Abstrak : Dewasa ini sains dikuasai oleh orang-orang
barat. Hal ini tidak bisa dipungkiri lagi dan ini adalah kenyataan yang harus
diterima oleh orang-orang muslim. Kaum rasionalisme dan empirisme memberikan
sumbangan besar terhadap sains barat. Keterpurukan dan keterbelakangan umat
muslim dalam hal sains pada zaman ini menjadikan pemikir-pemikir muslim
memberikan ide-ide untuk membangkitkan kejayaan umat islam yang dulu pernah
berjaya dalam hal ilmu pengetahuan. Dalam hal ini salah satu tokoh muslim yang
menyumbangkan pemikirannya adalah Sayed M. Naquib Al-Attas. Beliau memberikan
pandangan mengenai sains moderen dan sains islam. Sayed M. Naquib Al-Attas
mencoba membangkitkan sains yang telah lama terkubur di dalam peradaban umat
islam dengan melakukan islamisasi sains.
Kata Kunci: Sains, Sains Islam, Rasionalisme dan
Empirisme, Sayed M. Naquib Al-Attas.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara
masalah sains islam tidaklah semudah
membalikan telapak tangan. Pemikiran filsafat sain islam membutuhkan kerja
keras dan bukti yang bisa dipertanggung jawabkan. Ketika berbicara mengenai
sains, tidak hanya melihat sains itu dari sisi keilmiahan saja tapi melihat
juga dari sisi islam. Jadi untuk melihat sains haruslah ada integrasi dengan
islam.
Seperti yang diketahui bahwa sains memiliki eksistensi
pembuktian dengan penelitian ilmiah (scientific research) yang kemudian
digunakan oleh manusia untuk menguasai alam. Pernyataan ini selaras dengan apa
yang dikatakan oleh Descrates yaitu “Maitres et Possesseur de la Nature
(Dengan sains ilmiah manusia dapat menjadi penguasa dan pemilik alam)”.[1]
Memang hal ini terbukti sukses sebagaimana yang kita lihat dinegara-negara
barat. Akan tetapi penulis melihat bahwa ketika sains itu hanya melalui metode
ilmiah dan hanya mengandalkan akal manusia, dan pengalaman inderawi maka sains
itu kehilangan nilai religiusnya.
Sebagai umat islam ketika berbicara masalah sains, apakah
kita pernah berfikir bahwa pada zaman sekarang umat islam mengalami
keterpurukan dalam ilmu pengetahuan? Pernahkah kita berfikir penyebab
keterpurukan umat islam dalam bidang sains? Padahal kalau kita melihat sejarah,
umat islam pernah memiliki peradaban yang islami, dimana sains berkembang
sesuai dengan nilai dan kebutuhan pada saat itu.
Dikatakan bahwa ide islamisasi sains merupakan salah satu
upaya yang dilakukan umat islam untuk bangkit kembali dari keterbelakangan,
keterpurukan ketertindasan di bidang sains.[2]
Jika umat islam pada zaman dahulu mampu memberikan pijakan etis bagi
perkembangan sains yang selaras dengan sifat dasar manusia, maka sekarang
diharapkan dengan islamisasi sains dapat membawa umat islam untuk kembali
memegang kendali sains yang telah lepas dari kontrol etika dan agama.[3]
Untuk mewujudkan sains islam, tidak lepas dari
pemikiran-pemikiran para tokoh atau bisa juga kita sebut cendikiawan muslim
yang memiliki perhatian besar terhadap sains yang islami, yang kemudian mereka
berusaha memadukan islam dengan sains. Diantara tokoh-tokoh tersebut adalah
Sayyed Hossein Nasr, Maurice Bucaille, Ismail Raji’ Al-Faruqi, Sayed M. Naquib
Al-Attas, Ziauddin Sardar dan masih ada tokoh-tokoh yang lain lagi.[4]
M. Nuqaib Al-Attas merupakan salah satu tokoh yang
menyumbangkan pemikirannya tentang sains islam. Pemikiran Sayed M. Naquib
Al-Attas perlu dikaji untuk menemukan titik terang dan pemaaman terhadap pandangannya mengenai sain islam. Oleh karena itu dalam
makalah ini akan dipaparkan bagaimana pandangan Sayed M. Naquib Al-Attas
tentang sains islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pandangan Sayed M. Naquib Al-Attas Terhadap Filsafat Sains Modern
2. Bagaimana Filsafat Sains Islam Menurut Sayed M. Naquib Al-Attas
3. Bagaimana Biografi Sayed M. Naquib Al-Attas
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pandangan Sayed M. Naquib Al-Attas Terhadap sains modern.
