ABSTRAK
Kata
kunci: integrasi keilmuan, ilmu social profetik, kuntowijoyo
Merasa kurang puas dengan ilmu
social fungsionalisme, marxisme, feniminsme, liberalism dan beberapa teori ilmu
social yang lain, Kuntowijoyo menampilkan ilmu social profetik yang lahir dari
buah integrasi keilmuan islam yang bersumber dari wahyu, logika dan empiris.
Berbeda dengan ilmu lain yang hanya bersumber dari logika dan empiris, di mana
hal ini membuat manusia menuhankan pikiran dan menganggap dirinya sebagai pusat
segala sesuatu.
Ilmu social profetik merupakan
salah satu hasil fikir yang muncul dari metodologi Kuntowijoyo dalam memahami
wahyu al-Qur’an. Ia menjagokan firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 110
sebagai landasan utama pada ilmu social profetik dengan merincikan 3 pilar
utamanya, yaitu humanisasi (emansipasi), liberasi dan transendensi. Dari sini bisa
dilihat bahwa, pengintegrasian keilmuan Kuntowijoyo adalah bukan sekedar
menjadikan ilmu sebagai bentuk pengetahuan atas sesuatu tapi juga diaplikasikan
untuk mengubah fenomena social menuju keadaan yang lebih baik.
Integrasi keilmuan Islam yang
bersumber dari wahyu itu menuntut Kuntowijoyo untuk melihat al-Qur’an bukan
hanya sebagai sumber data yang normative, namun juga teoritik. Kaitan cara
pandang Kuntowijoyo terhadap al-Qur’an dengan ilmu social profetik adalah,
bahwa ajaran al-Quran dapat senantiasa berkembang dan relevan di setiap zaman
apabila kita mampu memahami sisi historis al-Qur’an. Dengan demikian, nash
al-Qur’an bersifat universal untuk semua kondisi manusia di semua tempat dan
semua waktu. Agaknya, model pengistinbathan Kuntowijoyo pada al-Qur’an adalah
berpusat pada apa hikmah di balik ajaran itu dari berbagai pihak. Semisal,
hikmah disyari’atkannya zakat, ia melihat hikmah zakat dari sisi pemberi juga
dari sisi penerima.
Ilmu social profetik ini memiliki
peran yang amat penting bagi kehidupan masyarakat karena bersumber dari wahyu
yang benar dari Sang Pencipta, di mana dengan wahyu itu kehidupan manusia tidak
hanya menjadi maju dan baik tapi juga benar menurut agama. Dengan melestarikan
pengintegrasian ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh Kuntowijoyo, maka ini
sudah merupakan pengamalan atas perintah nabi untuk berpegang teguh pada 2
warisan utamanya, al-Qur’an dan al-hadits.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Karl Marx (1818-1883) berkata: “Die
Philosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert, es kommt darauf an,
sie zu verÃndern” yang artinya para filosuf tidak lebih daripada sekedar
menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah
bagaimana mengubahnya.[1]
Sejalan dengan kehendak Marx untuk
merubah dunia, Kuntowijoyo juga memiliki niat serupa, menurutnya, ilmu-ilmu
sosial profetik yang digagasnya bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan suatu
fenomena sosial, tetapi juga merubahnya. Bahkan tidak sampai di situ, ilmu ini
juga memberi petunjuk ke arah mana perubahan itu dilakukan, untuk apa, dan oleh
siapa.[2]
Ada benarnya, suatu ilmu akan kehilangan
gregetnya kalau sebatas untuk memahami, tetapi sebaliknya, akan sangat berarti
kalau mampu menggerakkan kesadaran orang untuk melakukan perubahan secara
deliberatif. Dan hal yang demikian hakikatnya sudah diajarkan oleh Islam.
Kuntowijoyo sebenarnya ingin mengembalikan sifat asali Islam itu dalam diri
umat, tetapi dengan paradigma yang berbeda, dan dengan metode yang berbeda
pula.
Sama dengan para pemikir Islam
kebanyakan, titik pijak keberangkatan misi transformasi Kuntowijoyo adalah
pedoman pokok umat Islam sendiri, yaitu al-Qur’an. Hanya saja posisi Kutowijoyo
terhadap pedoman pokok itu tidak seperti mufassir tradisional yang berupaya
menjelaskan maksud ayat kata perkata, alasan sebab turunnya, munasabahnya, dll,
atau juga seperti mufassir modern yang mencoba memahami teks ayat dalam
spasio-temporal kesejarahannya, tetapi juga membawa substansi ajarannya untuk
sosio-kultural saat ini.
