BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hubungan antara
bahasa dan filsafat ternyata telah terjadi sejak dahulu kala, bahkan sejak
zaman Yunani dan menjadi perhatian para filsuf. suatu perubahan terpenting terjadi
ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat
dijelaskan melalui suatu analisis bahasa.
Bahasa tidak dapat
dipisahkan dari filsafat, karena bahasa adalah media utama bagi para filsuf
dalam mengekspresikan hasil pemikiran mereka. Seandainya tidak ada bahasa, maka
hasil pemikiran mereka tidak akan ada gunanya karena hanya diketahui oleh
dirinya sendiri saja tanpa orang lain.
Penggunaan bahasa
dalam filsafat kemudian menimbulkan masalah ketika banyak istilah yang
digunakan kemudian dianggap sulit difahami dan tidak masuk akal. Maka pada abad
ke 20 para filsuf mulai berkonsentrasi kepada bahasa yang kemudian muncullah
yang namanya filsafat bahasa.
Makalah ini akan
mencoba membahas tentang filsafat bahasa dan seluk beluknya, meskipun dengan
segala keterbatasan dalam pembahasan tiap-tiap babnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian Filsafat
Bahasa?
2.
Metode apa yang digunakan
dalam filsafat bahasa?
3.
Apa macam-macam filsafat
bahasa?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian
Filsafat Bahasa
2.
Untuk mengetahui Metode apa
yang digunakan dalam filsafat bahasa
3.
Untuk mengetahui macam-macam
filsafat bahasa
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Bahasa
Hadirnya istilah
filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal
yang baru. Istilah ini muncul bersamaan dengan kecenderungan filsafat abad
ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila
ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasti mengenai apa
sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Berdasarkan
realitas tersebut, maka sebelum kita menyetujui salah satu definisi atau
pengertian, ada baiknya terlebih dahulu dilihat beberapa pandangan para ahli
mengenai filsafat bahasa.
Verhaar telah
menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu: 1.
Filsafat mengenai bahasa, dan 2. Filsafat berdasarkan bahasa. Dalam hubungannya
dengan pengertian nomor satu, seorang
filosof sudah tentu mempunyai sebuah sistem yang dipakainya untuk mendekati
bahasa sebagai suatu objek khusus, seperti ia dapat mendekati objek-objek lain
dengan berpangkal pada sistem yang sama. Objek dari pengertian filsafat bahasa
sebagai “filsafat mengenai bahasa”, Verhaar memberikan contoh ilmu bahasa, dan
psikologi bahasa sebagai objek kajiannya.
Filsafat bahasa
yang diartikan sebagai “filsafat” berdasarkan bahasa mengandung pengertian
bahwa seorang filosof itu ingin berfilsafat dan mencari sebuah sumber yang
dapat dijadikan titik pangkal yang menyediakan bahan-bahan yang diperlukan.
Verhaar memberikan dua pengertian “bahasa” yang dijadikan titik pangkal untuk
berfilsafat dalam filsafat berdasarkan bahasa ini, yaitu bahasa yang diartikan
eksklusif dan bahasa yang diartikan
inklusif. Bahasa dalam pengertian eksklusif ialah bahasa yang didefinisikan
sebagai alat komunikasi sehari-hari. Jadi, bahasa itu mencerminkan semacam visi
kodrati spontan yang dapat dipakai sebagai sumber berharga untuk filsafat.
Sedangkan yang dimaksud dengan bahasa dalam pengertian inklusif ialah bahasa
yang tidak digunakan dalam arti sehari-hari dalam komunikasi, seperti bahasa
tari, bahasa musik, bahasa cinta, bahkan bahasa alam semesta.[1]
Bahasa tidak
sekedar urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiri, tetapi juga kaya dengan
makna yang sifatnya non-empiris. Dengan demikian, bahasa adalah sarana vital
dalam berfilsafat, yakni sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang
fakta dan realitas yang direpresentasi lewat simbol bunyi.[2]
Menurut Rizal
Mustansyir, filsafat bahasa ialah suatu
penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam
filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull)
dengan yang tidak bermakna (meaningless).
Menurut Asep Ahmad
Hidayat, pengertian filsafat perlu didekati dari dua pendangan, yaitu filsafat
sebagai sebuah ilmu dan filsafat sebagai sebuah metode. Oleh karena itu pengertian
filsafat bahasa pun bisa didekati dengan
dua pandangan tersebut. Filsafat bahasa jika dilihat sebagai sebuah ilmu, maka
filsafat ialah kumpulan hasil pikiran para filosof mengenai hakikat bahasa yang
disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu.
