KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim….
Tiada untaian kata yang pantas kami ucapkan selain ucapan rasa syukur
Alhamdulillah Kepada Sang Khaliq yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Psikolinguistik”
yang berjudul “Brain and
Language”, meski sangat jauh
dari kesempurnaan. Namun, hal itu tidak akan mengurangi eksistensi kami ke
depan untuk lebih baik.
Sholatan wa salaman semoga tetap tercurahkan Kepada Sang Revolusioner
Islam Nabiyullah Muhammad Saw. Yang telah membawa kita dari jurang kesesatan
menuju alam yang penuh dengan terangnya ilmu pengetahuan seperti apa yang telah
kita rasakan pada saat ini, itu tidak lain adalah berkat kegigihan Beliau dalam
membela Islam.
Ucapan terimakasih kepada Dosen
Pengampu “Prof. Dr.
H. ………..” yang telah memberikan bimbingan dan teman-teman serta
orang-orang yang berjasa dalam penyelesaian tugas ini. Kritik dan saran dalam
penulisan dan isi sangat diharapkan karena kami masih pemula dan untuk
perbaikan selanjutnya.
Penulis,
Kelompok
I
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dengan manusia lainnya berinteraksi
sebagaimana makhluk social yang tak pernah bisa lepas tanpa bantuan manusia
lainnya. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi
dengan sesamanya.
Manusia adalah
satu-satunya makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup lainnya
yaitu hewan dan tumbuhan. Kelebihan manusia di antara yang lainnya yaitu memiliki
akal dan pikiran serta nafsu. Selain itu juga manusia dalam struktur tubuh
serta organ-organnya pun berbeda dengan hewan dan tumbuhan.
Dalam perkembangannya
dari sejak diciptakan manusia memiliki struktur organ tubuh yang sempurna,
yaitu memiliki otak, panca indera, kaki, jantung, hati, tangan, mulut, lidah,
pipi,dan anggota tubuh lainnya sehingga menjadi satu kesatuan tubuh yang utuh
dan sempurna. Salah satu anggota tubuh yang sangat berpengaruh dalam
kehidupannya yaitu Otak. Otak merupakan tempat menyimpan semua hal yang
didapatkan atau dialami oleh manusia.
Apabila kita mempelajari keterkaitan bahasa, pikiran, dan
ujaran, tentu saja materi ini tidak terlepas dari pembahasan mengenai bahasa
itu sendiri yang terkait dengan otak (brain) dan pikiran (mind).
Di dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana sebenarnya
hubungan antara bahasa dan otak, adakah gangguan-gangguan dalam berbahasa,
serta kapan masa-masa kritis bahasa itu terjadi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hubungan otak dan
bahasa ?
2.
Bagaimana struktur otak
manusia?
3.
Apakah yang dimaksud
gangguan berbahasa pada manusia?
4.
Bagaimana periode kritis
berbahasa pada manusia?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui hubungan
otak dan bahasa
2.
Untuk mengetahui bagaimana
struktur otak manusia
3.
Untuk mengetahui gangguan
berbahasa pada manusia
4.
Untuk mengetahui kapan dan
tahapan-tahapan manusia dalam memperoleh bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Brain And Language
Otak dan Bahasa
Bahasa dalam
kehidupan manusia sangat berperan dalam interaksi sosial sesama manusia, baik
untuk komunikasi, maupun menyampaikan pendapat, keinginan, serta segala sesuatu
yang dipikirkan yang akan disampaikan pada sesamanya.
Jika kita
pikirkan lebih mendalam lagi, sebenarnya bahasa itu timbul darimana? Tanpa kita
sadari, kita dengan lancarnya berbahasa dan berbicara dengan sesama, baik teman
kita maupun orang-orang yang kita temui setiap hari, bahkan pada diri kita
sendiri kita pun berbahasa. Lalu, adakah kaitannya dengan otak kita disaat kita
berbicara dan berbahasa dengan orang lain?
