Thursday, June 13, 2019

FILSAFAT BAHASA (B)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Hubungan antara bahasa dan filsafat ternyata telah terjadi sejak dahulu kala, bahkan sejak zaman Yunani dan menjadi perhatian para filsuf. suatu perubahan terpenting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa.
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari filsafat, karena bahasa adalah media utama bagi para filsuf dalam mengekspresikan hasil pemikiran mereka. Seandainya tidak ada bahasa, maka hasil pemikiran mereka tidak akan ada gunanya karena hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja tanpa orang lain.
Penggunaan bahasa dalam filsafat kemudian menimbulkan masalah ketika banyak istilah yang digunakan kemudian dianggap sulit difahami dan tidak masuk akal. Maka pada abad ke 20 para filsuf mulai berkonsentrasi kepada bahasa yang kemudian muncullah yang namanya filsafat bahasa.
Makalah ini akan mencoba membahas tentang filsafat bahasa dan seluk beluknya, meskipun dengan segala keterbatasan dalam pembahasan tiap-tiap babnya.
B.       Rumusan  Masalah
1.      Apakah pengertian Filsafat Bahasa?
2.      Metode apa yang digunakan dalam filsafat bahasa?
3.      Apa macam-macam filsafat bahasa?
C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Filsafat Bahasa
2.      Untuk mengetahui Metode apa yang digunakan dalam filsafat bahasa
3.      Untuk mengetahui macam-macam filsafat bahasa



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Filsafat Bahasa
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah ini muncul bersamaan dengan kecenderungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasti mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Berdasarkan realitas tersebut, maka sebelum kita menyetujui salah satu definisi atau pengertian, ada baiknya terlebih dahulu dilihat beberapa pandangan para ahli mengenai filsafat bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu: 1. Filsafat mengenai bahasa, dan 2. Filsafat berdasarkan bahasa. Dalam hubungannya dengan pengertian nomor satu,  seorang filosof sudah tentu mempunyai sebuah sistem yang dipakainya untuk mendekati bahasa sebagai suatu objek khusus, seperti ia dapat mendekati objek-objek lain dengan berpangkal pada sistem yang sama. Objek dari pengertian filsafat bahasa sebagai “filsafat mengenai bahasa”, Verhaar memberikan contoh ilmu bahasa, dan psikologi bahasa sebagai objek kajiannya.
Filsafat bahasa yang diartikan sebagai “filsafat” berdasarkan bahasa mengandung pengertian bahwa seorang filosof itu ingin berfilsafat dan mencari sebuah sumber yang dapat dijadikan titik pangkal yang menyediakan bahan-bahan yang diperlukan. Verhaar memberikan dua pengertian “bahasa” yang dijadikan titik pangkal untuk berfilsafat dalam filsafat berdasarkan bahasa ini, yaitu bahasa yang diartikan eksklusif  dan bahasa yang diartikan inklusif. Bahasa dalam pengertian eksklusif ialah bahasa yang didefinisikan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Jadi, bahasa itu mencerminkan semacam visi kodrati spontan yang dapat dipakai sebagai sumber berharga untuk filsafat. Sedangkan yang dimaksud dengan bahasa dalam pengertian inklusif ialah bahasa yang tidak digunakan dalam arti sehari-hari dalam komunikasi, seperti bahasa tari, bahasa musik, bahasa cinta, bahkan bahasa alam semesta.[1]
Bahasa tidak sekedar urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiri, tetapi juga kaya dengan makna yang sifatnya non-empiris. Dengan demikian, bahasa adalah sarana vital dalam berfilsafat, yakni sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang fakta dan realitas yang direpresentasi lewat simbol bunyi.[2]
Menurut Rizal Mustansyir, filsafat bahasa ialah suatu  penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull) dengan yang tidak bermakna (meaningless).
Menurut Asep Ahmad Hidayat, pengertian filsafat perlu didekati dari dua pendangan, yaitu filsafat sebagai sebuah ilmu dan filsafat sebagai sebuah metode. Oleh karena itu pengertian filsafat bahasa pun bisa  didekati dengan dua pandangan tersebut. Filsafat bahasa jika dilihat sebagai sebuah ilmu, maka filsafat ialah kumpulan hasil pikiran para filosof mengenai hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Sedangkan, jika diartikan sebagai sebuah metode berfikir, ia bisa diartikan sebagai metode berfikir secara mendalam (radik), logis, dan universal mengenai hakikat bahasa.[3]
Filsafat bahasa atau filsafat bentuk simbolis (philosophy of symbolic forms) berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti hakikat dan fungsi bahasa, hubungan bahasa dan realitas, jenis-jenis sistem simbol, dan dasar-dasar untuk mengevaluasi sistem bahasa. Dari filsafat bahasa dalam pengertian ini berkembang teori-teori linguistik selama ini.[4]
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.[5]

