BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tatkala kita memahami ayat yang
pertama kali diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, analisis dalam ayat tersebut bahwasannya
Allah SWT memperkenalkan diri sebagai Rabb. Kemudian menyebut kata insan
sebanyak dua kali. Pertama, manusia disebut dalam konteks di hadapan
Allah SWT sebagai
makhluk yang diciptakan. Kedua,
sebagai makhluk yang menerima pelajaran atau pengetahuan dengan perantara alat
yang disebut Al-Qalam.
Di ayat terakhir disebutkan suatu proses perpindahan dari tidak tahu menjadi
tahu. Jika kita renungkan, lebih lanjut, hampir setiap proses yang terjadi pada
manusia akan lebih banyak melibatkan kedua unsur, yaitu biologis dan ruhaniah,
termasuk sebagai contoh adalah proses berbahasa. Proses berbahasa bukan sekedar
proses mekanik, tetapi juga mentalis.
Banyak orang mengatakan bahwa berfikir
adalah berbahasa tanpa bunyi, oleh karena itu, para psikolog mengadakan test
yang berkaitan dengan kejiwaan dengan menggunakan bahasa dan hasilnya, gejala perkembangan mental
dengan mudah dicirikan lewat bahasa. Maka,
ketika manusia berbahasa, akan melalui dua proses yaitu proses reseptif dan
proses produktif.
Dan hal inilah yang pada akhirnya
mendorong kami untuk menulis makalah tentang pola perkembangan pada pemerolehan
bahasa kedua ditinjau dari segi psikologi. Karena disatu sisi proses
pemerolehan bahasa merupakan problem yang fundamental dalam tingkah laku
manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan
dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
- Bagaimana proses pemerolehan bahasa kedua (B-2) dari segi psikologi?
- Bagaimana tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa kedua (B-2) dari segi psikologi?
C. Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini
adalah :
- Untuk mengetahui bagaimana proses pemerolehan bahasa kedua (B-2) dari segi psikologi
- Untuk mengetahui bagaimana tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa kedua (B-2) dari segi psikologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengertian
pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa adalah berbeda. Pemerolehan mengacu
pada kemampuan linguistik yang telah diinternalisasikan secara alami, yaitu
tanpa disadari dan memusatkan pada bentuk-bentuk linguistik (baca:kata-kata).
Pembelajaran, sebaliknya, dilakukandengan sadar dan merupakan hasil situasi
belajar formal. Konteks pemerolehan bersifat alami,sedangkan pembelajaran
mengacu pada kondisi formal dan konteks terprogram.
Seseorang
belajar bahasa karena motivasi prestasi tetapi memperoleh bahasa karena
motivasi komunikasi. Belajar bahasa dapat diukur pemerolehan sebaliknya.
Kondisi pembelajaran tetap sebagai penutur tidak asli, dan pemerolehan dapat
menyerupai penutur asli. Belajar bahasa ditekankan untuk menguasai kaidah dan
pemerolehan untuk menguasai keterampilan berkomunikasi (lisan dan tertulis).
B.
Teori Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa
kedua dapat didefinisikan berdasarkan urutan, yakni bahasa yang diperoleh atau dipelajari
setelah anak menguasai bahasa pertama (B1) atau bahasa ibu. Pemerolehan bahasa,
sebagaimana pembelajaran bahasa dapat dilihat dari beberapa teori, yakni teori
akulturasi, teori akomodasi, teori wacana, teori monitor, teori kompetensi
teori hipotesis universal, dan teori neuro fungsional.
1.
Teori Akulturasi
Akulturasi
adalah proses penyesuaian diri terhadap kebudayaan yang baru (Brown, 1987:129).
Teori ini memandang bahasa sebagai ekspresi budaya yang paling nyata dan dapat
diamati dan bahwa proses pemerolehan baru akan terlihat dari cara saling
memandang antara masyarakat B1 dan masyarakat B2.