Berbicara tentang
otak, otak adalah salah satu organ tubuh yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada
kita manusia dengan segala fungsinya yang kita gunakan untuk berpikir, merenung,
dan menangkap, menampung serta
menyalurkan dan mengungkapkan segala yang ditemukan dan dilihat maupun didengar
juga dirasakan oleh kita.
Struktur Otak
Manusia
Otak merupakan
salah satu komponen sistem susunan saraf manusia. Darisegi ukurannya berat otak
manusia adalah 1 sampai 1,5 kilogram ( Steinberg dkk 2001: 311; Dingwall 1998:
60) dengan rata-rata 1330 gram ( Halloway 1996: 77).[1]
Otak terdiri dari
dua bagian yaitu batang otak dan korteks serebral. Di dalam batang otak terdapat
bagian-bagian yang dinamakan medulla, pons, otak tengah dan serebellum.
Sedangkan di
dalam korteks serebral terdiri dari hemisfer (belahan), yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan, yang dihubungkan oleh korpus kolosum.\
Tiap-tiap
hemisfer terbagi lagi dalam bagian-bagian besar yang disebut sebagai lobus,
yaitu lobus frontalis, lobus paritelis, lobus oksipitalis, dan lobus
temporalis. Permukaan otak yang disebut sebagai korteks serebri tampak
berkelok-kelok membentuk lekukan (disebut sulkus) dan benjolan (disebut girus).
Dengan adanya sulkus dan girus ini permukaan otak yang disebut korteks serebri
itu menjadi lebih luas. Korteks serebri ini mempunyai peranan penting baik pada
fungsi elementer, seperti pergerakan, perasaan dan pancaindra, maupun pada fungsi
yang lebih tinggi dan kompleks yaitu fungsi mental, atau fungsi luhur atau
fungsi kortikal (dari kata korteks) yang terdiri dari isi pikiran manusia,
ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga
fungsi bicara (bahasa).[2]
Hemisfer kiri
juga mengendalikan semua anggota badan di sebelah kanan, sebaliknya hemisfer
kanan mengendalikan anggota badan sebelah kanan.
Berikut fungsi
hemisfer kiri dan hemisfer kanan otak manusia :[3]
Hemisfer Kiri
|
Hemisfer Kanan
|
1.
Berbahasa
2.
Membaca
3.
Menulis
4.
Analisa
5.
Menghitung
6.
Berpikir
Nalar
7.
Sains
|
1.
Musik
dan lagu
2.
Emosi
3.
Kesenian
4.
Refleksi
5.
Daya
ingat
6.
Daya
intuisi
7.
Kepribadian
|
Setelah kita
mengetahui struktur otak, ternyata di dalam otak kita sudah terdpat
bagian-bagian dengan fungsinya yang salah satunya berkaitan dengan proses
berbahasa manusia. Hemisfer kiri
merupakan otak bagian kiri dengan fungsinya dalam kebahasaan. Hal ini
juga di dukung oleh penemuan Paul Broca, 1861, seorang ahli bedah Prancis
menemukan seorang pasien yang tidak dapat bicara, hanya dapat mengucapkan” tan
tan” karena ada kerusakan otak di daerah frontal, yang kemudian dinamakan
daeraah Broca. Penemuan ini menjadi dasar teori bahwa kemampuan berbahasa
terletak pada hemisfer kiri otak dan daerah Broca berperan penting dalam proses
perwujudan bahasa.
Selain itu Carl
Wernick, 1873, dokter jerman, menurut penemuannya tetntang kasus pasien yang
mempunyai kelainan wicara terdapat kerusakan pada otak belakang, yang disebut
daerah Wernick berperan penting dalam pemahaman ujaran. Teori ini juga memperkuat bahwa letak
kemampuan berbahasa terletak pada hemisfer kiri.[4]
B.
