ABSTRAK
Setelah
“hiruk-pikuk” ketegangan epistemologis antara rasionalisme dan empirisme
tentang dasar-dasar pengetahuan, aliaran Fenomenologi mau mengembalikan proses
pemahaman dan pengenalan manusia pada relasi antara aspek transendental ideal
di dalam diri subjek dan spek empiris-objektif di dalam objek. Rasio manusia
sekarang berada dalam bentuk kesadaran yang hadir di dunia yang selalu berada
dalam relasi dengan objek yang menampakkan diri. Fenomenologi sesungguhnya
merupakan upaya mengembalikan kemampuan manusia dalam hal transendesi dirinya,
hidupnya, dan dunianya, dengan selalu tetap hadir di dunia ini. Kesadaran
manusia yang hadir secara nyata dalam relasi-komunikasi dengan diri, dunia, dan
sesamanya, membuahkan harapan akan kehidupan yang lebih jujur, damai, dan
manusiawi. Itulah kontribusi fenomenologi bagi kehidupan.
Kata Kunci : Fenomenologi, Positivisme, Reduksi, Epoche, Objek, Benda-benda,
Keilmuan Modern.
PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari,
manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan
penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat.
Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan,
situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan
dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk
penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama
bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam
tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan
krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis
terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme
dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Sehingga munculah aliran fenomenologi
untuk mengkritik pola berfikir dari aliran positivisme. Dengan hadirnya aliran
filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh harsell, maka bisa dikatakan bahwa
aliran ini bertolak belakang dari pemikiran yang digunakan oleh aliaran
positivisme.
Dari penjelasan diatas bahwa penulis
berasumsi ada sebuah permasalahan yang perlu diangkat didalam makalah ini
sehingga akan timbul sebuah kebenaran dari masalah tersebut.
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut
:
1.
Bagaimana hakikat dari filsafat fenomenologi ?
2.
Bagaimana filsafat fenomenologi dianggap sebagai metode ilmu ?
3.
Bagaimana pengaruh filsafat dalam peraksis (metodologi) keilmuan modern ?
Dari rumusan
masalah diatas adapun tujuan dari pembahasan makalah ini sebagai berikut :
1.
Mengetahui hakikat dari filsafat fenomenologi ?
2.
Mengetahui filsafat fenomenologi dianggap sebagai metode ilmu ?
3.
Mengetahui pengaruh filsafat dalam peraksis (metodologi) keilmuan modern ?
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT DAN PERKEMBANGAN FENOMENOLOGI
Secara
etimologis, fenomenologi (Inggris: Phenomenology)
berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon
yaitu dari akar kata phainestai/ phainomai/phainei yang
artinya menampakkan atau memperlihatkan[1].
Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan[2].
Dalam bahasa indonesia, biasa di gunakan istilah gejala. Dengan demikian, fenomenologi secara umum
dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau segala sesuatu yang
menampakkan diri[3]. artinya apapun yang
nampak atau terlihat itulah yang disebut dengan
fenomeno.
Aliran
Fenomenologi inipun muncul pada abad 20 sebagai bentuk kritik dari pemikiran aliaran
positivisme. Kemunculan aliran ini berawal dari ketidak sepakatan sekelompok
ilmuwan sosial terhadap cara-cara yang digunakan oleh aliran positivisme dalam
mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari suatu fenomena. Aliran ini sering
juga disebut post-positivisme.[4]
Namun Istilah fenomenalogi diperkenalkan
oleh seorang filosuf dan matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johaninn
Heinrich Lambert dalam bukunya “Neues Organon” yang diterbitkan pada
1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “The
Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau
artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk
mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan
teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[5] Setelah itu munculah Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya
juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan
yang immanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman
manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund
Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar.