Sedangkan, jika diartikan sebagai sebuah metode berfikir, ia bisa diartikan
sebagai metode berfikir secara mendalam (radik), logis, dan universal mengenai
hakikat bahasa.[3]
Filsafat bahasa
atau filsafat bentuk simbolis (philosophy of symbolic forms) berkaitan
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti hakikat dan fungsi bahasa, hubungan bahasa
dan realitas, jenis-jenis sistem simbol, dan dasar-dasar untuk mengevaluasi
sistem bahasa. Dari filsafat bahasa dalam pengertian ini berkembang teori-teori
linguistik selama ini.[4]
Letak perbedaan
antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan
mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi,
para sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah
tujuan akhir kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu
pengetahuan atau hakikat pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat
pengetahuan konseptual itu, para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan
akhir, melainkan sebagai objek sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh
kejelasan tentang hakikat pengetahuan konseptual itu.[5]
B.
Objek Filsafat
Bahasa
Dalam ilmu
pengetahuan terdapat dua objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material
adalah benda, hal atau bahan yang menjadi objek, bidang atau sasaran
penelitian. Sedangkan objek formal adalah aspek atau sudut pandang tertentu
terhadap objek materialnya.
Objek material
filsafat adalah seluruh yang ada, baik yang dapat dirasakan maupun yang tidak,
baik yang konkret maupun yang abstrak. Sedangkan objek formalnya adalah sudut
pandang yang menyeluruh sehingga dapat mencapai hakikat objek materialnya,
yaitu seluruh yang ada di dunia ini.
Rizal Muntasyir
menyebutkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah bahasa kefilsafatan
atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Sedangkan objek formalnya adalah
pandangan falsafati atau tinjauan secara filsafati.
Berbeda halnya
Asep Ahmad Hidayat yang tidak setuju dengan pendapat Rizal. Menurutnya objek
material filsafat adalah bahasa itu sendiri secara umum. Sedangkan objek
formalnya adalah sudut pandang terhadap bahasa dilihat dari aspek ontologi,
epistimologi dan aksiologi bahasa. Hal itu yang membedakan filsafat bahasa
dengan ilmu bahasa atau linguistik.[6]
C.
Metode Mempelajari
Filsafat Bahasa
Ada lima metode
yang dapat digunakan untuk mempelajari filsafat bahasa, yaitu:
1.
Metode Historis, yaitu
suatu metode pengkajian filsafat yang didasarkan pada prinsip-prinsip metode
historigrafi yang meliputi empat tahapan: heuristik, kritik, interpretasi, dan
histografi.
2.
Metode Sistematis, yaitu
metode pembahasan filsafat bahasa yang didasarkan pada pendekatan material (isi
pemikiran). Melalui metode ini, seseorang bisa mempelajari filsafat bahasa
mulai dari aspek ontologi filsafat bahasa, kemudian dilanjutkan pada aspek
epistemologi, dan akhirnya sampai pada pembahasan aspek aksiologi filsafat
bahasa.
3.
Metode Kritis, yaitu yang
digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Bagi yang
menggunakan metode ini haruslah sudah memiliki pengetahuan filsafat.
4.
Metode analisis abstrak,
yaitu dengan cara melakukan kegiatan urai setiap fenomena kebahasaan dengan
cara memilah-milah. Selanjutnya dilakukan generalisir secara abstrak sesuai
dengan kaidah berfikir logis.
5.
Metode intuitif, yaitu
dengan melakukan introspeksi intuitif dan dengan memakai simbol-simbol.[7]
D.
Hubungan Bahasa dan
Filsafat
Bahasa tidak saja
sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia,
tetapi jangan lupa bahwa bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia.
Artinya, bahwa bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan
manusia. Seorang filosof, misalnya, ia akan senantiasa bergantung kepada
bahasa. Fakta telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil-hasil
perenungan filosofis seseorang tidak dapat dilakukan tanpa bahasa.
Louis O. Katsooff
berpendapat bahwa suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat
dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat dipandang
sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut.[8]
Dari uraian di
atas, jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi yang
sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas yang tidak dapat ditolak
kehadirannya. Sebab itulah, seorang filosof baik secara langsung maupun tidak
akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang tidak akan
terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Realitas itulah
yang kemudian mendorong para filosof dari tradisi realisme di Inggris
mengalihkan orientasi kajian kefilsafatannya pada analisis bahasa seperti yang
dilakukan oleh George Moore (1873-1958), Bertrand Russell (1872-1970), Ludwig
Wittgenstein (1889-1951) dan yang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya
kelompok ini sering dikelompokkan sebagai aliran baru dalam filsafat, yaitu
aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitis.[9]
E.
Filsafat Analitik
Dalam sejarah
filsafat barat diakui bahwa Inggris merupakan tempat yang paling subur bagi
perkembangan empirisme, yaitu suatu aliran filsafat yang menganggap bahwa
pengalaman adalah sarana yang paling dipercaya untuk memperoleh kebenaran.
Pengaruh pemikiran mereka (Locke dan Hume) telah mendominasi corak filsafat
Inggris pada khususnya dan filsafat barat pada umumnya.