The Language Centers
Aphasia
Gangguan Berbahasa
Otak sebagaimana yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya memiliki fungsi yang amat sangat vital bagi
manusia. Ia merupakan pusat segala aktivitas , ia akan selalu ‘terjaga’
walaupun manusia tersebut sedang terlelap dalam tidurnya, otak tetap ‘bekerja’
dengan segala mekanismenya yang telah diatur secara otomatis serta sistematis.
Namun tak selamnya otak selalu dalam kondisi yang prima atau normal terlebih
jika kerusakan tersebut timbul setelah stroke atau trauma. Ada beberapa factor yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi
kerja otak, khususnya yang berkaitan dengan fungsinya dalam berbahasa atau
berkomunikasi. Gangguan atau cedera otak itu tentunya sangat mengganggu
kehidupan manusia sehari-hari, yang mana ia akan mengalami gangguan dalam
wicara. Kerusakan berbahasa itu disebut dengan afasia (aphasia), sedang penderitanya adalah afasik
(aphasic).
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa otak dalam hal
berbahasa memiliki fungsi sebagai alat untuk menyimpan semua informasi yang
diterima , kemudian informasi-informasi tersebut dapat dipanggil kembali
(recall) ketika dibutuhkan. Jika terdapat kerusakan yang terjadi pada area
Broca atau Wernick sudah barang tentu akan terjadi gangguan. Belahan otak kiri
serta kanan tak mampu menjalankan fungsinya masing-masing dengan normal.
Jenis-jenis aphasia:
Kajian mengenai afasiologi ini bagi kebanyakan orang
awam adalah hal yang sangat rumit dan membingungkan, walaupun pada kehidupan
sehari-hari mereka sudah barang tentu pernah menemukan atau paling tidak
menyaksikan penderita aphasia (afasik), namun mereka tidak mengidentifikasi
gangguan kerusakan otak itu sebagai gangguan wicara atau berbahasa. Mereka
memandang hal itu hanyalah sebagai imbas dari stroke yang umumnya dikenal
sebagai penyakit ‘fisik’. Padahal jika
afasia menyerang salah satu dari hemisfir akan timbul dampak buruk yang
sangat mempengaruhi kemampuan berbahasa.
Berikut macam dan jenis afisia dalam bidang kajian neurolinguistik:
1.
Afasia Broca (Broca’s
Aphasia Damage )
Kerusakan ini terjadi pada area Broca[5]
dan dinisbahkan pada nama penemu area Broca yakni Piere Paul Broca. Penderita
afasia Broca pada umumnya mereka akan mengalami kesulitan mengekspresikan diri
secara lisan dan artikulasi kurang baik., begitu juga ia tak mampu membentuk kalimat kompleks dengan tata bahasa
yang benar, Pasien sendiri masih memiliki kemampuan pemahaman bahasa yang baik,
walaupun ada beberapa kasus di mana kemampuan pemahaman bahasa pasien ikut
menurun[6].
Berikut
adalah contoh pasien dengan afasia Broca. Ia bermakud menjelaskan bagaimana ia
datang ke rumah sakit untuk menjalani bedah gigi:
"Ya...
ah... Senin... ng... Ayah dan Peter H... (namanya), dan Ayah.... ng... rumah
sakit... dan... ah... Rabu... Rabu, jam sembilan... dan oh... Kamis... jam
sepuluh, ah dokter... dua... dan dokter... dan ng... gigi... yah."[7]
Daerah
yang diserang berdekatan dengan korteks motor, maka alat-alat ujaran berbahasa
seperti mulut akan berubah bentuk (Jw:mencong),
sehingga kata-kata yang dihasilkan akan terpatah-patah dan lafalnya tidak
jelas. Sebagaimana tetangga penulis yang menderita stroke ketika berbincang
dengan penulis maka kalimat yang keluar sukar difahami . Pun juga ditandai
dengan ketidakmampuan untuk memproduksi dan memahami kalimat-kalimat yang
grammatical , disebut dengan istilah agrammatic.