Dan
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai
ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan
kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi
menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan
mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran
yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena
tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi:
fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan
pikiran manusia. [6]
Dalam
bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806,
Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana
tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan,
dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat
itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui
sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan
pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap
tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia
menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua
fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist
atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan
pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[7]
Dan
filosof yang juga sangat berjasa dalam
mengembangkan istilah fenomenologi ini adalah Edmund Husserl (1859 – 1938), sehingga Ia
dikenal sebagai tokoh besar dari fenomenologi. Sebagai tokoh dari fenomenologi Hasser
berpendapat bahwa fenomenologi adalah ada kebenaran untuk semua orang, dan
manusia dapat mencapaiya. Dan adapun inti dari pemikran harssel adalah untuk
menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda” (Zu
den Sachen Selbt).[8] Maksud dari kata “Kembali
kepada benda-benda” disini adalah benda-benda tersebut diberikan kesempatan
untuk menjelaskan atau berbicara tentang hakikat diri mereka sendiri sehingga
benda-benda tersebut tidak tergantung dengan pernyataan yang dibuat oleh orang
melainkan ditentukan oleh benda-benda itu sendiri. Akan tetapi benda-benda ini
tidaklah secara langsung memberikan atau memperlihatkan hakikat dari dirinya.
Dan apa yang sering kita temui atau lihat pada benda-benda itu sendiri dalam
pemikiran biasa bukanlah hakikat dari benda itu sendiri karna hakikat dari
benda itu ada pada dibalik yang tampak.[9]
Artinya kebenaran dari benda itu bukanlah berada pada sesuatu yang kita lihat
atau yang nampak akan tetapi kebenaran dari benda tersebut terdapat pada
dibalik yang kita lihat.
Husserl
menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam
kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan
kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa
apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah
kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan
mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan
cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka
(presupposition).[10]
Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai
metodologi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan
fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretatif. Dalam kajiannya,
dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa
lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian
memunculkan istilah “the stream consciousness” (arus kesadaran) bahwa
lapisan terdalam pengalaman dapat dijangkau dengan merefleksikan menemukan
sember tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).[11]
Sebagai
reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang
objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis,
epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologisme, yang berbicara
tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat
dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari
terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat
fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga
menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.[12]
Dalam
tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian
yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan
kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian
dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori
nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku
umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas,
sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai
instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan,
pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini
kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori
ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual
secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.[13]
Pada
tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas
pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat
fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui
kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran
transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas
nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada
aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme,
idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.[14]
B. DASAR-DASAR FILSAFAT
FENOMENOLOGI
Peletakan dasar-dasar
filafat epistemonologi fenomenologi dapat di lakukan dengan beberapa pendekatan
seperti yang di uraikan berikut:
1. Pendekatan filsafatnya berpusat pada analisis
terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis menunjukkan
bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
2. Orang harus berpikir,
dengan memulai dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai
kegiatannya dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan
menjauhkan diri dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
3. Fenomenologi kebenaran dibuktikan
berdasarkan ditemukannya yang essensial.
4. Fenomenologi menerima
kebenaran di luar empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran
sensual, kebenaran logik, ethik dan transedental.
5. Fenomena baru dapat
dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya.
6. Fenomenologi lebih
merupakan sikap bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi,
induksi, observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas
berdasarkan intuisi.[15]
Dari pendekatan-pendekatan tersebut maka jelaslah bahwa phenomenologik
berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat,
dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya
C.
FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE ILMU
Fenomenologi
merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang
murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik
fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri
kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya
dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang
kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari-hari.[16]
Dalam alur pemikiran fenomenologi
seperti yang ungkapkan oleh Husserl yaitu memberi pengetahuan yang perlu dan
esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan
sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan
benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas
dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut
ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.[17]
Untuk
itu, Husserl mengenalkan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari
bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil
dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan.
Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status
atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat
macam, yaitu :
1.
Method of historical bracketing; metode yang
mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam
kehidupan sehari-hari, baik dari pendapat, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method of existensional bracketing; meninggalkan atau
abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of transcendental reduction; mengolah data yang
kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta,
semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari
realitas itu.
Dengan
menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat
fenomena dari realitas yang dia amati.