B.       Objek Filsafat Bahasa
Dalam ilmu pengetahuan terdapat dua objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah benda, hal atau bahan yang menjadi objek, bidang atau sasaran penelitian. Sedangkan objek formal adalah aspek atau sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya.
Objek material filsafat adalah seluruh yang ada, baik yang dapat dirasakan maupun yang tidak, baik yang konkret maupun yang abstrak. Sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh sehingga dapat mencapai hakikat objek materialnya, yaitu seluruh yang ada di dunia ini.
Rizal Muntasyir menyebutkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah bahasa kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formalnya adalah pandangan falsafati atau tinjauan secara filsafati.
Berbeda halnya Asep Ahmad Hidayat yang tidak setuju dengan pendapat Rizal. Menurutnya objek material filsafat adalah bahasa itu sendiri secara umum. Sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang terhadap bahasa dilihat dari aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi bahasa. Hal itu yang membedakan filsafat bahasa dengan ilmu bahasa atau linguistik.[6]

C.      Metode Mempelajari Filsafat Bahasa
Ada lima metode yang dapat digunakan untuk mempelajari filsafat bahasa, yaitu:
1.    Metode Historis, yaitu suatu metode pengkajian filsafat yang didasarkan pada prinsip-prinsip metode historigrafi yang meliputi empat tahapan: heuristik, kritik, interpretasi, dan histografi.
2.    Metode Sistematis, yaitu metode pembahasan filsafat bahasa yang didasarkan pada pendekatan material (isi pemikiran). Melalui metode ini, seseorang bisa mempelajari filsafat bahasa mulai dari aspek ontologi filsafat bahasa, kemudian dilanjutkan pada aspek epistemologi, dan akhirnya sampai pada pembahasan aspek aksiologi filsafat bahasa.
3.    Metode Kritis, yaitu yang digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Bagi yang menggunakan metode ini haruslah sudah memiliki pengetahuan filsafat.
4.    Metode analisis abstrak, yaitu dengan cara melakukan kegiatan urai setiap fenomena kebahasaan dengan cara memilah-milah. Selanjutnya dilakukan generalisir secara abstrak sesuai dengan kaidah berfikir logis.
5.    Metode intuitif, yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif dan dengan memakai simbol-simbol.[7]

D.      Hubungan Bahasa dan Filsafat
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi jangan lupa bahwa bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia. Seorang filosof, misalnya, ia akan senantiasa bergantung kepada bahasa. Fakta telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil perenungan filosofis seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa.
Louis O. Katsooff berpendapat bahwa suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut.[8]
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah, seorang filosof baik secara langsung maupun tidak akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Realitas itulah yang kemudian mendorong para filosof dari tradisi realisme di Inggris mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang dilakukan oleh George Moore (1873-1958), Bertrand Russell (1872-1970), Ludwig Wittgenstein (1889-1951) dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.[9]