Kuntowijoyo secara tidak langsung lepas
dari kedua pola itu. Sebagai seorang ahli sejarah dan budayawan, tentu dia
tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Karena itu
dia mengambil jalan tengah, bukan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti
mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang
dilakukan oleh mufassir modern. Tetapi Kuntowijoyo berupaya mengangkat teks
al-Qur’an (mentransendensirkannya) pada tingkat tertentu, dan menegasikan
seluruh tafsir dan sosio-kultural yang melatarbelakanginya, untuk kemudian
mengambil konsep-konsep sosial pada teks, dan menjelaskannya dalam perspektif
ilmu sosial modern. Kuntowijoyo menyebut caranya ini dengan pengilmuan Islam
yang kemudian menjadi semacam paradigma Islam.[3]
Pengilmuan Islam yang dilakukan oleh
Kuntowijoyo yang berbuah pada kelahiran ilmu social profetik ini kemudian
banyak memberi dampak pada pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim lainnya. Maka
dalam makalah ini akan diuraikan tentang ilmu social profetik menurut
Kuntowijoyo.
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang di
atas, maka masalah yang dirumuskan dalam makalah ini adalah:
1.
Apa integrasi keilmuan menurut
Kuntowijoyo
2.
Apa pengertian ilmu social
profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan disusunnya makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui integrasi
keilmuan menurut Kuntowijoyo
2.
Untuk mengetahui pengertian ilmu
social profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo
BAB II
PEMBAHASAN
Integrasi
Keilmuan menurut Kuntowijoyo
Jika kembali melihat system
pengetahuan Islam yang murni, maka sesungguhnya Islam mempunyai cara berfikir
yang rasional dan empiris. Kita dapat melihat bahwa Islam begitu menganjurkan
penggunaan akal pikiran dan pentingnya pencarian pengetahuan melalui observasi.
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak perintah untuk kita agar mau memperhatikan
tanda-tanda yang ada di dalam semesta, sejarah dan diri sendiri.
Perintah-perintah itu mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya penuh dengan
cita-cita yang rasional dan empiris.
Menurut Kuntowijoyo[4], dengan epistemology seperti itu, Islam tak perlu cemas menghadapi masa
depan kebudayaan neoteknik industrial dengan system pengetahuan rasional dan
empirisnya itu. Justru Islamlah sebenarnya yang mengenalkan system pengetahuan
rasional itu ke dunia Barat di akhir zaman pertengahan. Islam yang membawa
Barat menuju peradaban besar hingga sekarang. Pada saat itu, Islam benar-benar
menjalankan misinya sebagai agama yang rasional dan empiris hingga mampu
memimpin peradaban pada saat itu. Maka, untuk kembali memimpin, Islam harus
kembali memerankan misi dan cita-citanya tersebut. Jika hal ini terlaksana, maka sesungguhnya
kita tak perlu takut dengan logika rasionalisme Barat yang mengatakan bahwa
sekularisme adalah konsekuensi dari rasionalitas.
Untuk memerankan kembali
misi rasional dan empiris Islam, Kuntowijoyo memandang perlunya integrasi ilmu
pengetahuan yang tidak hanya bersumber dari logika (mode of thought) dan bukti empiris (mode of inquiry) namun juga bersumber dari agama atau wahyu. Maka,
ada 5 program yang harus ditempuh menurut Kuntowijoyo demi menggali ilmu
pengetahuan berdasarkan wahyu (al-Qur’an):[5]
1.
Perlunya dikembangkan penafsiran social structural daripada penafsiran
individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu dalam al-Qur’an
2.
Mengubah cara berfikir subjektif ke cara berfikir objektif
3.
Mengubah Islam yang normative menjadi teoritis
4.
Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis
5.
Merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi
yang bersifat spesifik dan empiris
Perlunya menjadikan
al-Qur’an sebagai paradigma ini, dinamakan oleh Kuntowijoyo sebagai paradigma
Islam. Paradigma Islam ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam
yang disebutnya dengan istilah ilmu-ilmu sosial profetik.[6]
Yang mana hasil akhir dari ilmu social profetik
tersebut adalah perubahan fenomena social menuju keadaan sosial yang lebih baik
berdasarkan cita-cita profetik.
