Thursday, June 13, 2019

Ilmu Social Profetik


ABSTRAK

Kata kunci: integrasi keilmuan, ilmu social profetik, kuntowijoyo

Merasa kurang puas dengan ilmu social fungsionalisme, marxisme, feniminsme, liberalism dan beberapa teori ilmu social yang lain, Kuntowijoyo menampilkan ilmu social profetik yang lahir dari buah integrasi keilmuan islam yang bersumber dari wahyu, logika dan empiris. Berbeda dengan ilmu lain yang hanya bersumber dari logika dan empiris, di mana hal ini membuat manusia menuhankan pikiran dan menganggap dirinya sebagai pusat segala sesuatu.
Ilmu social profetik merupakan salah satu hasil fikir yang muncul dari metodologi Kuntowijoyo dalam memahami wahyu al-Qur’an. Ia menjagokan firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 110 sebagai landasan utama pada ilmu social profetik dengan merincikan 3 pilar utamanya, yaitu humanisasi (emansipasi), liberasi dan transendensi. Dari sini bisa dilihat bahwa, pengintegrasian keilmuan Kuntowijoyo adalah bukan sekedar menjadikan ilmu sebagai bentuk pengetahuan atas sesuatu tapi juga diaplikasikan untuk mengubah fenomena social menuju keadaan yang lebih baik.
Integrasi keilmuan Islam yang bersumber dari wahyu itu menuntut Kuntowijoyo untuk melihat al-Qur’an bukan hanya sebagai sumber data yang normative, namun juga teoritik. Kaitan cara pandang Kuntowijoyo terhadap al-Qur’an dengan ilmu social profetik adalah, bahwa ajaran al-Quran dapat senantiasa berkembang dan relevan di setiap zaman apabila kita mampu memahami sisi historis al-Qur’an. Dengan demikian, nash al-Qur’an bersifat universal untuk semua kondisi manusia di semua tempat dan semua waktu. Agaknya, model pengistinbathan Kuntowijoyo pada al-Qur’an adalah berpusat pada apa hikmah di balik ajaran itu dari berbagai pihak. Semisal, hikmah disyari’atkannya zakat, ia melihat hikmah zakat dari sisi pemberi juga dari sisi penerima.
Ilmu social profetik ini memiliki peran yang amat penting bagi kehidupan masyarakat karena bersumber dari wahyu yang benar dari Sang Pencipta, di mana dengan wahyu itu kehidupan manusia tidak hanya menjadi maju dan baik tapi juga benar menurut agama. Dengan melestarikan pengintegrasian ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh Kuntowijoyo, maka ini sudah merupakan pengamalan atas perintah nabi untuk berpegang teguh pada 2 warisan utamanya, al-Qur’an dan al-hadits.


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

Karl Marx (1818-1883) berkata: “Die Philosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert, es kommt darauf an, sie zu verÃndern” yang artinya para filosuf tidak lebih daripada sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah bagaimana mengubahnya.[1]

Sejalan dengan kehendak Marx untuk merubah dunia, Kuntowijoyo juga memiliki niat serupa, menurutnya, ilmu-ilmu sosial profetik yang digagasnya bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan suatu fenomena sosial, tetapi juga merubahnya. Bahkan tidak sampai di situ, ilmu ini juga memberi petunjuk ke arah mana perubahan itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa.[2]

Ada benarnya, suatu ilmu akan kehilangan gregetnya kalau sebatas untuk memahami, tetapi sebaliknya, akan sangat berarti kalau mampu menggerakkan kesadaran orang untuk melakukan perubahan secara deliberatif. Dan hal yang demikian hakikatnya sudah diajarkan oleh Islam. Kuntowijoyo sebenarnya ingin mengembalikan sifat asali Islam itu dalam diri umat, tetapi dengan paradigma yang berbeda, dan dengan metode yang berbeda pula. 

