Thursday, June 13, 2019

integrasi ilmu pengetahuan dan agama


BAB  I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Membicarakan mengenai  integrasi ilmu pengetahuan  dan agama  kita ingat kepada seorang  tokoh  yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat, Isma>’il Ra>ji Al-Faru>qi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.(http://w.w.w. Intermassa.com pada tanggal 17 Desember 2012.
Gagasannya tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT (International Institute of Islamic Thought ) pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Ditanah air tercinta ini gagasan cerah ini dipelopori oleh beberapa tokoh diatranya oleh Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetik , M.Amin Abdullah dengan visi program reintegrasi epistemologi keilmuan jaring laba-laba.Imam Suprayogo dengan pohon ilmunya dll.
Pemikiran tentang integrasi keilmuan  dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim tersebut diatas , tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu terdapat pandangan  bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara sekuler ( barat )dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler , oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau paling tidak l ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Maka dalam makalah ini penulis berkeinginan untuk memaparkan gagasan integrasi keilmuan yang ditawarkan oleh M.Amin Abdullah1 yang disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh tim Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 2002 ,berjudul “Etika Tauhidik Sebagai Dasar  Kesatuan  Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama:Dari Positivistik – Sekularistik ke Teoantroposentrik – Integralistik.

1. M. Amin Abdullah lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Pada 1972, dia menamatkan pendidikan menegah di Kulliyat al-Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor, Ponorogo, yang kemudian dilanjutkan dengan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidika Darusslam(IPD)1977 di pesantren yang sama
B.     RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana integrasi keilmuan menurut M.Amin Abdullah bisa dimengerti.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mengakhiri Dikotomi Agama dan Ilmu Dalam Praktek Kependidikan
Aktivitas pendidikan dan keilmuan di perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi agama di tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi informasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust  mewabah di mana-mana. M. Kamal Hasan meringkas kegalauan jaman ini sebagai berikut:
“the advent of new millennium brings with new challengers of the negative aspects of globalization and inevironmental  crises which, if unchecked, would put the whole planet earth in peril, in addition to the old theath of nuclear war, unresolved ienternational cinflicts in the middle east dan eastern Europe, tribal wariare in Africa, the AIDS scourge, increasing crime of all forms, breaking of the family institution, drugabuse, urban decay, obscnenity and a host of sosial ills. Religious wich preach the goals of peace, justice, holistic, wellbeing and righteous living have to address the ebove issues while they continue to oppose sosial injustices, oppression, corruption, abuse of power, greed, materialsm, racism, sexism, hedonism and nihilism.”[i]
Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integritalistik-ensiklopedik di satu sisi, yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyid, Ibnu Khaldun, berhadapn denga pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi lain, yang dikembangkan oleh para ahli hadits dan ahli fiqih. Keterpisahan secara diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis, berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya.[ii] Dalam ketiga revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi industri dan revolusi informasi, tidak ada satu pun Muslim tercatat namanya dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.[iii]
Perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum yang tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di satu pihak, sementara di lain pihak, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan Tinggi Agama (baca: Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehiduapan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-keagamaan di tanah air.
Dari sini tergambar bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami  kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomi, politik, gender, peradaban). Dari latar belakang seperti itulah, gerakan repprochment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan merupakan suatu keniscayaan. Gerakan rapprochement, dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan atau reintegrasi epistimologi keilmuan adalah suatu keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga pada milenium ketiga serta tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah Allah fi al-ardh.
Perguruan tinggi agama khususnya IAIN, secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigm keilmuan  yang pernah dibangunya selama 50 tahun. Begitu juga perguruan-perguruan tinggi umum yang sudah mapan dan bejalan selama ini. Ide dan usulan perlunya dikembangkan ilmu-ilmu sosial profetik dankajian agama secara kontekstual di perguruan tinggi umum seperti Universitas Gajah Mada adalah merupakan tanda adanya keprihatinan yang serius tentang arah pengembangan dan tujuan pembelajaran ilmu-ilmu umum pada perguruan tinggi umum yang telah berjalan selama 50 tahun belakangan ini. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikotomik antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus diuabah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih holistik-integralistik atau paling tidak bersifat komplementer. Tujuan IAIN perlu diorientasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki tiga kemampuan sekaligus, yaitu kemampuan menganalisis secara akademik, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan, keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan.
B.  TANTANGAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ERA GLOBALISASI DAN INFORMASI
Berbagai perubahan di era global yang ditandai dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat (baca: masyrakat keagamaan) di masa depan akan sangat terbuka disertai ketergantungan kultur yang bersifat global. Tenaga kerja dari l uar negeri yang akan masuk ke tanah air tidak dapat dibendung. Kecenderungan ini diperkuat oleh laju perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat diakses dan dapat merubah moral, sosia, dan intelektual seseorang dalam waktu cepat. Sektor jasa dan pariwisata akan tumbuh menjadi paradigm baru ekonomi, sedang kehidupan sosial-politik dan keagamaan akan berubah bentuk dan fungsinya secara cepat sesuai dengan irama dan laju keterbukaan di tanah air.
Tantangan di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya sekedar survive di tengan persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi  pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi.
Pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tenatang pengembangan IAIN (khususnya Jakarta dan Yogyakarta) sebagai pilot project menjadi Universitas Islam Negara (UIN), di bawah Departemen Agama Republik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas Agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistimologi keilmuan dan etika moral keagammaan yang integralistik. Dalam konsep ini, fakultas-fakultas agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang. Namun perlu dikembangkan kurikulum yang sesuai dengan pengguna jasa IAIN di era global dan diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosenya dengan berbagai metode dan pendekatan  baru dalam Islamic studies, humanities,dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas perlu dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum, dan bukanya separated curriculum  seperti yang berjalan selama ini.