Pengertian
dan Lahirnya Ilmu Social Profetik
Terminus Profetik yang melekat
pada istilah ilmu social profetik berasal dari bahasa Inggris “Prophet” atau
nabi. Artinya, ilmu social profetik adalah ilmu yang membawa cita-cita profetik
(kenabian) yang diderivasikan dari misi historis Islam.[7] Namun demikian, perlu dicatat
bahwa istilah profetik tak ajeg diidentikkan dengan hal-hal yang berbau
transcendental (ketuhanan) terlebih islam. Margaret Poloma juga menggunakan
istilah tersebut guna menandai berbagai tokoh filsafat Barat yang beragam
pemikirannya dikembangkan berikut mengalami percabangan sedemikian luas pada
generasi-generasi setelahnya,[8] seperti Auguste Comte, Carl Max,
Sigmnud Freud.
Dalam tradisi keilmuan Islam
sendiri, istilah ilmu social profetik untuk pertama kalinya digunakan oleh
Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali
Pemikiran Islam dan Roger Garaudy melalui filsafat profetik usungannya.
Iqbal memulai titik tolak penjelasannya mengenai ilmu social profetik melalui
peristiwa isro’ mi’roj yang dilalui Nabi Muhammad Saw.[9] Menurutnya, peristiwa tersebut
menunjukkan eksistensi dimensi pembebasan dalam Islam. Mengapa? Hal tersebut
mengingat pasca Nabi Muhammad Saw bertemu Allah Swt, beliau kembali ke bumi
untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi social
budaya berdasarkan cita-cita profetik, dan tak tergoda dengan pengalaman maha
mistik sebagaimana yang didambakan oleh kaum Sufi.
Landasan
Ilmu Sosial Profetik
Ilmu social profetik yang
diusung oleh Kuntowijoyo ini berpondasikan pada firman Allah dalam surat Ali
Imron ayat 110:
“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah.”
Menurut Kuntowijoyo, ayat
tersebut mengandung 4 unsur pokok, yaitu: 1) Konsep tentang umat terbaik, 2)
Aktifisme sejarah, 3) Pentingnya kesadaran dan 4) Etika profetik.
Pertama, konsep tentang umat
terbaik disematkan pada umat yang mengerjakan 3 hal sebagaimana yang disebut
dalam ayat itu. Yakni, menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran dan beriman
kepada Tuhan.
Kedua, aktifisme sejarah.
Redaksi ukhrijat linnasi mengindikasikan
bahwa muslim yang ideal adalah yang melibatkan diri dalam sejarah. Pilihan
kehidupan seperti membujang, mengasingkan diri (uzlah) adalah suatu pilihan
yang tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan seperti menghindari
diri dari dunia. Karena Islam adalah agama yang selain ritualnya dihadapkan
pada Pencipta, juga berupa amal yang berkaitan dengan sesama makhluq.
Ketiga, pentingnya
kesadaran. 3 item nilai ilahiah (ma’ruf, munkar dan iman) menjadi tumpuan
aktivisme Islam. Peranan kesadaran di sini didasarkan pada etika Islam, bukan
pada etika materialis. Berbeda dengan pandangan kaum Marxis yang menyatakan
bahwa kesadaran itu ditentukan oleh kondisi social dan material, juga berbeda
dengan pandangan kaum liberalis yang mengatakan bahwa kesadaran itu muncul dari
individu seseorang, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Keempat, etika profetik.
Ayat ini berlaku untuk umum, untuk siapa saja, baik individu maupun golongan,
dan bagi seluruh lapisan kelas social masyarakat.
Pilar
Ilmu Sosial Profetik
Ilmu Sosial Profetik yang
dikemukakan oleh Kuntowijoyo ini memiliki 3 pilar utama, yaitu: 1) humanisasi,
2) liberasi dan 3) transendetal.
a. Humanisasi
Pilar humanisasi ini diambil dari bagian ayat ta’muruuna bil ma’ruf. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi
artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan,
kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat
liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat
lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo
berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami
secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.
Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang
bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan
bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Peradaban
antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan.
Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup
dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi
dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi
penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya
yang semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah
kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji
rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap
alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya
telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo
Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin
perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan
mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia
berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah
masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses
humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti
humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan
konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah
untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia
tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan
karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi
(obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas
kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).
b.
Liberasi
Pilar liberasi ini diambil dari bagian ayat wa tanhauna ‘an al-munkar. Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik
sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan,
teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan
liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial
Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur
transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam
konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik
dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab
profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan
kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih
jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang
dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat
liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah
ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat
peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan
yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi.