Sama dengan para pemikir Islam kebanyakan, titik pijak keberangkatan misi transformasi Kuntowijoyo adalah pedoman pokok umat Islam sendiri, yaitu al-Qur’an. Hanya saja posisi Kutowijoyo terhadap pedoman pokok itu tidak seperti mufassir tradisional yang berupaya menjelaskan maksud ayat kata perkata, alasan sebab turunnya, munasabahnya, dll, atau juga seperti mufassir modern yang mencoba memahami teks ayat dalam spasio-temporal kesejarahannya, tetapi juga membawa substansi ajarannya untuk sosio-kultural saat ini. 

Kuntowijoyo secara tidak langsung lepas dari kedua pola itu. Sebagai seorang ahli sejarah dan budayawan, tentu dia tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Karena itu dia mengambil jalan tengah, bukan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan oleh mufassir modern. Tetapi Kuntowijoyo berupaya mengangkat teks al-Qur’an (mentransendensirkannya) pada tingkat tertentu, dan menegasikan seluruh tafsir dan sosio-kultural yang melatarbelakanginya, untuk kemudian mengambil konsep-konsep sosial pada teks, dan menjelaskannya dalam perspektif ilmu sosial modern. Kuntowijoyo menyebut caranya ini dengan pengilmuan Islam yang kemudian menjadi semacam paradigma Islam.[3]

Pengilmuan Islam yang dilakukan oleh Kuntowijoyo yang berbuah pada kelahiran ilmu social profetik ini kemudian banyak memberi dampak pada pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim lainnya. Maka dalam makalah ini akan diuraikan tentang ilmu social profetik menurut Kuntowijoyo.


B.       RUMUSAN MASALAH

Berangkat dari latar belakang di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah:
1.      Apa integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo
2.      Apa pengertian ilmu social profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo?



C.      TUJUAN PEMBAHASAN

Tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo
2.      Untuk mengetahui pengertian ilmu social profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo
 
BAB II
PEMBAHASAN


Integrasi Keilmuan menurut Kuntowijoyo

Jika kembali melihat system pengetahuan Islam yang murni, maka sesungguhnya Islam mempunyai cara berfikir yang rasional dan empiris. Kita dapat melihat bahwa Islam begitu menganjurkan penggunaan akal pikiran dan pentingnya pencarian pengetahuan melalui observasi. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak perintah untuk kita agar mau memperhatikan tanda-tanda yang ada di dalam semesta, sejarah dan diri sendiri. Perintah-perintah itu mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya penuh dengan cita-cita yang rasional dan empiris.

Menurut Kuntowijoyo[4], dengan epistemology seperti itu, Islam tak perlu cemas menghadapi masa depan kebudayaan neoteknik industrial dengan system pengetahuan rasional dan empirisnya itu. Justru Islamlah sebenarnya yang mengenalkan system pengetahuan rasional itu ke dunia Barat di akhir zaman pertengahan. Islam yang membawa Barat menuju peradaban besar hingga sekarang. Pada saat itu, Islam benar-benar menjalankan misinya sebagai agama yang rasional dan empiris hingga mampu memimpin peradaban pada saat itu. Maka, untuk kembali memimpin, Islam harus kembali memerankan misi dan cita-citanya tersebut.  Jika hal ini terlaksana, maka sesungguhnya kita tak perlu takut dengan logika rasionalisme Barat yang mengatakan bahwa sekularisme adalah konsekuensi dari rasionalitas.

Untuk memerankan kembali misi rasional dan empiris Islam, Kuntowijoyo memandang perlunya integrasi ilmu pengetahuan yang tidak hanya bersumber dari logika (mode of thought) dan bukti empiris (mode of inquiry) namun juga bersumber dari agama atau wahyu. Maka, ada 5 program yang harus ditempuh menurut Kuntowijoyo demi menggali ilmu pengetahuan berdasarkan wahyu (al-Qur’an):[5]
1.        Perlunya dikembangkan penafsiran social structural daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu dalam al-Qur’an
2.        Mengubah cara berfikir subjektif ke cara berfikir objektif
3.        Mengubah Islam yang normative menjadi teoritis
4.        Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis
5.        Merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang bersifat spesifik dan empiris

Perlunya menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma ini, dinamakan oleh Kuntowijoyo sebagai paradigma Islam. Paradigma Islam ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya dengan istilah ilmu-ilmu sosial profetik.[6] Yang mana hasil akhir dari ilmu social profetik tersebut adalah perubahan fenomena social menuju keadaan sosial yang lebih baik berdasarkan cita-cita profetik.