Pengembangan IAIN ini diharapakan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Program reintegrasi epistimologi keilmuan dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada giliranya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan selama ini. Perubahan dan perkembangan ini bukan sekedar  asal berkembang dan berubah. Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga tidak mengulangi eksperimen dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi umum dan agama yang didirikan oleh Negara maupun swasta.
Pengembangan ini berada dalam kerangka dan semangat harmonisasi keilmuan dan keagamaan, bukanya keterpisahan antara keduanya meskipun berada di bawah satu atap kampus. Hal ini penting untuk memberikan landasan moral  Islam terhadap pengembanga ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-keagamaan di tanah air, sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai denga perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer.
Selain alas an di atas, sejak tahun 1980. Madrasah aliyah yang ada di Indonesia, yang jumlah muridnya tidak kurang dari 800.075 siswa telah berubah orientasi. Pada awalnya perbandingan muatan pelajaran agama dan umum 30:70 dan pada tahun 2000/2001 kurikulum madrasah aliyah 100% sama dengan kurikulum SMU dengan penekanan pendidikan umum yang bercirikan Islam. Denga perubahan tersebut, maka para lulusan madrasah aliyah yang jumlahnya sangat signifikan, juga mengalami perubahan orientasi untu memilih program studi umum di perguruan tinggi, sementara yang lain mengambil program studi agama. Hanya saja kecenderungan dikotomistik  yang berjalan selama ini masih menghantui banyak kalangan dan tidak bisa menolong krisis yang dialami oleh paradigm ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan dalam bentuknya yang terpisah seperti yang selama ini berjalan.
Visi Baru Program Reintegrasi Epistimologi Keilmuan: Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik
Dengan meminjam konsep yang pernah dikembangkan oleh Kuntowijoyo, penulis ingin melanjutkankonsep tersebut dengan sedikit memberi beberapa ilustrasi tambahan di sana-sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang selama ini di IAIN dan upaya pengembanganya lebih lanjut secara integrative di masa depan.
Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut “syari’at”.[iv] Kitab suci Al Quran merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekular.
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hokum, kebijaksanaa dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan ada dua macam,  yaitu pengetahuan yan bersumber dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Modernism dan sekularisme sebagai hasil turunanya yang menghendaki diferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak pandang atau horizon berfikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu ada perubahan. Perubahan yang dimakasud adalah gerakan resakralisasi, deprivitasi agama dan ujungnya dideferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dideferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lai, termasuk agama dan ilmu.
Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah, benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyah; baik, buruk) tujuan-tujuan ilmu(tahsiniyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam teologi ilmu ini penting untuk digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontology (whatness) keilmua, epistimologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness).
Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang objektif (mengalami proses objektifikasi). Dalam arti, ilmu tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, nonagama, dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi sebagai gejala keilmuan yang ibjektif (sisi historisitas-empirisitas) semata. Meyakini latar belakang agama yang nejadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah. Ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normative. Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, bukan untuk orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk  pengikut agama tertentu saja. Contoh objektifitas ilmu, antara lain dapat disebutkan disini: optic dan aljabar (tanpa harus didkaitkan denga budaya Islam eraAl Haitami, Al Khawarizmi) mekanika dan astropisika (tanpa dikait-kaitkan dengan budaya yudeo-kristiani), akupuntur (tanpa harus percaya konsep yin-yang toisme), pijet urat (tanpa harus percaya konsep animism-dinamisme dalam budaya leluhur), yoga (tanpa harus percaya hindhuisme), khasiat madu lebah (tanpa harus percaya kepada Al Quran yang memuji lebah), perbankan Syariah (tanpa harus meyakini etika Islam tentang ekonomi).
Selain itu para cerdik pandai telah tertipu ilmu-ilmu secular yang mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu diantaranya adalah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi Negara-negara kuat era globalisasi),[v] dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu nuklir),[vi] dominasi kepentingan kebudayaan Barat (orientalisme). Ilmu yang lahir bersama etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Produk keilmuan harus bermanfaat untuk seluruh umat manusia tanpa memandang corak agama, bangsa, kulit maupun etnisnya (rahmatan lil alamin).
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-in tragalistik), itu tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi epistimologi keilmuan sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negative agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak halaman.
Untuk lebih jelasnya Amin Abdullah memberi contoh mengenai ilmu yang bercorak integralistik bersama prototip sosok ilmuan integrative yang dihasilkanya. Contoh dapat diambil dari ilmu ekonomi syariah, yang sudah nyata ada praktik penyatuan antara wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (bank Muamalat), Bank BNI Syariah. Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya adalah bagi hasil (al mudharabah), dan kerjasama (al musyarakah). Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama, nonagama, atau bahkan anti agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan lil alamin). Kedepan, pola keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagmaan yang humanistic ini dituntut dapat memasuki wilayah-wilaya h yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, sosial work, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hokum dan peradilan dan begitu seterusnya.(hal 105)
Gambar di bawah ini mengilustrasikan hubungan jarring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Tergambar di situ bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sector tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Di samping itu, tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terapil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (sosial science)  dan humaniora (humanities) kontemporer). Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan objektif dan kokoh, karena keberadaan Al Quran dan As Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikannafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan
Horizon jarring laba-laba keilmuan
Teoantroposentrik-integralistik
Dalam universitas negeri
Kondisi yang ada sekarang ini menunjukkan bahwa radius daya jangkau aktifitas keilmuan dan lebih-lebih pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan STAIN di seluruh tanah air, hanya terfokus pada
IMG_20121111_0002