Walaupun
tidak begitu tepat, teori ini dapat dipergunakan untuk menjelaskan bahwa proses
pemerolehan B2 telah dimulai ketika anak mulai dapat menyesuaikan dirinya
terhadap kebudayaan B2, seperti penggunakan kata sapaan, nada suara, pilihan
kata, dan aturan-aturan yang lain.
Dalam
teori ini, jarak sosial dan jarak psikologis anak sangat menentukan
keberhasilan pemerolehan. Beradaptasi dari teori Schumann, akulturasi akan
berada pada situasi yang baik, jika :
(1)
Anak berada pada masyarkat tutur yang memiliki tingkat sosial sama;
(2)
Anak didorong untuk berakulturasi dengan budaya bahasa Jawa Krama;
(3)
Budaya B1 tidak terlalu mendominasi
(4)
Masyarakat tutur B1 dan B2 saling memiliki sikap positif (Bahasa Indonesia
demokratis dan bahasa Jawa Krama sopan)
Adapun
faktor psikologis yang harus dijaga adalah :
(1)
anak tidak mengalami goncangan bahasa, seperti ragu-ragu atau bingung;
(2)
anak tidak mengalami kemunduran motivasi;
2.
Teori Akomodasi
Teori
memandang B1 dan B2 (Indonesia dan Jawa Krama), misalnya, sebagai dua kelompok yang
berbeda. Teori ini berusaha menjelaskan bahwa hubungan antara dua kelompok itu
dinamis. Oleh karena itu, dengan beranalogi pada tesis Ball dan Giles (1982)
pemerolehan bahasa Jawa Krama akan berhasil jika :
(1)
anak didorong untuk beranggapan dan menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat tutur bahasa Jawa;
(2)
anak dapat menempatkan diri sesuai dengan bahasa yang digunakannya;
(3)
anak tidak terlalu mengagung-agungkan B1nya;
(4)
anak tidak terlalu memandang kelas sosial sehingga semua orang dapat dikenai
bahasa Jawa Krama, termasuk pembantu, “Mbak, nyuwun mimik, nggih?”
Dalam
teori ini, motivasi memegang peran yang sangat penting. Dengan motivasi,
pajanan informal akan lebih diserap dan diperhatikan anak. Untuk itu, guru dan
orang tua perlu berbicara dalam bahasa Jawa Krama ketika bertemu, terutama
apabila anak hadir di situ dan dilibatkan dalam pembicaraan.
3.
Teori Wacana
Teori
ini sangat sesuai untuk diterapkan dalam konteks pembicaraan ini. Pemerolehan
bahasa Jawa Krama dilihat dari segi bagaimana cara anak menemukan makna
potensial bahasa melalui keikutsertaannya dalam komunikasi. Cherry (via Ellis,
1986:259) menekankan pentingnya komunikasi sebagai upaya pengembangan kaidah
struktur bahasa.
Teori
ini, menurut Hatch (via Ellis, 1986:259-260), mempunyai prinsip-prinsip yang
dapat dianalogikan sebagai berikut.
(1)
pemerolehan BJK sebagai B2 akan mengikuti urutan alamiah (mula-mula anak
menggunakan 1 kata, kemudian 2, 3, dan seterusnya)
(2)
orang tua atau guru akan menyesuaikan tuturannya untuk menyatukan makna dengan
anak;
4.
Teori Monitor
Teori
dari Krashen (1977) ini memandang pemerolehan bahasa sebagai proses konstruktif
kreatif. Monitor adalah alat yang digunakan anak untuk menyunting performansi
(penampilan verbal) berbahasanya. Monitor ini bekerja menggunakan kompetensi
yang dipelajari.
Teori
monitor memiliki lima hipotesis, yakni:
(1)
hipotesis pemerolehan-pembelajaran (anak kecil cenderung ke pemerolehan)
(2)
hipotesis urutan alamiah (B2 cenderung menekankan unsur struktur gramatika) Pemerolehan
struktur gramatika anak dapat diramalkan.