Dan adapun tiga reduksi
yang di tempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan metode
fenomenologi, yaitu: [18]
1. Reduksi fenomenologis
Fenomena seperti di
sebut di atas adalah menapakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari,
kita tidak memperhatikan penampakan itu.Apa yang kita lihat secara spontan
sudah cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata.
kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang
dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yan ada di luar dirinya dan
ini hanya dapat di capai dengan ”mengalami“ secara intuitif, maka apa yang kita
anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus di
tinggalkan atau di buat dalam kurung. Segala subjektivitas di singkirkan.
Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan
pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita
memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah
fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini di sebut fenomenologis.[19]
Reduksi pertama ini
merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektifitas yang dapat mengganggu
perjalanan mencapai realitas itu.
2. Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari
kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau
penempatan di dalam kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau
realitas fenomena. Hasil reduksi ke dua ini adalah penilikan realitas.[20] Dengan
reduksi eidetis, semua segi,aspek dan profil dalam fenomena yang hanya
kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan
objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil
yang tiada terhingga.
Hakikat (realitas) yang
di cari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan
semua sifat hakiki. Untuk menentukan sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau
bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan
contoh-contoh tertentu yang representstif melukiskan fenomena. Kemudian di
kurangi atau di tambah salah satu sifat.[21]
pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena
dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eiditis ini
menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya,
pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat di satukan dalam
suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan
tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3. Reduksi
Fenomenologi-Transendental
Di dalam reduksi ini
yang di tempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu
yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari
objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri.[22] Reduksi
ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek ,atau fenomena bukan mengenai
hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan
pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran.
Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah fakta
kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan
kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena
tertentu. kesadaran yang di temukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau
transendental, yaitu yang ada bagi diriku didalam aktrus-aktrus dengan singkat
dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental .[23]
Dalam hal ini ”aku”
transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek- objek pada umumnya
tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya,sejarah dan budaya
mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya tidak jelas maknanya
bagi seorang yang tetap hidup di hutan, atau dalca tidak akan di
pahami maknanya kecuali oleh sebagian orang-orang India bagian selatan. Objek
yang di dasari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan
subjek lebih dari satu untuk menghindari ini. Husserl membuat reduksi,
lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia mamnusia umum).12 Dengan
reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena,
meliputi seluruh perspektifnya. Dan “ aku “ transendental antar subjek.
Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua
reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli
dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan
yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam
sistem filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transendental
seperti digambarkan diatas.
Pada umumnya
pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham
dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan
fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir
yang menimbulkna idealisme Transendental.[24]
Proses reduksi itu
apabila disederhanakan dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam
memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak
mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang
spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju.
Yang demikian hanyalah pandangan pertama.[25] Kita
harus melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang
menghalangi kita menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara
langsung.
D.
PENGARUH FENOMENOLOGI DALAM PRAKSIS (METODOLOGI) KEILMUAN MODERN
Pendekatan fenomenologi
ini sangan besar pengaruhnya didalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga
pendekatan ini digunakan dalam ilmu – ilmu sosial dan matematika.
J.F.Donceel, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami
manusia didalam bukunya ,philisiphical Antropology. Roger Garaudy juga
menggunakan pendekatan fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah
politik, kebudayaa- kebudayaan dan agama.[26]
Konsep ini penting artinya, sebagai usaha
memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi
ilmu-ilmu modern serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl,
dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental
Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt
) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi
alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).[27]
Dunia
kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana
manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi
antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani,
sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep
dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada
ilmu-ilmu modern, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu keilmuan modern. Dunia
keilmuan modern ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti
dalam eksperimen ilmu-ilmu yang lain, melainkan terutama melalui pemahaman
(verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam keilmuan modern adalah makna,
bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan mendekati wilayah observasinya
adalah memahami makna. Seorang ilmuwan, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari
pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu
ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan
itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus
dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.[28]
Kontribusi
dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt
(dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi
kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari
sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’
yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia keilmuan modern,
dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.[29]
Fenomenologi
menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah
itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi
adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan.
Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh
penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme
epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa
presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan
kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui
filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.[30]
Pengaruh
fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi
dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur
semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi. Penyamarataan
ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf
neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis,
ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam.
Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum
maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga
memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur
begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab
Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai
animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia
yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti
halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu
alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan
independen dari subjek).[31]
Demikianlah,
keilmuan modern merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan
fenomena ilmu sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks
ilmu pengetahuan yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai
bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus
mendapatkan dukungan metodologisnya.
E.
TOKOH-TOKOH FILSAFAT FENOMENOLOGI
Adapun tokoh-tokoh
dalam filsafat fenomenologi sebagai berikut :
1.
Jerman Johann Heinrich Lambert
Seorang filsuf dan matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johann
Heinrich Lambert dalam bukunya “Neues Organon” yang diterbitkan pada
1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “The
Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau
artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk
mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan
teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[32]
2.
Imanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal
menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen
(noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena).
Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut
sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.
3.
G.W.F. Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang
diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan
pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan
apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan
pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan
kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang
absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami
melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi
(erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada
satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi
atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara
esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan
merupakan sesuatu yang berbeda.[33]
4.
Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap
memberikan landasan filosofis pendekatan intuitif non-empiris dalam
fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische Unterschungen,” “Ideen
zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale und transzendentale Logik”
dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan tersebut berangkat dari
mainstream pemikiran pada saat itu bahwa “science alone is the
ultimate court of appeal” (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi).
Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk
mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup “life
experiences” dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu
mengeksplorasi realitas.
5.
Alfred Schutz
Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai
metodologi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan
fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretatif. Dalam kajiannya,
dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa
lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian
memunculkan istilah “the stream consciousness” (arus kesadaran) bahwa
lapisan terdalam pengalaman dapat dijangkau dengan merefleksikan menemukan
sember tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).[34]
ANALISIS/REFLEKTIF
Berdasarkan prinsip-prinsip yang kemukakan diatas,
maka fenomenologi haruslah kembali pada data pemikiran, yakni pada halnya
sendiri yang harus menanpakan dirinya. Ia akan mengacu pada sistem pemikiran
yang sangat ekslusif, sebagimana pemahaman yang berkembang sebelumnya dan
dengan cara atau metode dalam mendekati permasalahan.
Dengan itu, fenomenologi akan menemukan hakekat
realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran manusia menemukan
kesadaran yang murni dengan jelas menbebaskan diri dari pengalaman serta
gambaran kehidupan sehari-hari agar sampai pada gambaran-gambaran yang esensial
ataui instusi esensi. Ini bukan berarti bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu
benda tidak dihargai atau ditolak tetapi sedapat mungkin aspek-aspek tersebut
tidak diperhatikan dulu.
Pendekatan fenomenologi merupakan studi
pendekatan metode ilmiah dengan cara berbagai macam dari gejala macam bidang sama
antara berabagai macam ilmu. Yang diperoleh dari sini adalah hakikat yang sama
dari gejala-gejala yang berbeda. Asumsi dasar pendekatan ini merupakan
bentuk luar dari ungkapan manusia
mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat
dilukiskan kerangkanya dengan menggunkan
metode ini.
Dalam metode ini menekankan pada yang dianggap
subjek yang telah terjadi, meskipun emperisnya tidak ada. Pendekatan in juga
lebih melihat pada kesamaan struktur diantara fenomena benda-benda tanpa
keharusan untuk melihat hubungan pengaruh yang mempengaruhinya. Dengan
demikian, ia merupakan pemahaman terhadap sejarah. Fenomenolegi keilmuan modern
dan sejarah merupakan dua aspek yang saling melengkapi dari satu ilmu yang
integral dan ilmu yang murni memiliki sifat yang sudah didefinisikan secara
mapan sebagai hasil dari objek kajian yang unik.
PENUTUP/KESIMPULAN
Dari pembicaraan
beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi dapat
dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
1. Fenomenologi diartikan sebagai sebuah investigasi
terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan benda-benda yang
bisa diamati.
2. Fenomenologi merupakan metode ilmu yang tidak
melihat suatu benda dari satu aspek saja, melainkan dari berbagai macam aspek sehingga
akan dapat dilihat kebenaran dari benda itu sendiri.