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem
pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu
manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang
merdeka dan mulia.
c.
Transendensi
Pilar yang terakhir ini muncul atas tafsiran ayat tu’minuna billah. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya
yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan)
sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi
menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam
Ilmu Sosial Profetik.
Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong
terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan
oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk
renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia,
cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia
memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari
cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran.
Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya
manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna
yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia
yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena
kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan.
Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju
nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi
memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan.
Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar
nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik.
Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada
perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik
transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana
posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya- menuju kesadaran
transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran
manusia.
BAB III
ANALISIS
Berikut adalah
analisis pemikiran Kuntowijoyo menurut pemakalah:
1.
Perlunya realisasi
integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo sebagai aktualisasi ajaran al-Qur’an
terhadap kehidupan bermasyarakat
Beragam tuduhan dan gugatan terhadap syariat Islam semakin gencar
terkait dengan persoalan relevansinya. Hal ini sedikit banyak tidak terlepas
dari factor menguatnya rasionalitas ilmiah modern serta berbagai permasalahan
yang universal. Berkembang pesatnya sains modern telah mengejutkan dan mengubah
alam pemikiran dan dinamika social umat Islam. Pergeseran terjadi dalam dunia
Islam, tidak hanya di bidang sosio-kultural, ekonomi dan politik, tapi juga
dalam filsafat dan agama. Umat Islam mengalami situasi serba sulit, ketika
syariat Islam mulai dituntut untuk bersaing menjadi sebuah ajaran yang
menyentuh semua aspek kehidupan manusia yang kebenarannya bisa dinalar oleh
rasio.
Gagasan Kuntowijoyo tentang integrasi keilmuan Islam ini patut untuk
dilanjutkan sebagai aktualisasi ilmu-ilmu Islam yang dikandung al-Quran
terhadap kehidupan bermasyarakat. Dengan
pendekatan sebagaimana yang dilakukan oleh beliau, tuntunan agama dapat diaplikasikan
oleh tiap individu dalam sebuah komunitas masyarakat.
Pada kondisi seperti ini pula, umat Islam harus pandai-pandai membawa
diri agar mudah bersikap tawasuth (harmonis-kompromistik).
Diawali dengan membuka kesadaran bahwa modernitas dan globalisasi budaya adalah
realita, dan kehadiran sains modern harus diterima sebagai sebuah perubahan
yang siap untuk dihadapi, bukan justru melakukan kegiatan kontraproduktif yang
berakibat meruntuhkan bangunan keyakinan umat. Umat Islam tidak perlu melakukan
penolakan terhadap berbagai ilmu pengetahuan yang dihasilkan Barat, juga tidak
perlu tergesa-gesa beranggapan bahwa sains modern adalah pembenar atas
ajaran-ajaran agama.
2.
Penafsiran al-Qur’an
yang dilakukan untuk menggali keilmuan Islam demi menjalani kehidupan yang
lebih universal tetaplah diizinkan namun hendaknya dilakukan secara hati-hati
Di awal telah disebutkan bahwa Kuntowijoyo bahwa
dia tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Dia tidak
menafsirkan ayat al-Qur’an seperti mufassir tradisional, atau juga
mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan oleh mufassir modern.
Tetapi Kuntowijoyo berupaya mengangkat teks al-Qur’an (mentransendensirkannya)
pada tingkat tertentu, dan menegasikan seluruh tafsir dan sosio-kultural yang
melatarbelakanginya, untuk kemudian mengambil konsep-konsep sosial pada teks,
dan menjelaskannya dalam perspektif ilmu sosial modern.
Namun perlu digarisbawahi, bahwa kandungan dalil
al-Qur’an itu mencakup 3 hal, yang pertama adalah dalil yang qoth’iy dhonny (jelas keterangannya)
seperti dalil bahwa Allah itu satu, cerita-cerita kaum terdahulu. Kedua, dalil
yang mujtahad
(bisa diijtihadi) seperti dalil mengenai hokum-hukum fiqh. Dan yang ketiga,
dalil yang mustasyabih, yaitu dalil
yang tidak bisa ditafsiri, seperti ayat yadullahi
fauqo aidihim. Menurut kami, metodologi tafsir yang digunakan oleh
Kuntowijoyo boleh-boleh saja dilakukan, selama ayat-ayat yang menjadi obyek
adalah bukan ayat yang mutasyabih. Karena ayat-ayat mutasyabih yang merupakan
ayat-ayat ketuhanan sama sekali tidak bisa memberi ruang pada akal untuk
menafsirkannya secara pasti.