Lingkar 1 dan jalur lingkar lapis 2 (kalam, falsafah, tasawuf, hadis, tarikh, fiqih, tafsir, lughah). Itu pun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak pendekatan keilmuan humaniora klasik. IAIN pada umunya sekarang ini belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer seperti yang tergambar pada jalur lingkar 2 (Antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat dan berbagai teori dan pendekatan yang ditawarkan). Akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara ilmi-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer, bahkan juga ilmu-ilmu alam.
Kesenjangan wawasan keilmuan ini cukup berakibat pada dinamika keilmuan dan implikasinya dalam kehidupan sosial keagamaan dalam masyarakat Indonesia, mengingat alumni IAIN Sunan Ampel Kalijaga banyak yang menjadi tokoh di masyarakat di manapun mereka berada. Lebih-lebih, kesenjangan wawasan keilmuan ini juga dirasakan oleh mahasiswa dan alumni perguruan tinggi umum, khususnya yang mengambil jurusan eksakta. Upaya-upaya untuk menjembatani jurang wawasan tersebut dilakukan oleh program strata 2 (Magister), tetapi tidak semua IAIN dapat melakukanya. Hal itu disebabkan karena keterbatasan sumber daya tenaga pengajar yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu keislaman sekaligus ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer. Yang dapat melakukan pun  akan menemui banyak kesulitan karena selain keterbatasan sumber daya manusia, juga mind set mahasiswa strata satu sudah sedenikian kental warna studi teks klasik normative tanpa tersentuh oleh warisan Iptek, ilmu sosial maupun Humaniora.
Isu-isu sosial, politik, ekonomi, keagamaan, militer, gender, lingkungan, ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer pasca modern, seperti yang tergambar pada jalur lingkar lapis3 hampir-hampir tidak tersentuh oleh ilmu-ilmu sosial dan kajian keislaman di tanah air, khususnya di IAIN dan STAIN. Ungkapan seperti “ to be religious today is to be interreligious”  terasa masih sangat absurd dan unthinkable, bahkan mustahil untuk dipikirkan bagi tradisi keilmuan lingkar lapis 2, meskipun era globalisasi-informasi memaksa manusia beragama di era sekarang untuk berpikir demikian.