3. Fenomenologi merupakan aliaran filsafat yang sangat
mempunyai pengaruh besar dalam dunia keilmuan modern.
Dengan demikian,
pendekatan fenomenologi adalah studi pendekatan metode keilmuan modern dengan cara memperbandingkan berbagai macam
gejala-gejala dari berbagai aspek keilmuan, dan yang dapat diperoleh disini
adalah hakikat yang sama dari berbagai gejala-gejala yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Ambo Upe,
Damsid. Asas-asas Multiple Reseaches. Tiara Wicana: Yogyakarta. 2010.
Afifudin dan
beni ahmad saebani. Metodologi penelitian kualiatif. Pustaka setia: bandung.
2009.
Rev. Emeka
C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological
Approach to The Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal
of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010.
Peter
Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri
.Yogyakarta: LkiS, 2009.
Sumber:http://mp3soim.blogspot.com/2012/05/aliran-filsafat-fenomenologi-hermeutik.html. ibnu soim. diakses. ahad. 25.11.2012
Bakker Anton, Metode-metode filsafat. Jakarta:
Ghalia Indonesia,1984.
Bronwer M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan
Sezaman. Bandung : Alumni, 1980.
Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980.
M.J.Langevald, Menuju pemikiran
filsafat. Jakarta: PT.Pembangunan,T.th.h.
http://sukrintaib.wordpress.com/2012/03/04/teori-epistemologi-fenomenologi dan intuisionisme/ Sukrin
Thaib. Diakses.
senin. 19. 11.2012 .
Clive Erricker, “Pendekatan
Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama
terj. Imam Khoiri .Yogyakarta: LkiS, 2009.
[1] Ambo Upe,
Damsid. Asas-asas Multiple Reseaches. Tiara Wicana: Yogyakarta.
2010.h.52.
[3] Afifudin dan
beni ahmad saebani. Metodologi penelitian kualiatif. Pustaka setia: bandung.
2009.27.
[4] Ambo Upe,
Damsid. Asas-asas Multiple Reseaches...h.52.
[5]Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The Study of
Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research,
Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[6] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[7] Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan
Studi Agama terj. Imam Khoiri .Yogyakarta: LkiS, 2009. h. 110
[8] Afifudin dan
Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian....h.27
[9] Ibbid.h.28.
[10] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[11]Rev. Emeka C.
Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach…, hlm. 269
[12] ibbid.
[13] ibbid.
[14] ibbid.
[15] http://nabildaffa.blogspot.com/2011/01/makalah-filsafat-ilmu-efismologi.html. di akses.
ahad. 24.11.2012.
[16] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[17] Sumber: http://mp3soim.blogspot.com/2012/05/aliran-filsafat-fenomenologi-hermeutik.html. ibnu soim. diakses. ahad. 25.11.2012
[18] Afifudin dan
Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian....h. 28.
[19] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman ,
52
[20] Harun
Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jogjakarta : Yayasan
Kanisius, 1980. 143
[21] Anton Bakker,
Metode-metode filsafat , 116
[22] Harun
Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 144
[23] Anton Bakker, Metode-metode
filsafat, 117, Baca juga M.J.Langevald, Menuju pemikiran filsafat.
Jakarta: PT.Pembangunan,T.th.h.102.
[24] Afifudin dan
Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian....h. 30.
[25] Ibbid. 30.
[26] Ibbid.31.
[27] Sumber: http://mp3soim.blogspot.com/2012/05/aliran-filsafat-fenomenologi-hermeutik.html. ibnu soim. diakses. ahad. 25.11.2012
[29] Ibbid.
[30] http://sukrintaib.wordpress.com/2012/03/04/teori-epistemologi-fenomenologi-dan-intuisionisme/ Sukrin Thaib. Diakses. senin. 19. 11.2012 . 12.23.
[31] ibbid.
[32]
Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The
Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific
Research, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[33]Clive Erricker,
“Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm.
110.
[34]Rev. Emeka C.
Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach…, hlm. 269
No comments:
Post a Comment