Pengertian dan Lahirnya Ilmu Social Profetik

Terminus Profetik yang melekat pada istilah ilmu social profetik berasal dari bahasa Inggris “Prophet” atau nabi. Artinya, ilmu social profetik adalah ilmu yang membawa cita-cita profetik (kenabian) yang diderivasikan dari misi historis Islam.[7] Namun demikian, perlu dicatat bahwa istilah profetik tak ajeg diidentikkan dengan hal-hal yang berbau transcendental (ketuhanan) terlebih islam. Margaret Poloma juga menggunakan istilah tersebut guna menandai berbagai tokoh filsafat Barat yang beragam pemikirannya dikembangkan berikut mengalami percabangan sedemikian luas pada generasi-generasi setelahnya,[8] seperti Auguste Comte, Carl Max, Sigmnud Freud.

Dalam tradisi keilmuan Islam sendiri, istilah ilmu social profetik untuk pertama kalinya digunakan oleh Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali Pemikiran Islam dan Roger Garaudy melalui filsafat profetik usungannya. Iqbal memulai titik tolak penjelasannya mengenai ilmu social profetik melalui peristiwa isro’ mi’roj yang dilalui Nabi Muhammad Saw.[9] Menurutnya, peristiwa tersebut menunjukkan eksistensi dimensi pembebasan dalam Islam. Mengapa? Hal tersebut mengingat pasca Nabi Muhammad Saw bertemu Allah Swt, beliau kembali ke bumi untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi social budaya berdasarkan cita-cita profetik, dan tak tergoda dengan pengalaman maha mistik sebagaimana yang didambakan oleh kaum Sufi.

Landasan Ilmu Sosial Profetik

Ilmu social profetik yang diusung oleh Kuntowijoyo ini berpondasikan pada firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 110:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah.”

Menurut Kuntowijoyo, ayat tersebut mengandung 4 unsur pokok, yaitu: 1) Konsep tentang umat terbaik, 2) Aktifisme sejarah, 3) Pentingnya kesadaran dan 4) Etika profetik.

Pertama, konsep tentang umat terbaik disematkan pada umat yang mengerjakan 3 hal sebagaimana yang disebut dalam ayat itu. Yakni, menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran dan beriman kepada Tuhan.

Kedua, aktifisme sejarah. Redaksi ukhrijat linnasi mengindikasikan bahwa muslim yang ideal adalah yang melibatkan diri dalam sejarah. Pilihan kehidupan seperti membujang, mengasingkan diri (uzlah) adalah suatu pilihan yang tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan seperti menghindari diri dari dunia. Karena Islam adalah agama yang selain ritualnya dihadapkan pada Pencipta, juga berupa amal yang berkaitan dengan sesama makhluq.

Ketiga, pentingnya kesadaran. 3 item nilai ilahiah (ma’ruf, munkar dan iman) menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran di sini didasarkan pada etika Islam, bukan pada etika materialis. Berbeda dengan pandangan kaum Marxis yang menyatakan bahwa kesadaran itu ditentukan oleh kondisi social dan material, juga berbeda dengan pandangan kaum liberalis yang mengatakan bahwa kesadaran itu muncul dari individu seseorang, tanpa ada campur tangan Tuhan.

Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku untuk umum, untuk siapa saja, baik individu maupun golongan, dan bagi seluruh lapisan kelas social masyarakat.


