berjalan selama ini
masih menghantui banyak kalangan dan tidak bisa menolong krisis yang dialami
oleh paradigm ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan dalam bentuknya yang
terpisah seperti yang selama ini berjalan.
Visi Baru
Program Reintegrasi Epistimologi Keilmuan: Jaring Laba-Laba Keilmuan
Teoantroposentris-Integralistik
Dengan
meminjam konsep yang pernah dikembangkan oleh Kuntowijoyo, penulis ingin
melanjutkankonsep tersebut dengan sedikit memberi beberapa ilustrasi tambahan
di sana-sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang selama ini di IAIN
dan upaya pengembanganya lebih lanjut secara integrative di masa depan.
Agama
dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, diri sendiri dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya
secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai umum dan prinsip-prinsip dasar
inilah yang sebenarnya disebut “syari’at”.[iv]
Kitab suci Al Quran merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan
dapat menjadi teologi ilmu serta grand
theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekular.
Agama
memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hokum, kebijaksanaa dan
sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada
dua macam, yaitu pengetahuan yan
bersumber dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan
antara keduanya disebut teoantroposentris.
Modernism
dan sekularisme sebagai hasil turunanya yang menghendaki diferensiasi yang
ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat
zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak
pandang atau horizon berfikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu
ada perubahan. Perubahan yang dimakasud adalah gerakan resakralisasi,
deprivitasi agama dan ujungnya dideferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali).
Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor
kehidupan lain, maka dideferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan
sektor-sektor kehidupan lai, termasuk agama dan ilmu.
Agama
menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah,
benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk) tujuan-tujuan ilmu(tahsiniyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam teologi
ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan
ilmu. Selain ontology (whatness)
keilmua, epistimologi keilmuan (howness),
agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness).
Ilmu yang
lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif (mengalami proses
objektifikasi). Dalam arti, ilmu tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama
lain, nonagama, dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi
sebagai gejala keilmuan yang ibjektif (sisi historisitas-empirisitas) semata. Meyakini
latar belakang agama yang nejadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah.
Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang
normative. Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh
manusia, bukan untuk orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk pengikut agama tertentu saja. Contoh
objektifitas ilmu, antara lain dapat disebutkan disini: optic dan aljabar (tanpa
harus didkaitkan denga budaya Islam eraAl Haitami, Al Khawarizmi) mekanika
dan astropisika (tanpa dikait-kaitkan
dengan budaya yudeo-kristiani), akupuntur
(tanpa harus percaya konsep yin-yang toisme), pijet urat (tanpa harus percaya konsep animism-dinamisme dalam
budaya leluhur), yoga (tanpa harus
percaya hindhuisme), khasiat madu lebah (tanpa
harus percaya kepada Al Quran yang memuji lebah), perbankan Syariah (tanpa harus meyakini etika Islam tentang
ekonomi).
Selain
itu para cerdik pandai telah tertipu ilmu-ilmu secular yang mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan)
ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu diantaranya adalah dominasi
kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi Negara-negara kuat era
globalisasi),[v]
dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu nuklir),[vi]
dominasi kepentingan kebudayaan Barat (orientalisme). Ilmu yang lahir bersama
etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Produk keilmuan
harus bermanfaat untuk seluruh umat manusia tanpa memandang corak agama,
bangsa, kulit maupun etnisnya (rahmatan
lil alamin).
Paradigma
keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu tuhan dan
temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-in tragalistik), itu tidak akan
berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia
sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar dan
lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi
epistimologi keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar
sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negative agama-agama yang rigid dan
radikal dalam banyak halaman.
Untuk
lebih jelasnya Amin Abdullah memberi contoh mengenai ilmu yang bercorak
integralistik bersama prototip sosok ilmuan integrative yang dihasilkanya.
Contoh dapat diambil dari ilmu ekonomi syariah, yang sudah nyata ada praktik
penyatuan antara wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (bank
Muamalat), Bank BNI Syariah. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi
diantaranya adalah bagi hasil (al mudharabah), dan kerjasama (al musyarakah).
Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang
dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, nonagama, atau bahkan
anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan lil alamin). Kedepan, pola keilmuan yang integralistik
dengan basis moralitas keagmaan yang humanistic ini dituntut dapat memasuki
wilayah-wilaya h yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sosial work, lingkungan, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hokum dan peradilan dan
begitu seterusnya.(hal 105)
Gambar
di bawah ini mengilustrasikan hubungan jarring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik.
Tergambar di situ bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik
begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector
tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan
keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di
samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terapil dalam
menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan
keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan
baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural
science), ilmu-ilmu sosial (sosial
science) dan humaniora (humanities) kontemporer). Di atas
segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan
etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan Al Quran dan As
Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis)
selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan
manusia yang menyatu dalam satu tarikannafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu
diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar
belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan
Horizon jarring
laba-laba keilmuan
Teoantroposentrik-integralistik
Dalam
universitas negeri
Kondisi
yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa radius daya jangkau aktifitas keilmuan
dan lebih-lebih pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan
STAIN di seluruh tanah air, hanya terfokus pada

Lingkar
1 dan jalur lingkar lapis 2 (kalam, falsafah, tasawuf, hadis, tarikh, fiqih,
tafsir, lughah). Itu pun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak
pendekatan keilmuan humaniora klasik. IAIN pada umunya sekarang ini belum mampu
memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanities
kontemporer seperti yang tergambar pada jalur lingkar 2 (Antropologi,
sosiologi, psikologi, filsafat dan berbagai teori dan pendekatan yang
ditawarkan). Akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak
terjembatani antara ilmi-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru
yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer,
bahkan juga ilmu-ilmu alam.