2. Untuk Mengetahui Sains Islam Menurut Sayed M. Naquib Al-Attas
3. Untuk mengetahui sekilas perjalanan hidup Sayed M. Naquib Al-Attas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Sains Modern dalam pandangan Sayed M. Naquib Al-Attas
Ketika berbicara masalh filsafat sain moderen maka kita
akan dihadapkan paling tidak dua faham yaitu rasionalisme dan empirisme. Sains
modern pada saat ini memegang kendali terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mencoba
untuk mengungkapkan pengetahuan melalui rasio dan pengalaman yang mereka
miliki. Bahkan sains modern telah menjadi penafsir sains dan penyusuna dari
hasil sains alam dan sosial kedalam pandangan dunia.[5]
Naquib Al-Attas memberikan arahan kepada kaum muslimin
ketika melihat sains modern hendaknya mengkeritisi beberapa hal yaitu:
·
Metode sains moderen dalam memperoleh ilmu.
·
Aspek-aspek rasionla dan empiris.
·
Penafsiran terhadap sumber ilmu.
·
Teori ilmu yang diajukan, dan kain-lain.
Inti dari asumsi para sains dan filsafat modern adalah
sains merupakan ilmu yang otentik. Ilmu sendiri merupakan kombinasi realisme,
idealisme dan paragmatisme. Sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah
filsafat yang sejak awal telah mengukuhkan pandangan mereka bahwa sesuatu itu
muncul dari sesuatu yang lain. Segala yang ada adalah kemajuan, perkembangan,
atau evolusi dari potensi laten didalam materi yang sudah kekal. Alam yang kita
lihat dan pijak saat ini dilihat dari perspektif ini merupakan alam semesta
yang tak tergantung pada apapun, dan alam ini kekal, suatu sistem yang berdiri
sendiri.
Dari argumen di atas, sudah tersirat bahwa ada penolakan
terhadap keberadaan tuhan yang maha pencipta. Sains kontemporer dalam
memperoleh pengetahuan menggunakan metode sebagai berikut:[6]
·
Rasionalisme filosofis, yaitu cendrung hanya bersandar pada nalar
tanpa bantuan pengalaman persepsi inderawi.
·
Rasionalisme sekular, yaitu menerima nalar, tapi cendrung lebih
bersandar pada pengalaman inderawi, menyangkal otoritas dan intuisi, serta
menolak agama dan wahyu sebagai sumber ilmu yang benar
·
Empirisme filosofi dan empirisme logis, yaitu
menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika,
dan analisis bahasa.
Dari metode yang digunakan oleh sains modern dalam
memperoleh ilmu dapat di simpulkan menjadi dua yaitu pemerolehan ilmu melalui
rasio dan pengalaman atau lebih dikenal dengan faham rasionalisme dan
empirisme.
Lantas bagaimana dengan metode epistemologis yang mereka
gunakan? Naquib Al-Attas menyatakan bahwa kaum rasionalisme dan empirisme
menggunakan keraguan menjadi metode epistemologis mereka.[7]
Lebih jelasnya lagi Rene Descartes mengatakan “segala
sesuatu harus diragukan.” Segala sesuatu
yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu. Hamlet yang dijuliki
siperagu juga berseru kepada Ophelia:[8]
Ragukanlah bahwa bintang-bintang itu api
Ragukanlah bahwa matahari itu bergerak
Ragukanlah kebenaran itu dusta
Tapi jangan ragukan cintaku
Dengan meragukan sesuatu kaum rasionalisme dan skularis mengira akan mencapai kebenaran. Tapi sekali-kali tidak, keraguan tidak akan
mengantarkan mereka kepada kebenaran yang mereka inginkan. Keraguan, baik yang
bersifat sementara ataupun pasti, akan membawa kepada dugaan atau kepada posisi
ketidak pastian, dan tidak pernah kepada kebenaran.[9]
Allah berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ
إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ (يونس:36)
Artinya: Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.
B. Filsafat Sains Islam dalam Pandangan Sayed M. Naquib Al-Attas
Sayed M. Naquib Al-Attas menurut penulis
adalah salah satu cendikiawan muslim yang masih hidup bersama kita saat ini.
Salah satu upaya untuk membangkitkan keterpurukan umat islam saat ini adalah
dengan membangun institut pendidikan yaitu International Institute of Islamic
Thought Civilization (ISTAC). Dan juga Al-Attas telah banyak menyumbangkan
pemikiran-pemikirannya melalui tulisan. Tulisan-tulisannya banyak berbicara
tentang Islam, skulerisasi, dan islamisasi.[10]
Menurut AL-Attas filsafat islam yang kita
miliki memiliki banyak kesamaan dengan filsafat dan sains kontemporer, akan
tetapi kesamaan yang ada hanya bersifat lahiriyah sajam kesamaan hanya pada
permukaan saja, dan hal ini tidak menutup kemungkinan ada perbedaan yang besar
antara filsafat modern dengan filsafat islam yang kita yakini. Ini disebabkan
oleh pandangan yang berbeda terhadap akhir realitas kebenaran yang kita yakini.
