Saturday, June 8, 2019

Fenomenologi (A)


ABSTRAK

Setelah “hiruk-pikuk” ketegangan epistemologis antara rasionalisme dan empirisme tentang dasar-dasar pengetahuan, aliaran Fenomenologi mau mengembalikan proses pemahaman dan pengenalan manusia pada relasi antara aspek transendental ideal di dalam diri subjek dan spek empiris-objektif di dalam objek. Rasio manusia sekarang berada dalam bentuk kesadaran yang hadir di dunia yang selalu berada dalam relasi dengan objek yang menampakkan diri. Fenomenologi sesungguhnya merupakan upaya mengembalikan kemampuan manusia dalam hal transendesi dirinya, hidupnya, dan dunianya, dengan selalu tetap hadir di dunia ini. Kesadaran manusia yang hadir secara nyata dalam relasi-komunikasi dengan diri, dunia, dan sesamanya, membuahkan harapan akan kehidupan yang lebih jujur, damai, dan manusiawi. Itulah kontribusi fenomenologi bagi kehidupan.

Kata Kunci : Fenomenologi, Positivisme, Reduksi, Epoche, Objek, Benda-benda, Keilmuan Modern.


PENDAHULUAN

Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Sehingga munculah aliran fenomenologi untuk mengkritik pola berfikir dari aliran positivisme. Dengan hadirnya aliran filsafat fenomenologi yang dikembangkan oleh harsell, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini bertolak belakang dari pemikiran yang digunakan oleh aliaran positivisme.
Dari penjelasan diatas bahwa penulis berasumsi ada sebuah permasalahan yang perlu diangkat didalam makalah ini sehingga akan timbul sebuah kebenaran dari masalah tersebut.
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Bagaimana hakikat dari filsafat fenomenologi ?
2.      Bagaimana filsafat fenomenologi dianggap sebagai metode ilmu ?
3.      Bagaimana pengaruh filsafat dalam peraksis (metodologi) keilmuan modern ?
Dari rumusan masalah diatas adapun tujuan dari pembahasan makalah ini sebagai berikut :
1.      Mengetahui hakikat dari filsafat fenomenologi ?
2.      Mengetahui filsafat fenomenologi dianggap sebagai metode ilmu ?
3.      Mengetahui pengaruh filsafat dalam peraksis (metodologi) keilmuan modern ?
















PEMBAHASAN

A.    HAKIKAT DAN PERKEMBANGAN  FENOMENOLOGI
Secara etimologis, fenomenologi  (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon yaitu dari akar kata phainestai/ phainomai/phainei yang artinya menampakkan  atau memperlihatkan[1]. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan[2]. Dalam bahasa indonesia, biasa di gunakan istilah gejala.  Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri[3]. artinya apapun yang nampak atau terlihat itulah yang disebut dengan  fenomeno.
Aliran Fenomenologi inipun muncul pada abad 20 sebagai bentuk kritik dari pemikiran aliaran positivisme. Kemunculan aliran ini berawal dari ketidak sepakatan sekelompok ilmuwan sosial terhadap cara-cara yang digunakan oleh aliran positivisme dalam mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari suatu fenomena. Aliran ini sering juga disebut post-positivisme.[4] Namun Istilah fenomenalogi diperkenalkan oleh seorang filosuf dan matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johaninn Heinrich Lambert dalam bukunya “Neues Organon” yang diterbitkan pada 1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “The Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[5] Setelah itu munculah Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar.
Dan Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia. [6]
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[7]
Dan filosof yang  juga sangat berjasa dalam mengembangkan istilah fenomenologi ini adalah  Edmund Husserl (1859 – 1938), sehingga Ia dikenal sebagai tokoh besar dari fenomenologi. Sebagai tokoh dari fenomenologi Hasser berpendapat bahwa fenomenologi adalah ada kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat mencapaiya. Dan adapun inti dari pemikran harssel adalah untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada “benda-benda” (Zu den Sachen Selbt).[8] Maksud dari kata “Kembali kepada benda-benda” disini adalah benda-benda tersebut diberikan kesempatan untuk menjelaskan atau berbicara tentang hakikat diri mereka sendiri sehingga benda-benda tersebut tidak tergantung dengan pernyataan yang dibuat oleh orang melainkan ditentukan oleh benda-benda itu sendiri. Akan tetapi benda-benda ini tidaklah secara langsung memberikan atau memperlihatkan hakikat dari dirinya. Dan apa yang sering kita temui atau lihat pada benda-benda itu sendiri dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat dari benda itu sendiri karna hakikat dari benda itu ada pada dibalik yang tampak.[9] Artinya kebenaran dari benda itu bukanlah berada pada sesuatu yang kita lihat atau yang nampak akan tetapi kebenaran dari benda tersebut terdapat pada dibalik yang kita lihat.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).[10]
Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai metodologi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretatif. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah “the stream consciousness” (arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam pengalaman dapat dijangkau dengan merefleksikan menemukan sember tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).[11]
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologisme, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.[12]
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.[13]
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.[14]