Kesenjangan
wawasan keilmuan ini cukup berakibat pada dinamika keilmuan dan implikasinya
dalam kehidupan sosial keagamaan dalam masyarakat Indonesia, mengingat alumni
IAIN Sunan Ampel Kalijaga banyak yang menjadi tokoh di masyarakat di manapun
mereka berada. Lebih-lebih, kesenjangan wawasan keilmuan ini juga dirasakan
oleh mahasiswa dan alumni perguruan tinggi umum, khususnya yang mengambil
jurusan eksakta. Upaya-upaya untuk menjembatani jurang wawasan tersebut
dilakukan oleh program strata 2 (Magister), tetapi tidak semua IAIN dapat
melakukanya. Hal itu disebabkan karena keterbatasan sumber daya tenaga pengajar
yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu keislaman sekaligus ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer. Yang dapat
melakukan pun akan menemui banyak
kesulitan karena selain keterbatasan sumber daya manusia, juga mind set mahasiswa strata satu sudah
sedenikian kental warna studi teks klasik normative tanpa tersentuh oleh
warisan Iptek, ilmu sosial maupun Humaniora.
Isu-isu
sosial, politik, ekonomi, keagamaan, militer, gender, lingkungan, ilmu-ilmu
sosial dan humanities kontemporer
pasca modern, seperti yang tergambar pada jalur lingkar lapis3 hampir-hampir
tidak tersentuh oleh ilmu-ilmu sosial dan kajian keislaman di tanah air,
khususnya di IAIN dan STAIN. Ungkapan seperti “ to be religious today is to be interreligious” terasa masih sangat absurd dan unthinkable, bahkan
mustahil untuk dipikirkan bagi tradisi keilmuan lingkar lapis 2, meskipun era
globalisasi-informasi memaksa manusia beragama di era sekarang untuk berpikir
demikian.
BAB III. KESIMPULAN
- Bahwa adanya angggapan dalam masayarakat luas yang mengatakan bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemuakan terus dicarikan jalan keluarnya dan diantara ilmuan yang berusaha pada bidang ini adalah M.Amin Abdullah mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
- Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia secara umum dan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam secara husus.
- Program Reintegrasi epistemologi keilmuan danimplikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu umum an ilmu agama.
- Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyah ; benar ; salah) ,bagaimana ilmu diproduksi ( hajiyah ; baik ,buruk),tujuan-tujuan ilmu ( tahsiniyah ; manfaat , merugikan).
- Contoh yang dapat diambil dari penyatuan antara wahyu Allah dan temuan pikiran manusia beriman adannya Bank Muamalah ,Bank Syariat yang bisa dinikmati oleh semua lapaisan.
- Menyadari bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas maka Amin Abdullah mengilustrasikannya dengan hubungan jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris – integralistik.
- Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.
Daftar
Pustaka
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar, 2006
Kuntowijoyo .Paradigma Islam ,Cet.VIII.Penerbit
Mizan ,1998
[i] M. Kamal Hasan, “The Expanding
Spiritual-Moral…, 51.
[ii] Menurut laporan pengembangan
manusia (Human Development Report 2002-UNDP), Nilai Human Development Index (HDI) 2000, Indonesia mendapat nilai 0,688
(urutan 109), Cina 0,72 (urutan 96), Filipina 0,754 (urutan 77), Thailand 0,752
(urutan 70), Malaysia 0,782 (urutan 59), Jepang 0,933 (urutan 9). Untuk
diketahui, HDI adalah indeks campuran yang merupakan ukuran rata-rata prestasi
penting atas tiga dimensi dasar dalam pengembangan atau pembangunan manusia:
(a) long and healthy life; (b)
pengetahuan (knowledge); (c)
kelayakan standar hidup (a decent
standard of living).
[iii] Mahatir Muhammad, globalization and the New Relities (Selangor:
Pelanduk Publication(M) Sdn Bhd, 2002), 54,61.
[iv] Bandingkan QS al jatsiyah (45);
17. “kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syriat dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syriat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.” Juga QS al-maidah (5): 48. Pengertian dan pemahaman
syariat sebagai seperangkat aturan dan nilai-nilai serta prinsip-prinsip dasar,
lebih lanjut lihat Ziauudin Srdar, “The Ethical Connection: Cristian Muslim Relations
in the Postmodern Age,” dalam Islam and
Cristian Muslim Relations, volume 2, Number 1, June 1991, 66.
[v] Mahatir Muhammad, Globalisation……21-23.
[vi] Ali A. Mazrui, “The Ethics of
war and the rhetoric of politics: the West and the rest,” dalam Islamic Millenium. Volume II, Number 2,
January-March 2002, 1-10.
No comments:
Post a Comment