Ada
juga afasia Broca yang disebut dengan afasia Motorik Kortikal, dimana
hilangnya kemampuan untuk mengutarakan pikiran dengan menggunakan perkataan, secara
gampangnya gudang tempat penyimpanan kata-kata musnah atau hilang. Ia masih
bisa mengerti bahasa lisan dan tulisan, akan tetapi ekspresi verbal tidak bisa
sama sekali, namun visual masih bisa. Sedang pada penderita Motorik
Subkortial , hubungan antara Kortial
(atas) dengan Subkortial terputus sehingga perintah untuk mengeluarkan
perkataan masih bisa dismapaikan melalui gudang Broca (gudang perkataan). Jadi
penderita ini tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya perkataan, namun dengan
membeo[8]. Sedang Motorik
Transkortial, gangguan tipe berbahasa ini terjadi akibat gangguan area
Broca dan Wernick yang menyebabkan tidak harmonisnya proses pemahaman dan
ekspresi bahasa atau kata-kata.
2. Afasia
Wernick (Wernick’s Aphasia Damage)
Afasia Wernicke yang berhubungan dengan kerusakan area Wernicke pada otak. Area Wernicke adalah
pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk memproduksi makna, seperti
interpretasi kata dan pemilihan kata untuk menghasilkan produksi ujaran[9]. Penderita afesia ini cukup lancar dalam berbicara,
namun sulit dimengerti karena kata-kata yang diucapkannya tidak cocok dari segi
makna. Penderita ini juga sering kali keliru dalam memilih kata, sebagai
contoh: Kata fair digantikan dengan chair, kata carrot
dengan cabbage .
Penderita afasia Wernick juga kesulitan untu menyebutkan
nama-nama benda, walaupun sebenarnya ia mengetahuinamanya. Ia mampu menunjukkan
benda yang dimaksud akan tetapi ketika akan menyebutkan nama benda tersebut ia
tak mampu untuk mengungkapkannya. Kata “pensil” bagi orang normal sangatlah
gampang untuk diucapkan, hal yang berbeda dialami penderita afasia Wernick, ia
akan sulit menemukan kata dan menamainya
walau lisannya relative lancar[10].
Afasia Broca:
a.
Menimbulkan
kesulitan produksi ujaran .
b.
Penderita
memahami bahasa/ujaran.
c.
Bentuk
kata-kata tidak sempurna.
d.
Bahasa
yang lambat dan tidak jelas.
Afasia Wernick:
a.
Kehilangan
kemampuan memahami ujaran.
b.
Bisa
berbicara dengan jelas, akan tetapi kalimat yang dihasilkan tidak jelas maknanya.
Cara berbicara ini disebut sebagai ‘Salad Word”.
3.
Afasia Konduksi (Conduction
Aphasia)
Afasia ini terjadi disebabkan oleh
putusnya fiber yang menghubungkan antara daerah Broca yang berada pada lobe
frontal dengan daerah Wernick yang berada pada lobe temporal, maka penderita
afasia ini akan mengalami gangguan ketidakmampuan dalam mengulang kata yang
baru saja diberikan kepadanya[12].
Dia memahami perkataan yang diucapkan oleh orang lain, begitu pula akan
memahami dan juga akan mengambil barang yang dimaksud, namun tidak mampu
menjawab pertanyyan yang ditujukan kepadanya. Ketika sang penanya menayakan A,
maka jawaban yang didapat dari penderita afasia konduksi akan berbeda dengan
yang dimaksud. Pertanyaan A, jawaban B atau C atau D.
4.
Alexia dan Agrapharia
Selain gangguan berbahasa seperti afasia Broca dan Wernick, ada juga
gangguan lainnya seperti Alexia dan Agrapharia. Kedua hal ini berkaitan dengan
kemampuan membaca dan menulis. Pada gangguan Alexia, si penderita mengalami
hilangnya kemampuan untuk membaca. Sedangkan agrapharia menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk menulis huruf-huruf secara normal.
C.