B.     DASAR-DASAR FILSAFAT FENOMENOLOGI
Peletakan dasar-dasar filafat epistemonologi fenomenologi dapat di lakukan dengan beberapa pendekatan seperti yang di uraikan berikut:
1.       Pendekatan filsafatnya berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis menunjukkan bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
2.      Orang harus berpikir, dengan memulai dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
3.      Fenomenologi kebenaran dibuktikan berdasarkan ditemukannya yang essensial.
4.      Fenomenologi menerima kebenaran di luar empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran sensual, kebenaran logik, ethik dan transedental.
5.      Fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya.
6.      Fenomenologi lebih merupakan sikap bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi, induksi, observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi.[15]
Dari pendekatan-pendekatan tersebut maka jelaslah bahwa phenomenologik berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya
C.     FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE ILMU
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari.[16]  Dalam alur pemikiran fenomenologi seperti yang ungkapkan oleh Husserl yaitu memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.[17]
Untuk itu, Husserl mengenalkan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. 
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1.      Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari pendapat, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.      Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.      Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.      Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. 
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Dan adapun tiga reduksi yang di tempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan metode fenomenologi, yaitu: [18]
1.       Reduksi fenomenologis
Fenomena seperti di sebut  di atas adalah menapakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu.Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata. kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yan ada di luar dirinya dan ini hanya dapat di capai dengan ”mengalami“ secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus di tinggalkan atau di buat dalam kurung. Segala subjektivitas di singkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah    membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini di sebut fenomenologis.[19]
Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu.
2.       Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi ke dua ini adalah penilikan realitas.[20] Dengan reduksi eidetis, semua segi,aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.
Hakikat (realitas) yang di cari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representstif melukiskan fenomena. Kemudian di kurangi atau di tambah salah satu sifat.[21] pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eiditis ini menunjukan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat di satukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3.        Reduksi Fenomenologi-Transendental
Di dalam reduksi ini yang di tempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri.[22] Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek ,atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah  fakta kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. kesadaran yang di temukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku didalam aktrus-aktrus dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental .[23]
Dalam hal ini ”aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek- objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya,sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya tidak jelas maknanya bagi seorang yang tetap hidup di hutan, atau dalca tidak akan di pahami maknanya kecuali oleh sebagian orang-orang India bagian selatan. Objek yang di dasari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan subjek lebih dari satu untuk menghindari ini. Husserl membuat reduksi, lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia mamnusia umum).12 Dengan reduksi ini, apa yang disadari  adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “ aku “ transendental antar  subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam sistem filsafatnya, Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transendental seperti digambarkan diatas.
Pada umumnya pengikut-pengikutnya yang menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham dengan Husserl pada tahap awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkna idealisme Transendental.[24]
Proses reduksi itu apabila disederhanakan dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah pandangan pertama.[25] Kita harus melakukan pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita menemukan hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung.

D.    PENGARUH FENOMENOLOGI DALAM PRAKSIS (METODOLOGI) KEILMUAN MODERN
Pendekatan fenomenologi ini sangan besar pengaruhnya didalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga pendekatan ini digunakan dalam  ilmu – ilmu sosial dan matematika. J.F.Donceel, misalnya, telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia didalam bukunya ,philisiphical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan pendekatan fenomenologi dalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik, kebudayaa- kebudayaan dan agama.[26]
Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu modern serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).[27]  
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu modern, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu keilmuan modern. Dunia keilmuan modern ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu yang lain, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam keilmuan modern adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.[28]
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia keilmuan modern, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.[29]
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.[30]
Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi. Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam. Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan independen dari subjek).[31]
Demikianlah, keilmuan modern merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena ilmu sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks ilmu pengetahuan yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