Pilar Ilmu Sosial Profetik

Ilmu Sosial Profetik yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo ini memiliki 3 pilar utama, yaitu: 1) humanisasi, 2) liberasi dan 3) transendetal.

a.    Humanisasi

Pilar humanisasi ini diambil dari bagian ayat ta’muruuna bil ma’ruf. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.

Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.

Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.

Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).


b. Liberasi

Pilar liberasi ini diambil dari bagian ayat wa tanhauna ‘an al-munkar. Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.

Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi.

Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.


c. Transendensi

Pilar yang terakhir ini muncul atas tafsiran ayat tu’minuna billah. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.

Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.

Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya- menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.



BAB III
ANALISIS


Berikut adalah analisis pemikiran Kuntowijoyo menurut pemakalah:

1.        Perlunya realisasi integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo sebagai aktualisasi ajaran al-Qur’an terhadap kehidupan bermasyarakat

Beragam tuduhan dan gugatan terhadap syariat Islam semakin gencar terkait dengan persoalan relevansinya. Hal ini sedikit banyak tidak terlepas dari factor menguatnya rasionalitas ilmiah modern serta berbagai permasalahan yang universal. Berkembang pesatnya sains modern telah mengejutkan dan mengubah alam pemikiran dan dinamika social umat Islam. Pergeseran terjadi dalam dunia Islam, tidak hanya di bidang sosio-kultural, ekonomi dan politik, tapi juga dalam filsafat dan agama. Umat Islam mengalami situasi serba sulit, ketika syariat Islam mulai dituntut untuk bersaing menjadi sebuah ajaran yang menyentuh semua aspek kehidupan manusia yang kebenarannya bisa dinalar oleh rasio.

Gagasan Kuntowijoyo tentang integrasi keilmuan Islam ini patut untuk dilanjutkan sebagai aktualisasi ilmu-ilmu Islam yang dikandung al-Quran terhadap  kehidupan bermasyarakat. Dengan pendekatan sebagaimana yang dilakukan oleh beliau, tuntunan agama dapat diaplikasikan oleh tiap individu dalam sebuah komunitas masyarakat.

Pada kondisi seperti ini pula, umat Islam harus pandai-pandai membawa diri agar mudah bersikap tawasuth (harmonis-kompromistik). Diawali dengan membuka kesadaran bahwa modernitas dan globalisasi budaya adalah realita, dan kehadiran sains modern harus diterima sebagai sebuah perubahan yang siap untuk dihadapi, bukan justru melakukan kegiatan kontraproduktif yang berakibat meruntuhkan bangunan keyakinan umat. Umat Islam tidak perlu melakukan penolakan terhadap berbagai ilmu pengetahuan yang dihasilkan Barat, juga tidak perlu tergesa-gesa beranggapan bahwa sains modern adalah pembenar atas ajaran-ajaran agama.


2.        Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan untuk menggali keilmuan Islam demi menjalani kehidupan yang lebih universal tetaplah diizinkan namun hendaknya dilakukan secara hati-hati

Di awal telah disebutkan bahwa Kuntowijoyo bahwa dia tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Dia tidak menafsirkan ayat al-Qur’an seperti mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan oleh mufassir modern. Tetapi Kuntowijoyo berupaya mengangkat teks al-Qur’an (mentransendensirkannya) pada tingkat tertentu, dan menegasikan seluruh tafsir dan sosio-kultural yang melatarbelakanginya, untuk kemudian mengambil konsep-konsep sosial pada teks, dan menjelaskannya dalam perspektif ilmu sosial modern.

Namun perlu digarisbawahi, bahwa kandungan dalil al-Qur’an itu mencakup 3 hal, yang pertama adalah dalil yang qoth’iy dhonny (jelas keterangannya) seperti dalil bahwa Allah itu satu, cerita-cerita kaum terdahulu. Kedua, dalil yang  mujtahad (bisa diijtihadi) seperti dalil mengenai hokum-hukum fiqh. Dan yang ketiga, dalil yang mustasyabih, yaitu dalil yang tidak bisa ditafsiri, seperti ayat yadullahi fauqo aidihim. Menurut kami, metodologi tafsir yang digunakan oleh Kuntowijoyo boleh-boleh saja dilakukan, selama ayat-ayat yang menjadi obyek adalah bukan ayat yang mutasyabih. Karena ayat-ayat mutasyabih yang merupakan ayat-ayat ketuhanan sama sekali tidak bisa memberi ruang pada akal untuk menafsirkannya secara pasti.