The Critical Period
Hypothesis
Masa Kritis
Berbahasa Pada Manusia
Apa dan
kapan masa kritis bahasa?
Membicarakan
masa kritis berbahasa tentu tidak lepas dari masa pemerolehan bahasa anak.
Pemerolehan bahasa anak bisa diartikan sebagai suatu proses dimana anak mulai
mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal. Dalam kondisi seperti
ini bahasa dipahami sebagai satu pranata sosial dan sebagai sistem lambang
dalam komunikasi. Sementara itu singleton dan ryan (2004) mendefinisikan priode kritis sebagai
priode kehidupan yang dipengaruhi faktor biologis ketika bahasa bisa dikuasi
secara lebih mudah. Hipotesis tentang masa prolehan ini dikenal dengan The
Critical Period Hypohesis (CPH), dalam hipotesis ini dinyatakan ada semacam
jadwal biologis berkaitan denga masa pemerolehan bahasa. Pada awalnya studi
tentang periode kritis ini berkaitan dengan pertama. Studi patolgogis tentang
anak-anak yang gagal berbahasa pertama mendorong munculnya gagasan tentang
kecenderungan yang dipengaruhi oleh faktor biologis.
Secara
neurofisiologis penfield dan Roberts dalam parera (1986:94) berpendapat bahwa
anak pada usia 2 sampai 12 tahun memiliki kemampuan terbatas untuk berbahasa.
Masa ini merupakan masa perolehan bahasa yang spesial karena otak plastis
bahasa anak berkembang. Kemudian lenneberg (1986:94) menyebutnya sebagai masa
kritis berbahasa. Mengapa masa ini kemudian disebut sebagai masa kritis bahasa?
Karena pengalaman membuktikan bila anak tidak mengalami proses sosial berbahasa
sampai melewati umur kritis berbahasa ini ia akan mengalami kesulitan dan
keterlambatan dalam proses berbahasa.[13]
Tahapan masa kritis ini bisa digambarkan sebagai berikut:
Umur
|
Proses berbahasa
|
0-3 bulan
|
Muncul dengkur
|
4-20 bulan
|
Proses meraban sampai kata
tunggal
|
21-36 bulan
|
Proses prolehan bahasa
|
1-10 tahun
|
Pemurnian gramatika/tata
bahasa dan penambahan kosa kata
|
11-14 tahun
|
Pemunculan intonasi asing
|
Secara
umum telah desetujui bahwa bahasa pada tingkat prolehan bahasa anak lebih
mengarah pada fungsi daripada bentuk. Anak akan menggunakan sistem verbal itu
sebagai alat komunikasi. Kalau kita menyitir pendapat Michael Halliday dalam
parera (1986:89) ada 8 (delapan) fungsi bahasa dalam komunikasi, yaitu fungsi
instrumental, fungsi interaksional, fungsi personal, fungsi heuristik, fungsi
imajinatif, dan fungsi argumentatif.
Kalau
kita menyitir pendapat Slobin dalam Parera (1986:95) yang telah mengadakan
penelitian terhadap 6 (enam) bahasa dalam kaitannya dengan proses dan fungsi
bahasa anak, mengatakan bahwa fungsi bahasa anak secara universal adalah:
1)
Menyebut nama benda atau
obyek;
2)
Meminta sesuatu, memerintah
atau menyatakan keinginan;
3)
Menolak atau menyangkal;
4)
Melukiskan kejadian atau
situasi;
5)
Menunjukkan kepemilikan;
6)
Melukiskan sesuatu; dan
7)
Bertanya.
Jendela peluang berbahasa
Hipotesis masa kritis berbahasa
sebenarnya membincangkan masalah kapan sebenarnya waktu dalam kehidupan manusia
itu merupakan masa aktif seseorang memperoleh bahasa. Hanya saja persoalan ini
selalu menjadi perdebatan, tidak ada kesempatan jelas kapan sebenarnya masa
kritis itu berlangsung. Perdebatan ini disebabkan jelas kapan sebenarnya masa
kritis itu berlangsung. Perdebatan ini disebabkan karena sebuah asumsi, selam
otak manusia masih berkembang, peluang untuk memperoleh bahasa itu terus berbuka.