Meskipun kubu
empirisme yang secara penuh bertentangan dengan kubu rasionalisme–aliran
filsafat yang lebih menitikberatkan akal untuk memperoleh kebenaran- pada
akhirnya dipadukan oleh Immanuel Kant. Pengaruh pemikiran empirisme ini mulai
memudar manakala gaung filsafat Heggel, Idealisme, mulai masuk ke Inggris pada
pertengahan abad ke-19. Filsafat Heggel yang menguasai atau merajai dunia di
seantero Eropa itu berhasil meluluhlantakan pengaruh pemikiran empirisme
dikandangnya sendiri yaitu inggris.
Tetapi pada awal
abad ke-20 iklim filsafat (khususnya di Inggris) mulai berubah. Para filsof
Inggris mulai mencurigai atau meragukan ungkapan-ungkapan filsafat yang
dilontarkan oleh kaum Hegelian (pengikut Hegel). Mereka menilai ungkapan
filsafat idealisme bukan saja sulit dipahami tetapi juga telah menyimpang jauh
dari akal sehat. Oleh karena itu, para filsuf Inggris berupaya melepaskan
diri dari cengkraman filsafat idealisme.
Revolusi yang ditiupkan
oleh para filsuf tersebut yang cukup terkenal yaitu G.E. Moore segera disambut
hangat oleh tokoh Cambridge lainnya Bertrand Russelstein. Melalui Wittgenstein
inilah revolusi yang menentang pengaruh kaum hegelilan itu muncul metode
filsafat yang baru yaitu metode analisa bahasa.
Metode analisa
bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran
baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisis bahasa itu tugas filsafat
bukanlah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan
persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika.
Metode filsafat
bahasa inilah yang telah membawa angin segar ke dalam dunia filsafat (terutama
di Inggris) karena kebanyakan orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan
dalam mengungkapkan realitas. Begitu banyak istilah atau ungkapan yang aneh
dalam filsafat (seperti : eksistensi,
nothingness, substansi dan lain-lain) sehingga menimbulkan
teka-teki yang mem-bingungkan para peminat filsafat.[10]
F.
Filsafat Bahasa Biasa
Pengaruh filsafat
analitik mulai meluluh secara perlahan setelah lebih dari tiga dasarwarsa
berpengaruh di Inggris. Sebab filsuf mulai menyadari bahwa metode analisis
bahasa hanya mengarah pada pencarian makna bahasa, yang dapat menggiring mereka
pada pernyataan tidak bermakna. Kemudian mereka mulai mengalihkan perhatian
pada titik tolak belakang penggunaan bahasa biasa.
Kelompok ini
beranggapan bahwa bahasa biasa cukup sesuai dengan maksud-maksud filsafat.
Hanya filsuf menyalahgunakan istilah-istilah yang mengandung kepastian seperti
“tahu”, “melihat”, “bebas”, “benar”, “sebab”. Istilah tersebut bukan hal asing
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi para filsuf sering “meninggalkan”
penggunaan yang biasa dari istilah-istilah tersebut tanpa memberikan penjelasan
sehingga istilah-istilah itu jatuh ke dalam teka-teki yang tak dapat dipecahkan.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hubungan antara filsafat dan bahasa
sangatlah erat. Dari sinilah kemudian muncul yang namanya filsafat bahasa pada
abad ke 20an. Filsafat bahasa sendiri merupakan suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa
yang dipergunakan dalam filsafat.
Ada perbedaan antara filsafat bahasa dan
linguistik, yaitu linguistik bertujuan mendapatkan kejelasan tentang bahasa.
Sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat
pengetahuan konseptual.
Dalam filsafat bahasa terdapat yang
dinamakan dengan filsafat analitik yaitu aliran filsafat yang lahit sebagai
perlawan terhadap aliran idealisme yang menggunakan ungkapan yang sulit
dipahami dan juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Juga terdapat filsafat
bahasa biasa yang kemudian menggeser posisi analitik karena dianggap hanya
mengarah pada pencarian makna bahasa saja yang dapat membawa kepada pernyataan
yang tidak bermakna.
DAFTAR
PUSTAKA
· Hidayat, Asep
Ahmad. Filsafat Bahasa, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006)
· Alwasilah, A.
Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010)
· Kattsoff, Louis
O. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga, 1986)
· http://arerariena.wordpress.com/2011/02/16/filsafat-bahasa/
· http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_bahasa
[1] Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006)
hal 12-13
[2] A. Chaedar
Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010)hal 14
[3] Hidayat,
Op.cit. hal 13
[4] Chaedar,
Op.cit. hal 15
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_bahasa
[6] Hidayat,
Op.cit. hal 14-15
[7] Hidayat,
Op.cit. hal 15-17
[8] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga, 1986) hal
39.
[9] Hidayat,
Op.cit. hal 31-32
[10] http://arerariena.wordpress.com/2011/02/16/filsafat-bahasa/
[11] ibid
No comments:
Post a Comment