(3)
Hipotesis monitor (anak cenderung menggunakan alat (monitor) untuk mengedit
kemampuan berbahasanya. Proses memonitor terjadi sebelum dan sesudah tuturan berlangsung.
Pengoperasian monitor ditentukan oleh kecukupan waktu, fokus bentuk-makna, pengetahuan
kaidah.
(4)
Hipotesis masukan (anak memperoleh bahasa bukan melalui pelatihan melainkan
dengan menjajagi makna, baru kemudian memperoleh struktur :
a. masukan
terjadi pada proses pemerolehan, bukan pembelajaran
b. pemerolehan
terjadi apabila anak memperoleh masukan setingkat lebih tinggi daripada
struktur yang telah dimilikinya (i + 1)
c. bila
komunikasi berhasil, i + 1 tersaji secara otomatis
d. kemampuan
memproduksi muncul secara langsung, tidak melalui diajarkan.
(5)
Hipotesis saringan afektif (sikap memegang peran penting). Saringan akan
terbuka jika anak punya sikap yang benar dan guru berhasil menciptakan atmosfir
kelas yang bebas dari perasaan cemas.
6.
Teori Kompetensi Variabel
Teori
ini melihat bahwa pemerolehan B2 dapat direfleksikan dan bagaimana bahasa itu digunakan.
Produk bahasa terdiri atas produk terencana (seperti menirukan cerita atau
dialog) dan tidak terencana (seperti percakapan sehari-hari).
Model
kompetensi variabel mengemukakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
(1)
Anak memiliki alat penyimpanan yang berisi bahasantara. Penyimpanan ini akan
aktif jikadiekploitasi untuk berlatih;
(2)
Anak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa, yang berbentuk proses wacana
primer (penyederhanaan semantik : dhahar = makan), wacana sekunder
(penyuntingan performansi bahasa), proses kognitif (penyusunan, perbandingan,
dan pengurangan unsur)
(3)
Tampilan berbahasa anak adalah proses primer dalam perkembangan wacana yang
tidak terencana atau proses sekunder dari wacana terencana;
(4)
Perkembangan pemerolehan adalah akibat pemerolehan kaidah baru dan pengaktifan
kaidah-kaidah itu.
7.
Teori Neurofungsional
Teori ini lebih dikenal
dengan nama Lamandella's Neurofuctional Theory. Lamandella (1979) membedakan
dua tipe dasar pemerolehan bahasa: (1) primary language acquisition, dan (2)
secondary language acquisition. Yang pertama, berlaku pada anak usia 2-5 dalam
pemerolehan satu atau lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang kedua,
terbagi dua bagian, yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua,
dan (b) pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah anak
berusia di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai sistem
neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai fungsi hirarkis.
Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut :
1) Hirarkis komunikasi:
bertanggung jawab menyimpan bahasa dan simbol-simbol lain melalui komunikasi
interpersonal.
2) Hirarkis kognitif:
berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan kegiatan pemrosesan informasi
kognitif. Pola latihan-latihan praktis dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa
kedua adalah bagian dari hirarki kognitif.
Implikasi
fungsi hirakis komunikasi dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa akan dengan
orang lain, lebih baik dengan penutur asli, dengan menggunakan bahasa target.
Untuk merealisasikan kesempatan itu, ruang kelas atau tempat belajar
dikondisikan sebagai tempat pemerolehan bahasa. Adapun hirarkis kognitif
berkonsekuensi pada pembelajaran kaidah bahasa secara teratur agar dengan
kaidah itu pembelajar dapat mengontrol penggunaan bahasa. Dalam hal ini, teori
neurofungsional sejalan dengan teori monitor.
Pemerolehan
bahasa berkaitan erat dengan sistem syaraf, terutama area Broca (area ekspresif
verbal) dan Wernicke (area komprehensi). Meskipun demikian, area asosiasi,
visualisasi, dan nada tuturan juga berperan. Dengan demikian, pemerolehan
bahasa sebenarnya juga melibatkan otak kanak dan kiri.
C. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Dilihat Dari Aspek
Psikologi
Dalam pembelajaran bahasa
terdapat beberapa teori yang sangat berbeda pendapatnya. Kelompok pertama,
yakni yang berorientasi pada psikologi behaviorisme, yang kedua adalah psikologi nativisme dan teori
psikologi kognitivisme. Ketiga teori itu ternyata mempunyai pengaruh yang
sangat kuat dalam dunia ilmu bahasa.
a. Pola Pemerolehan Bahasa Kedua
Suatu masyarakat
yang di dalamnya mempergunakan dua bahasa atau lebih mereka sudah barang tentu berusaha
untuk dapat menguasai bahasa-bahasa tersebut. Berkaitan dengan ini ada suatu hipotesis
yang dikemukakan oleh Cummins (1976) yang disebut hipotesis ambang (threshold
hypothesis) dan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a.
kedwibahasaan subtraktif (subtractive
bilingualisme);
b.
kedwibahasaan aditif (additive
bilingualisme).
Apabila bahasa asli sang anak yang minoritas digantikan sampai taraf tertentu oleh bahasa mayoritas, maka hal ini mengandung efek subtraktif
(atau akibat pengurangan)
pada sang anak. Dalam beberapa hal, anak-anak yang seperti itu dapat mengambangkan prestasi yang bertaraf rendah dalam kedua bahasaitu.Dengan perkataan lain,
dalam kedwibahasaan subtraktif, yang menghilangkan atau mengembangkan kecakapan yang terbatas saja pada bahasa pertama
(B1), mungkin saja mengakibatkan defisiensi atau kekurangan kognitif pada bahasa kedua atau
(B2) (Ovando & Callier, 1985 : 65 dalam Tarigan, 1988).
Dalam kedwibahasaan aditif yang merupakan wadah B1 sang anak merupakan bahasa moyoritas atau dominan dalam kebudayaan, maka pemakaian dan pemerolehan sesuatu B2 merupakan suatu prestasi tambahan bagi anak dan belajar kognitifnya
pun menjadi lebih jelas. Dengan perkataan lain,
ke dwi bahasaan aditif akan memperkembangkan kognitif yang berkesinambungan dalam B1 sementara dapat menguasai
B2, memberikan potensi yang
paling besar keberhasilan perkembangan kecakapan sepenuhnya dalam B2. Dari pembicaraan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
- Dalam kedwibahasaan subtraktif terlihat bahwa:
a.
B1 minoritas digantikan oleh B2 mayoritas;
b.
Prestasi anak cenderung rendah;
c.
Perkembangan kognitif mengalami difisiensi;
d.
Jelas adanya pengurangan atau “subtraktisi”.
- Dalam kedwibahasaan aditif terlihat bahwa:
a. B1 mayoritas sedangkan B2 minoritas;
b. Prestasi anak cenderung tinggi;
c. Perkembangan kognisi berkesinambungan,
mengalami efisiensi;
d. Jelas adanya penambahan atau
“adisi”.
b. Tahap Manusia Pemerolehan Bahasa Kedua
a.
Kedwibahasaan masa kecil (infant bilingualism)
Pemerolehan bahasa pada masa kecil disini dimaksudkan adalah
bagaimana seorang anak sejak bayi yang belum dapat mengucapkan suatu kata
apapun sudah mulai belajar bahasa. Apakah ini mungkin?
Hal inimungkin karena sesuai dengan kenyataan bahwa
sang bayi yang secara langsung bergerak atau beranjak dari
“tidak berbicara sama sekali” menuju ke “berbicara dua bahasa”.
Oleh karena itu,
kasus-kasus kedwibahasaan masa kecil memang perlu melibatkan atau mengikutsertakan pemerolehan serentak (simultaneous
acquesition) kedua bahasa tersebut. Di antara keluarga-keluarga yang pernah diobservasi dan diwawancarai
oleh para pakar, justru hal ini merupakan salah satu yang paling umum dan tipe kedwibahasaan
yang paling berhasil.
b.