BAB III. KESIMPULAN
  1. Bahwa adanya angggapan dalam masayarakat luas yang mengatakan bahwa agama  dan ilmu adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemuakan   terus dicarikan jalan keluarnya dan diantara ilmuan yang berusaha pada bidang ini adalah M.Amin Abdullah mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
  2. Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan  integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa  dampak negatif bagi kehidupan manusia secara umum dan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran  dunia Islam secara husus.
  3. Program Reintegrasi  epistemologi keilmuan  danimplikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu umum an ilmu agama.
  4. Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (dharuriyah ; benar ; salah) ,bagaimana ilmu diproduksi ( hajiyah ; baik ,buruk),tujuan-tujuan  ilmu ( tahsiniyah ; manfaat , merugikan).
  5. Contoh yang dapat diambil dari penyatuan antara wahyu Allah dan temuan pikiran manusia beriman   adannya Bank Muamalah ,Bank Syariat yang bisa dinikmati oleh semua lapaisan.  
  6. Menyadari bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas maka Amin Abdullah mengilustrasikannya dengan hubungan jaring laba-laba  yang bercorak teoantroposentris – integralistik.
  7. Penyatuan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.


Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006
Kuntowijoyo .Paradigma Islam ,Cet.VIII.Penerbit Mizan ,1998



































[i] M. Kamal Hasan, “The Expanding Spiritual-Moral…, 51.
[ii] Menurut laporan pengembangan manusia (Human Development Report 2002-UNDP), Nilai Human Development Index (HDI) 2000, Indonesia mendapat nilai 0,688 (urutan 109), Cina 0,72 (urutan 96), Filipina 0,754 (urutan 77), Thailand 0,752 (urutan 70), Malaysia 0,782 (urutan 59), Jepang 0,933 (urutan 9). Untuk diketahui, HDI adalah indeks campuran yang merupakan ukuran rata-rata prestasi penting atas tiga dimensi dasar dalam pengembangan atau pembangunan manusia: (a) long and healthy life; (b) pengetahuan (knowledge); (c) kelayakan standar hidup (a decent standard of living).
[iii] Mahatir Muhammad, globalization and the New Relities (Selangor: Pelanduk Publication(M) Sdn Bhd, 2002), 54,61.
[iv] Bandingkan QS al jatsiyah (45); 17. “kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syriat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syriat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” Juga QS al-maidah (5): 48. Pengertian dan pemahaman syariat sebagai seperangkat aturan dan nilai-nilai serta prinsip-prinsip dasar, lebih lanjut lihat Ziauudin Srdar, “The Ethical Connection: Cristian Muslim Relations in the Postmodern Age,” dalam Islam and Cristian Muslim Relations, volume 2, Number 1, June 1991, 66.
[v] Mahatir Muhammad, Globalisation……21-23.
[vi] Ali A. Mazrui, “The Ethics of war and the rhetoric of politics: the West and the rest,” dalam Islamic Millenium. Volume II, Number 2, January-March 2002, 1-10.

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...