E.       Filsafat Analitik
Dalam sejarah filsafat barat diakui bahwa Inggris merupakan tempat yang paling subur bagi perkembangan empirisme, yaitu suatu aliran filsafat yang menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling dipercaya untuk memperoleh kebenaran. Pengaruh pemikiran mereka (Locke dan Hume) telah mendominasi corak filsafat Inggris pada khususnya dan filsafat barat pada umumnya.
Meskipun kubu empirisme yang secara penuh bertentangan dengan kubu rasionalisme–aliran filsafat yang lebih menitikberatkan akal untuk memperoleh kebenaran- pada akhirnya dipadukan oleh Immanuel Kant. Pengaruh pemikiran empirisme ini mulai memudar manakala gaung filsafat Heggel, Idealisme, mulai masuk ke Inggris pada pertengahan abad ke-19. Filsafat Heggel yang menguasai atau merajai dunia di seantero Eropa itu berhasil meluluhlantakan pengaruh pemikiran empirisme dikandangnya sendiri yaitu inggris.
Tetapi pada awal abad ke-20 iklim filsafat (khususnya di Inggris) mulai berubah. Para filsof Inggris mulai mencurigai atau meragukan ungkapan-ungkapan filsafat yang dilontarkan oleh kaum Hegelian (pengikut Hegel). Mereka menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit dipahami tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu, para  filsuf Inggris berupaya melepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme.
Revolusi yang ditiupkan oleh para filsuf tersebut yang cukup terkenal yaitu G.E. Moore segera disambut hangat oleh tokoh Cambridge lainnya Bertrand Russelstein. Melalui Wittgenstein inilah revolusi yang menentang pengaruh kaum hegelilan itu muncul metode filsafat yang baru yaitu metode analisa bahasa.
Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisis bahasa itu tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika.
Metode filsafat bahasa inilah yang telah membawa angin segar ke dalam dunia filsafat (terutama di Inggris) karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas. Begitu banyak istilah atau ungkapan yang aneh dalam filsafat (seperti : eksistensi, nothingness, substansi dan lain-lain) sehingga menimbulkan teka-teki yang mem-bingungkan para peminat filsafat.[10]

F.       Filsafat Bahasa Biasa
Pengaruh filsafat analitik mulai meluluh secara perlahan setelah lebih dari tiga dasarwarsa berpengaruh di Inggris. Sebab filsuf mulai menyadari bahwa metode analisis bahasa hanya mengarah pada pencarian makna bahasa, yang dapat menggiring mereka pada pernyataan tidak bermakna. Kemudian mereka mulai mengalihkan perhatian pada titik tolak belakang penggunaan bahasa biasa.
Kelompok ini beranggapan bahwa bahasa biasa cukup sesuai dengan maksud-maksud filsafat. Hanya filsuf menyalahgunakan istilah-istilah yang mengandung kepastian seperti “tahu”, “melihat”, “bebas”, “benar”, “sebab”. Istilah tersebut bukan hal asing dalam kehidupan sehari-hari, tetapi para filsuf sering “meninggalkan” penggunaan yang biasa dari istilah-istilah tersebut tanpa memberikan penjelasan sehingga istilah-istilah itu jatuh ke dalam teka-teki yang tak dapat dipecahkan.[11]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Hubungan antara filsafat dan bahasa sangatlah erat. Dari sinilah kemudian muncul yang namanya filsafat bahasa pada abad ke 20an. Filsafat bahasa sendiri merupakan suatu  penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat.

Ada perbedaan antara filsafat bahasa dan linguistik, yaitu linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual.

Dalam filsafat bahasa terdapat yang dinamakan dengan filsafat analitik yaitu aliran filsafat yang lahit sebagai perlawan terhadap aliran idealisme yang menggunakan ungkapan yang sulit dipahami dan juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Juga terdapat filsafat bahasa biasa yang kemudian menggeser posisi analitik karena dianggap hanya mengarah pada pencarian makna bahasa saja yang dapat membawa kepada pernyataan yang tidak bermakna.



DAFTAR PUSTAKA
·      Hidayat, Asep Ahmad.  Filsafat Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006)
·      Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)
·      Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga, 1986)
·      http://arerariena.wordpress.com/2011/02/16/filsafat-bahasa/
·      http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_bahasa



[1] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) hal 12-13
[2] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010)hal 14
[3] Hidayat, Op.cit. hal 13
[4] Chaedar, Op.cit. hal 15
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_bahasa
[6] Hidayat, Op.cit. hal 14-15
[7] Hidayat, Op.cit. hal 15-17
[8] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga, 1986) hal 39.
[9] Hidayat, Op.cit. hal 31-32  
[10] http://arerariena.wordpress.com/2011/02/16/filsafat-bahasa/
[11] ibid

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...