Kedwibahasaan masa kanak-kanak (child bilingualism)
Kedwibahasaan masa anak-anak, secara definisi mencakup pemerolehan
suksesif dua bahasa.Selama penyebab paling umum memperoleh suksesif ini adalah perpindahan
keluarga ke daerah atau negara lain, maka hal itu kerap kali mempunyai hubungan
erat dengan masa sulit adaptasi atau penyesuaian dalam kehidupan sang anak dan jelas
sekali bahwa hal ini juga mencakup belajar bahasa tersebut. Meskipun demikian, pengalaman telah menunjukkan berulang-ulang bahwa anak-anak dalam situasi ini akan mempelajari B2 dengan kecepatan
yang mengagumkan, kalau mereka diberi kesempatan
yang baik untuk itu. Tidak salah lagi, taraf bantuan yang diperoleh sang anak dari para
guru dan teman-teman sekelas akan merupakan hal
yang sangat penting, tetapi justru sangat sukar membuat generalisasi mengenai hal-hal seperti ini.
Pada umumnya, dalam kasus-kasus yang telah diuji oleh beberapa orang pakar, para orang tua mengatakan bahwa mereka sungguh kagum dan lega melihat betapa lancarnya,
betapa mulusnya anak-anak mereka membuat transisis itu, yang menurut anggapan mereka akan mengalami berbagai kendala.
c.
Kedwibahasaan masa remaja (adolescent bilingualism)
Masa remaja dikatakan sebagaimasa yang banyak mengalami perubahan,
baik dilihat dari segi fisik,
psikis, suara dan tentunya bahasa. Kedwibahasaan pada masa remaja adalah (adolescent
bilingualism) adalah suatu istilah yang dipakai mengacu kepada orang-orang yang
menjadi dwi bahasawan setelah masa pubertas.Oleh sebab itu, biasanya terjadi atau
ada perbedaan dengan pemeroleh bahasa kedua atau B2 yang diperoleh pada masa anak-anak,
Sebab, yang diperoleh pada masa anak-anak adalah dapat dihubungkan dengan ucapan
pribumi atau mirip pribumi (native accent). Hal yang demikian ini juga akan
dialami oleh orang dewasa.
d.
Kedwibahasaan orang dewasa (adult bilinguyalism)
Sebagaimana
yang dialami oleh para remaja para orang dewasa yang mempelajari bahasa kedua
pun akan mengalami hal
yang sama. Orang dewasa biasanya telah menguasai bahasa pertamanya dengan maksimal. Oleh karean itu pada waktu ia mempelajari dan berusaha untuk memperoleh bahasa kedua akan mengalami kesulitan.
Kesulitan ini akan semakin terasa terutama bagi
orang dewasa yang belum terbiasa sama sekali atau belum familiar dengan bahasa yang sedang dipelajari. Maka akan muncul dengan aksen yang sangat dipengaruhi oleh bahasa pertamanya. Oleh karena itu,
terlihat perbedaan yang cukup signifikan dengan belajar B2 pada masa anak-anak maka bila dihubungkan atau dikaitkan dengan aksennya tampak dengan aksen bukan pribumi (nonnativeaccent).
Selain threshold hypothesis ada juga hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan
oleh piaget yang banyak digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses
pemerolehan bahasa. Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif,
bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor.
struktur-struktur ini diperoleh anak-anak melalui intraksi dengan benda-benda
atau orang-orang yang berada disekitarnya.
Urutan pemerolehan
secara garis besar sebagai berikut.
1.
Antara usia 0-1,5 tahun anak-anak mengembangkan pola-pola
aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang
kemudian diatur menjadi struktur-struktur akal
(mental).
2.
Setelah struktur aksi dinuranikan, anak-anak memasuki
tahap reperentasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2-7 tahun . pada tahap
ini anak sudah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti
permainan simbolik, peniruan, gambar-gambar dan lain-lain.