Pengakuan kita terhadap wahyu sebagai
satu-satunya sumber ilmu memberikan kita suatu landasan metafisika. Dalam hal
inilah sains yang kita kembangkan menjelaskan realitas kebenaran yang tidak
bisa dilakukan oleh kaum rasionalisme dan empirisme.[11]
Bagaimana dengan sumber dan metode ilmu yang
ada dalam filsafat sains Islam. Apakah sama dengan yang ada dalam filsafat
sains kontemporer? Menanggapi pertanyaan ini, Naquib Al-Attas dalam bukunya
ISLAM DAN FILSAFAT SAINS menjelaskan sumber dan metode ilmu dalam sains islam
sebagai berikut:
1. Indera-indera lahir dan batin
Berbeda dengan filsafat sains modern dalam hal
sumber dan metode ilmu, kita berpendapat bahwasanya ilmu datang dari tuhan dan
diperoleh melalui indera yang sehat, akal yang sehat dan intuisi.
Yang dimaksud dengan indera yang sehat disini
adalah mengacu pada persepsi dan pengamatan yang mencakup lima indera lahiriyah
dan lima indera batiniah. Yang termasuk lima indera lahiriyah yaitu: perasa
tubuh, pencium, perasa lidah, pengelihatan, dan pendengaran. Sedangkan yang
termasuk indera batiniyah yaitu: Indera umum, representasi, estimasi, ingatan
dan pengingatan kembali, dan imajinasi. Kedua indra ini saling terkoneksi untuk
mengolah sebuah ilmu.
2. Akal dan Intuisi
Menurut Al-Attas akal yang sehat bukan hanya terbatas
pada unsur-unsur inderawi, atau hanya penafsir fakta-fakta pengalaman inderawi,
atau yang mengubah data pengalaman inderawi menjadi suatu citra akliah yang
dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi. Sesunggunya apa yang telah
disebutkan tersebut memang adalah akal, akan tetapi Al-Attas lebih cendrung
mengatakan bahwa semua itu adalah salah satu aspek akal. Al-Attas mempertegas
lagi bahwa akal adalah substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah
yang disebut dengan hati atau qalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi.
Berbicara lebih lanjut mengenai intuisi, Suriasumantri
menjelaskan bahwa intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui
peroses penalaran tertentu.[12]
Lebih lanjut Al-Attas memberikan penjelasan bahwa intuisi tidak datang pada
sembarang orang, akan tetapi intuisi datang kepada seseorang yang telah
menjalani hidupnya dengan mengalami kebenaran agama melalui praktek pengabdian
kepada tuhan dengan ikhlas.
Al-Attas menambahkan bahwa intuisidatang pada orang yang
merenungkan secara terus menerus hakikat realitas, dan kemudian selama
perenungannya yang mendalam maka dengan kehendak tuhan ia akan menemukan apa
yang dia cari.
3. Otoritas
Jika berbicara masalah otoritas dalam filsafat sains maka
akan terjadi perbedaan pandangan antara sains modern dan Islam. Sains Islam
memandang bahwa otoritas memiliki tingkatan. Terlepas dari otoritas yang
berilmu pada umumnya, tingkat otoritas tertinggi dalam sains islam adalah
Al-Quran dan Sunnah Nabi. Keduanya ini mewakili otoritas yang dibangun diatas
tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruahaniah yang lebih tinggi, dan diatas
pengalaman trasedental yang tak bisa disempitkan hanya pada tingkat akal dan
pengalaman biasa.
Setelah melihat sumber dan metode ilmu yang dipaparkan
oleh Al-Attas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada persamaan dalam sains islam
dan sains modern dalam hal sumber dan metode ilmu. Akan tetapi persamaan
hanyalah dalam tataran lahiriyah dan lebih bnyak perbedaan yang ada.
Pemikiran Sayed M. Naquib Al-Attas dalam filsafat sains
merupakan bentuk kepeduliannya terhadap umat islam zaman ini. Untuk
mengembalikan citra umat muslim dan menjadikan umat muslim menjadi yang
terdepan dalam sains, maka Al-Attas menyimpulkan bahwa islamisasilah
salah satu jalan menuju kesana.
Menurut AL-Attas langkah islamisasi yang efektif
untuk program islamisasi sains dan disiplin ilmu pengetahuan adalah melalui
islamisasi bahasa.[13] Bahasa
sangat penting sebagai sarana berfikir ilmiah. Masalah bahasa menjadi bahan
pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ahli filsafat modern. Kekacauan dalam
filsafat menurut Wittgensten disebabkan karena kebanyakan dari pernyataan dan
pertanyaan ahli filsafat timbul dari kegagalan mereka untuk menguasai logika
bahasa.[14]
Bagi aliran filsafat tertentuseperti filsafat analitik,
maka bahasa bukan saja merupakan alat untuk berfilsafat dan berfikir, namun
juga merupakan bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir dari
filsafat.
Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas adalah
seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia
juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya
tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, Indonesia. Ia menempuh pendidikan dasar pada usia 5 tahun di Johor, Malaysia, namun saat pendudukan Jepang ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar Bahasa Arab di Madrasah Al-`Urwatu’l-wuthqa di Sukabumi.
Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan
menengahnya. Ia tertarik dan mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan
Barat. Saat kuliah di Universitas Malaya, al-Attas menulis Rangkaian
Ruba`iyat, sebuah karya literatur, dan Some Aspects of Sufism as
Understood and Practised among the Malays. Dari sini ia melanjutkan studi
ke the Institute of Islamic Studies di McGill
University, Montreal, Kanada. Tahun 1962 Al-Attas menyelesaikan studi pasca sarjana di sini dengan
thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Al-Attas
kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African
Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr.
Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri.
In 1987, Al-Attas
mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya
melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta
memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.Diantara Tulisan Syed Muhammad Naquib al-Attas yaitu:
·
(1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjat au’l Siddiq:
A Refutation, Kuala Lumpur Museum Department.
·
(1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay
Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi
·
(1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental
Elements of the Worldview of Islam
BAB III
ANALISIS
Filsafat sains modern memiliki andil besar dalam sains
pada zaman ini. Sains modern telah memegang kendali pada saat ini , banyak
orang yang sudah berkiblat ke sains kontemporer. Kendatipun demikian para
cendikiawan muslim tidak hanya berdiam diri atas keterpurukan dan
keterbelakangan umat islam dalam hal sains. Jerih payah dan usaha telah
dilakuakan baik dengan pemikiran maupun material untuk bisa menjadikan kaum
muslim tidak tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan, bahkan berupaya agar umat
islam terdepan dalam masalah ilmu pengetahuan.
Memang dilema yang dihadapi oleh umat muslim pada saat
sekarang ini adalah kekeliruan dan kesalahan dalam ilmu sehingga menyebabkan
kehilangan adab di tengah-tengah umat. Dari sini juga timbul permasalahan yang
sangat pelik ditengah umat islam yaitu kemunculan pemimpin-pemimpin yang tak
layak untuk memimpin umat islam. Pemimpin yang tidak memiliki moral,
intelektual dan spiritual yang tinggi untuk bisa memperbaiki dan memimpin umat
islam seperti zaman dahulu yaitu zaman kejayaan umat islam.
Pemikiran Naquib AL-Attas tentang filsafat sains Islam
perlu kita apresiasi, bahkan memberikan dan menyumbangkan pemikiran yang kita
miliki untuk menjadikan umat islam terdepan dalam hal ilmu pengetahuan.
Gambaran umum yang telah diberikan oleh Naquib Al-Attas tentang filsafat sains
islam merupakan salah satu upaya yang telah dilakukannya untuk menyadarkan umat
islam akan pentingnya sains islam.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam filsafat sains modern ada dua faham yang memegang
kendali terhadap ilmu pengetahuan yaitu rasionalisme dan empirisme. Mereka
mencoba untuk mengungkapkan pengetahuan melalui rasio dan pengalaman yang
mereka miliki. Bahkan sains modern telah menjadi penafsir sains dan penyusuna
dari hasil sains alam dan sosial kedalam pandangan dunia. Filsafat sains modern
menjadikan akal dan pengalaman sebagai sumber penetahuan.
Berbeda dengan filsafat sains islam, sumber dan metode
ilmu dalam sains islam menurut Naquib Al-Attas adalah, indera lahir dan batin,
akal dan intuisi, dan otoritas.
Naquib Al-Attas mendirikan sebuah
institusi pendidikan tinggi bernama International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya
melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta
memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Attas, Sayed M. Naquib. 1995. Islam dan
filsafat sains. Bandung: Mizan.
Bertnes, K. 1997. Etika. Jakarta:
Gramedia.
Butt, Nasim. 1996. Sains dan Masyarakat Islam.
Bandung: Pustaka.
Habib, Zainal. 2007. Islamisasi Sains:
Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan perspektif, Malang: UIN Press.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu
sebuah pengantar populer. Jakarta:Pustaka sinar harapan.
Wittgeinstein, Ludwig. 1972. Tractatus
Logico-philosophicus. London: The Humanities press
[8] . Jujun S. Suriasumatri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer,
(Jakarta:Pustaka sinar harapan,2003), Hlm.50
[12] . Jujun S. Suriasumatri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer,
(Jakarta:Pustaka sinar harapan,2003), Hlm.53
[14] . Ludwig Wittgeinstein, Tractatus Logico-philosophicus (London: Routledge
& kagen Paul, 1972), hlm. 37.
No comments:
Post a Comment