E.     TOKOH-TOKOH FILSAFAT FENOMENOLOGI
Adapun tokoh-tokoh dalam filsafat fenomenologi sebagai berikut :
1.      Jerman Johann Heinrich Lambert
Seorang filsuf dan matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johann Heinrich Lambert dalam bukunya “Neues Organon” yang diterbitkan pada 1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “The Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[32]
2.      Imanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.
3.      G.W.F. Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[33]
4.      Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa “science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup “life experiences” dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.
5.      Alfred Schutz
Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai metodologi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretatif. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah “the stream consciousness” (arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam pengalaman dapat dijangkau dengan merefleksikan menemukan sember tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).[34]
ANALISIS/REFLEKTIF
Berdasarkan prinsip-prinsip yang kemukakan diatas, maka fenomenologi haruslah kembali pada data pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menanpakan dirinya. Ia akan mengacu pada sistem pemikiran yang sangat ekslusif, sebagimana pemahaman yang berkembang sebelumnya dan dengan cara atau metode dalam mendekati permasalahan.
Dengan itu, fenomenologi akan menemukan hakekat realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran manusia menemukan kesadaran yang murni dengan jelas menbebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari agar sampai pada gambaran-gambaran yang esensial ataui instusi esensi. Ini bukan berarti bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu benda tidak dihargai atau ditolak tetapi sedapat mungkin aspek-aspek tersebut tidak diperhatikan dulu.
Pendekatan fenomenologi merupakan studi pendekatan metode ilmiah dengan cara berbagai macam dari gejala macam bidang sama antara berabagai macam ilmu. Yang diperoleh dari sini adalah hakikat yang sama dari gejala-gejala yang berbeda. Asumsi dasar pendekatan ini merupakan bentuk  luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan  kerangkanya dengan menggunkan metode ini.
Dalam metode ini menekankan pada yang dianggap subjek yang telah terjadi, meskipun emperisnya tidak ada. Pendekatan in juga lebih melihat pada kesamaan struktur diantara fenomena benda-benda tanpa keharusan untuk melihat hubungan pengaruh yang mempengaruhinya. Dengan demikian, ia merupakan pemahaman terhadap sejarah. Fenomenolegi keilmuan modern dan sejarah merupakan dua aspek yang saling melengkapi dari satu ilmu yang integral dan ilmu yang murni memiliki sifat yang sudah didefinisikan secara mapan sebagai hasil dari objek kajian yang unik.











PENUTUP/KESIMPULAN

Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
1.    Fenomenologi diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan benda-benda yang bisa diamati.
2.    Fenomenologi merupakan metode ilmu yang tidak melihat suatu benda dari satu aspek saja, melainkan dari berbagai macam aspek sehingga akan dapat dilihat kebenaran dari benda itu sendiri.
3.    Fenomenologi merupakan aliaran filsafat yang sangat mempunyai pengaruh besar dalam dunia keilmuan modern.
Dengan demikian, pendekatan fenomenologi adalah studi pendekatan metode keilmuan modern  dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala-gejala dari berbagai aspek keilmuan, dan yang dapat diperoleh disini adalah hakikat yang sama dari berbagai gejala-gejala yang berbeda.








DAFTAR PUSTAKA

Ambo Upe, Damsid. Asas-asas Multiple Reseaches. Tiara Wicana: Yogyakarta. 2010.
Afifudin dan beni ahmad saebani. Metodologi penelitian kualiatif. Pustaka setia: bandung. 2009.
Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010.
Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri .Yogyakarta: LkiS, 2009.  
Bakker Anton, Metode-metode filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia,1984.
Bronwer M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman. Bandung : Alumni, 1980.
Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980.
M.J.Langevald, Menuju pemikiran filsafat. Jakarta: PT.Pembangunan,T.th.h.
Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri .Yogyakarta: LkiS, 2009.


[1] Ambo Upe, Damsid. Asas-asas Multiple Reseaches. Tiara Wicana: Yogyakarta. 2010.h.52.
[3] Afifudin dan beni ahmad saebani. Metodologi penelitian kualiatif. Pustaka setia: bandung. 2009.27.
[4] Ambo Upe, Damsid. Asas-asas Multiple Reseaches...h.52.
[5]Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[6] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[7] Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri .Yogyakarta: LkiS, 2009. h. 110
[8] Afifudin dan Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian....h.27
[9] Ibbid.h.28.
[10] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[11]Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach…, hlm. 269
[12] ibbid.
[13] ibbid.
[14] ibbid.
[16] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[18] Afifudin dan Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian....h. 28.
[19] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman , 52
[20] Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1980. 143
[21] Anton Bakker, Metode-metode filsafat , 116
[22] Harun Hadiwidjono, Sari Sejarah Filsafat Barat, 144  
[23] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, 117, Baca juga M.J.Langevald, Menuju pemikiran filsafat. Jakarta: PT.Pembangunan,T.th.h.102.
[24] Afifudin dan Beni Ahmad Saebani. Metodologi Penelitian....h. 30.
[25] Ibbid. 30.
[26] Ibbid.31.
[28] Sumber: http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal......... 01:33.
[29] Ibbid.

[30] http://sukrintaib.wordpress.com/2012/03/04/teori-epistemologi-fenomenologi-dan-intuisionisme/ Sukrin Thaib. Diakses. senin. 19. 11.2012 . 12.23.


[31] ibbid.
[32] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[33]Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110.
[34]Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach…, hlm. 269
 


No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...