3.
Setelah tahap representasi kecerdasan, maka bahasa
anak-anak semakin berkembang dengan mendapat nilai-nilai sosial.
Sinclair-de Zwart
mencoba merumuskan tahap pemerolehan bahasa berdasarkan pandangan Piaget.
Tahap-tahap tersebut sebagai berikut.
1.
Anak-anak memilih satu gabungan bunyi pendek dari
bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyambaikan satu pola aksi.
2.
Jika gabungan bunyi-bunyi pendek dipahami, maka anak-anak
itu akan menggunakan seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang
lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola aksi yang
sama.
3.
Pada tahap ini muncullah fungsi-fungsi tata bahasa yang
pertama adalah subjek-predikat, dan objek aksi, yang menghasilkan strutur .
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahasa kedua dapat didefinisikan berdasarkan urutan,
yakni bahasa yang diperoleh atau dipelajari setelah anak menguasai bahasa
pertama (B1) atau bahasa ibu. Pemerolehan bahasa, sebagaimana pembelajaran
bahasa dapat dilihat dari beberapa teori, yakni teori akulturasi, teori
akomodasi, teori wacana, teori monitor, teori kompetensi teori hipotesis
universal, dan teori neuro fungsional. Dan Lamandella menunjukkan
fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut : 1) Hirarkis komunikasi: 2)
Hirarkis kognitif:
Apabila suatu masyarakat
yang di dalamnya mempergunakan dua bahasa atau lebih mereka sudah barang tentu berusaha
untuk dapat menguasai bahasa-bahasa tersebut. Berkaitan dengan ini ada suatu hipotesis
yang dikemukakan oleh Cummins (1976) yang disebut hipotesis ambang (threshold
hypothesis) dan dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a. kedwibahasaan subtraktif
(subtractive bilingualisme); b. kedwibahasaan aditif (additive
bilingualisme).
Dalam kedwibahasaan aditif yang merupakan wadah
B1 sang anak merupakan bahasa moyoritas atau dominan dalam kebudayaan, maka pemakaian
dan pemerolehan sesuatu B2 merupakan suatu prestasi tambahan bagi anak dan belajar
kognitifnya pun menjadi lebih jelas. Dengan perkataan lain,
ke dwi bahasaan aditif akan memperkembangkan kognitif yang berkesinambungan dalam B1 sementara dapat menguasai
B2, memberikan potensi yang
paling besar keberhasilan perkembangan kecakapan sepenuhnya dalam B2.
Untuk itulah dapat ditarik kesimpulan dari
pembicaraan di atas sebagai berikut dalam beberapa tahapan: Tahap Manusia
Pemerolehan Bahasa Kedua, Kedwibahasaan masa kecil (infant bilingualism),
Kedwibahasaan masa kanak-kanak (child bilingualism), Kedwibahasaan masa remaja (adolescent
bilingualism), Kedwibahasaan orang dewasa (adult bilinguyalism). Dan
Sinclair-de Zwart sendiri mencoba merumuskan tahap pemerolehan bahasa
berdasarkan pandangan Piaget.
B.
Saran
Dengan kemampuan kelompok III yang terbatas ini, maka
makalah yang berjudul “Pola Perkembangan Pemerolehan B-2 Ditinjau Dari Segi
Psikologi” ini dapat terselesaikan. Namjun kemampuan kelompok III ini masih
jauh di bawah kesempurnaan. Oleh karena itu kami memohon kepada bapak
pembimbing yang terhormat untuk memberikan masukan yang bersifat membangun
untuk menambah wawasan wacana kami bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka
Cipta
Tarigan, H.G. 1988, PengajaranKedwibahasaan,
Bandung: Angkasa
Mamluatul Hasanah, Proses
Manusia Berbahasa, Malang : UIN-MALIKI PRESS,2010.
Abdul Chaer, Psikolinguistik,
Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009.
No comments:
Post a Comment