Kalau tidak gangguan dalam lingkungan prenatal, bayi lahir dengan bekal
sebanyak 100 miliar neuron dengan koneksi-koneksi awal. Tetapi otak masih
berupa produk mentah yang belum selesai. Tugas lingkunganlah yang menyelesaikan
atau mengembakalaikan. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengembangan otak
ini mempunyai batas waktu pengembangan yang disebut oleh Conlan dalam Rakhmat
(2007:223) sebagai “windows of opptornuty” (jendela peluang). Proses
penyempurnaan koneksi-koneksi dendrit terhenti, begitu jendela peluang ini
tertutup. [14]
Bila dikaitkan dengan kompetensi linguistik, jendela peluang untuk
belajar bahasa mulai terbuka pada usia dua bulan. Daerah otak yang berkaitan
dengan bahasa menjadi sangat aktif pada usia 18 sampai 20 bulan. Bayi menguasai
sekitar sepuluh kosakata per hari, sehingga ia menguasai sekitar 900 kata pada
usia tiga tahun. Jendela berbahasa ini sebenarnya tetap terbuka sepanjang hidup
kita. Tetapi beberapa komponen berbahasa tertutup lebih awal. Jendela bahasa
tutur (spoken language) pada usia sepuluh atau sebelas tahun.
Gangguan berbahasa bisa disebabkan oleh banyak hal, diantaranya adalah
gangguan lingkungan sosial. Yang dimaksud faktor lingkuangan sebagai penyebab
gangguan adalah ketika secara neorologi dan biologi seorang anak normal, akan
tetapi karena lingkungan tempat dia tinggal menyebabkan dia tidak bisa
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan bahasanya. Sebagai contoh adalah
anak yang hidup dalam keterasingan yang disebabkan oleh kesengajaan (misalnya
anak yang hidup dilingkungan hewan).
Kamala adalah seorang anak manusia yang dipelihara oleh serigala. Anak
kamala ditemukan oleh seorang misionaris di Midnapore India. Saat ditemukan dia
berusia 8 tahun. Karena hidup di lingkungan serigala dia sangat mirip dengan
serigala, dia berlari dengan cepat dengan mengunakan kaki dan tangannya, dia
mengaum, dan tidak bercakap sepatah katapun, bahkan tidak terlihat ekspresi
emosi diwajahnya. Dia tetap tidak bisa berbahasa manusia sampai usia sembilan
tahun dan setelah itu dia meninggal dunia pada usia 9 tahun. Sampai usia ini
tidak lebih dari 50 kata saja yang bisa dikuasai.
Sebagai gambaran proses berbahasa
pada masa kritis berbahasa bisa dijelaskan bahwa pada bayi, informasi diterima
melalui seluruh inderanya. Dan, pendengaran menjadi indera yang pertama kali
menyerap informasi. Bahkan sejak dalam kandungan fungsi pendengaran pada bayi
sudah bekerja. Setelah itu baru indera perasa, penciuman, penglihatan, dan
pengecapan. Informasi yang diterima oleh indera disebut dengan seensai berbagai
informasi yang diterima oleh kelima indera menjadi bank data ‘sensi’ yang
kemudian disimpan didalam memorinya. Suara ibu berbicara, pelukan ayah, senyum
di wajah ibu, bau badan ayahnya, dan lain-lain, merupakan stimulus pada bayi.
Seiring dengan terkumpulnya seiring dengan terkumpulnya banyak sensasi yang ia
dapat. Saat ibu memeluk dan berkata ‘sayang’ maka bayi akan membentuk persepsi
‘disayang’. Kata ‘ sayang’ yang terucap adalah merupakan penamaan/labeling yang
juga akan dimengerti oleh bayi.[15]
Tahapan pembentukan
bahasa
Bagaimana sebuah kata atau kalimat
dibentuk? Sebuah proses pembentukan kata atau kalimat setidaknya melibatkan
tiga aspek:
a.