3.        Perlunya pendalaman konsep amar ma’ruf nahi munkar agar seseorang tidak sembrono dalam bersikap

Munculnya gerakan-gerakan Islam seperti FPI dan Darul Hadits yang terkesan sembarangan dalam bertindak dengan alasan amar ma’ruf nahi munkar adalah karena kurang dalamnya pemahaman mereka terhadap konsep amar ma’ruf nahi munkar. Gagasan amar ma’ruf nahi munkar yang diutarakan oleh Kuntowijoyo ini sesuai dengan konsep hisbah yang disampaikan oleh Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, bahwa demi mencegah kemunkaran, seseorang tidak dibenarkan membuat kemunkaran yang lain. Seperti, aktivis sebuah ormas Islam yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum pidana di Indonesia yang tidak sesuai dengan hukum agama, kemudian melakukan demonstrasi pada pemerintah dengan melakukan aksi kekerasan dan kerusuhan di tempat-tempat umum adalah aksi yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Di mana, akan ada 2 kemunkaran yang ia munculkan akibat aksi nahi munkar-nya yang tidak tepat. Yang pertama, kemunkaran karena melakukan kerusuhan yang merugikan banyak orang. Kedua, kemunkaran karena pencitraan buruk atas Islam.

Dengan demikian, konsep santun amar ma’ruf nahi munkar menurut Kuntowijoyo ini sangat perlu diketahui oleh seluruh pihak, bukan sebatas muslim. Agar seluruh komponen masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai meski berbeda pendapat dan keyakinan.





BAB IV
PENUTUP


Melalui makalah ini kesimpulan yang dapat kita ambil adalah, bahwa integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo adalah penggunaan ilmu tidak hanya sekedar untuk mengetahui sebuah fenomena tapi juga sebagai media untuk mengubah fenomena yang ada menuju keadaan yang lebih baik. Maka, untuk menuju kondisi yang lebih baik, manusia harus mengambil sumber ilmu tidak hanya dari logika dan bukti empiris yang jika hanya menggunakannya maka akan memusatkan pikiran manusia pada kesenangan hedonis dan keegoisan semata, tapi juga dari wahyu (dalam hal ini menurut Kuntowijoyo adalah al-Qur’an sebagai wahyu bagi umat Islam) sebagai petunjuk ketuhanan menuju kebaikan dan kebenaran. Di samping wahyu merupakan kunci atas tabir-tabir yang dapat mengurai khazanah ilmu pengetahuan baru sebagaimana ulama’ dan para pakar dahulu dan kini yang berhasil mengeksplorasinya menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Salah satu hasil dari integrasi keilmuan Islam yang diupayakan oleh Kuntowijoyo adalah lahirnya ilmu social profetik, yaitu ilmu yang membawa cita-cita profetik (kenabian) yang diderivasikan dari misi historis Islam. Pelestarian ilmu social profetik ini juga termasuk salah satu pengamalan dictum nabawi yang menyatakan bahwa 2 warisan nabi yang jika senantiasa dijadikan pedoman akan membawa manusia pada keselamatan, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.



[2] Kuntowijoyo, 2004,  Islam sebagai Ilmu, (Bandung: Teraju Mizan), hal: 91
[4] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), hal: 283
[5] Ibid, hal: 283-285
[6] Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo), hal: 245
[7] Kuntowijoyo, 2004,  Islam sebagai Ilmu, (Bandung: Teraju Mizan), hal: 91-92
[9] Kuntowijoyo, 2004,  Islam sebagai Ilmu, (Bandung: Teraju Mizan), hal: 92

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...