3.
Perlunya pendalaman
konsep amar ma’ruf nahi munkar agar seseorang tidak sembrono dalam bersikap
Munculnya gerakan-gerakan Islam seperti FPI dan Darul Hadits yang
terkesan sembarangan dalam bertindak dengan alasan amar ma’ruf nahi munkar
adalah karena kurang dalamnya pemahaman mereka terhadap konsep amar ma’ruf nahi
munkar. Gagasan amar ma’ruf nahi munkar yang diutarakan oleh Kuntowijoyo ini sesuai
dengan konsep hisbah yang disampaikan
oleh Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, bahwa demi mencegah
kemunkaran, seseorang tidak dibenarkan membuat kemunkaran yang lain. Seperti,
aktivis sebuah ormas Islam yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum pidana di
Indonesia yang tidak sesuai dengan hukum agama, kemudian melakukan demonstrasi
pada pemerintah dengan melakukan aksi kekerasan dan kerusuhan di tempat-tempat
umum adalah aksi yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Di mana, akan ada 2
kemunkaran yang ia munculkan akibat aksi nahi
munkar-nya yang tidak tepat. Yang pertama, kemunkaran karena melakukan
kerusuhan yang merugikan banyak orang. Kedua, kemunkaran karena pencitraan
buruk atas Islam.
Dengan demikian, konsep santun amar ma’ruf nahi munkar menurut
Kuntowijoyo ini sangat perlu diketahui oleh seluruh pihak, bukan sebatas
muslim. Agar seluruh komponen masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai
meski berbeda pendapat dan keyakinan.
BAB IV
PENUTUP
Melalui makalah ini kesimpulan yang dapat
kita ambil adalah, bahwa integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo adalah
penggunaan ilmu tidak hanya sekedar untuk mengetahui sebuah fenomena tapi juga sebagai
media untuk mengubah fenomena yang ada menuju keadaan yang lebih baik. Maka,
untuk menuju kondisi yang lebih baik, manusia harus mengambil sumber ilmu tidak
hanya dari logika dan bukti empiris yang jika hanya menggunakannya maka akan
memusatkan pikiran manusia pada kesenangan hedonis dan keegoisan semata, tapi juga
dari wahyu (dalam hal ini menurut Kuntowijoyo adalah al-Qur’an sebagai wahyu
bagi umat Islam) sebagai petunjuk ketuhanan menuju kebaikan dan kebenaran. Di
samping wahyu merupakan kunci atas tabir-tabir yang dapat mengurai khazanah
ilmu pengetahuan baru sebagaimana ulama’ dan para pakar dahulu dan kini yang
berhasil mengeksplorasinya menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Salah satu hasil dari integrasi keilmuan
Islam yang diupayakan oleh Kuntowijoyo adalah lahirnya ilmu social profetik,
yaitu ilmu yang membawa cita-cita profetik (kenabian) yang diderivasikan dari
misi historis Islam. Pelestarian ilmu social profetik ini juga termasuk salah
satu pengamalan dictum nabawi yang menyatakan bahwa 2 warisan nabi yang jika
senantiasa dijadikan pedoman akan membawa manusia pada keselamatan, yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits.
[1] http://tarbiyah-iainantasari.ac.id/artikel_detail.cfm?judul=185
pada tanggal 13 Desember 2012
[2]
Kuntowijoyo, 2004, Islam sebagai Ilmu, (Bandung: Teraju Mizan), hal: 91
[3] http://tarbiyah-iainantasari.ac.id/artikel_detail.cfm?judul=185
pada tanggal 13 Desember 2012
[4]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam,
Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), hal: 283
[5]
Ibid, hal: 283-285
[6]
Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi
Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo), hal: 245
[7]
Kuntowijoyo, 2004, Islam sebagai Ilmu, (Bandung: Teraju Mizan), hal: 91-92
[8]
http://kolomsosiologi.blogspot.com/2012/07/israj-miraj-tafsir-ilmu-sosial-profetik.html
pada tanggal 13 Desember 2012
[9]
Kuntowijoyo, 2004, Islam sebagai Ilmu, (Bandung: Teraju Mizan), hal: 92
No comments:
Post a Comment