Aspek Fonologis
Ketika anak belajar bahasa, ia akan melalui tahapan yang bernama tahapan
fonologis. Pada tahapan ini anak akan belajar menggunakan dan mengucapkan
bunyi-bunyian secara benar. Bila anak mengalami gangguan fonologis, ia akan
mengalami masalah dalam bahasa dan bicara. Di usia kira-kira 5 tahun gerak
reflek oral seperti reflek menghisap pada saat menyusu akan diganti dengan
gerakan-gerakan yang baik dengan lidanya.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi proses pemerolehan bahasa
anak, faktor-fakror (Mansur,: 1982:149) itu adalah faktor neorologis dan
psikis, serta faktor lingkungan. Yang dimaksud faktor neurolgi adalah
ketersedian dan kesiapan semua alat untuk berbicara dan kecerdesan. Sedangkan
yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah lingkungan sosial enkonomi dan
pendidikan, motivasi dari lingkungan dan tidak hidup di multilingual.[16]
b.
Tahapan Pemerolehan bahasa
Anak belajar
bahasa non verbal maupun verbal telah dimulai sejak dia lahir. Dan proses
pemerolehan itu terus berjalan seiring dengan tambanya usia anak, sampai dia
mencapai tingkat penguasaan bahasa yang sempurna. Secara psikologis
perkembangan anak itu bisa digambarkan melalui tahapan berikutl;
-
Periode sebelum lahir (prenatal)
-
Periode bayi (babyhood)
-
Periode anak – anak
(chidhood)
-
Periode remaja (youth)
-
Periode dewasa
-
Periode setengah baya
-
Periode tua.
Pemelohan bahasa
ada beberapa pendapat dalam perolehan bahasa ada pemerolehan L1 dan L2,:
a.
Teori belajar bahasa
Bahwa seorang anak belajar berbicara dengan tingkat kelapangan yang luar
biasa pada usia dini telah lama menjadi bahan pikiran bagi kalangan dewasa.
Kebanyakan anak-anak bahkan telah menguasai bahasa ibu mereka jauh sebelum
mereka bisa mengikat tali sepatu mereka. Kemampuan memperoleh bahasa secara
historis telah dianggap sebagai suatu “anugera,” suatu landasan pandangan
ilmiah yang dikemukakan oleh Noam Chomsky dengan teori tata bahasa universal (universal
grammar),” yang menempatkan pengetahuan batiniah dari prinsip-prinsip yang
menata dan berlaku bagi semua bahasa.
Pembedaan yang dibuat oleh Chomsky dikenal dengan kompetensi bahasa (apa
yang diketahui oleh penutur, apa yang dikaji oleh linguis) dan performansi
bahasa (apa yang dilakukan oleh penutur dan apa yang tidak diperlukan penutur
dan apa yang tidak perlu dilakukan oleh linguis) memberikan stimulus yang kuat
bagi perkembangan baru dalam lingustik. Defenisinya mengenai teori lingustik
sebagai aspek mentalik (menyangkut penemuan realitas mental yang memungkinkan
terjadinya prilaku aktual) menjadi tantangan bagi teori lingustik behavioris,
yang objek studinya merupakan perilaku verbal fisik yang dapat diamati secara
langsung (yalden,1989:15). Menurut Chomsky, bahasa bukan sebuah sistem kaidah
yang terinternalisasi. Proses pemerolehan bahasa tidak ditemukan oleh peniruan,
penguatan, dan pembentukan kebiasaan, tetapi oleh adanya kapasitas dalam yang
ada pada diri pembelajar sendiri (Sumarno, 1985:20).[17]
Jangka waktu
yang menentukan
Seperti dikatakan diatas, B1
biasanya diperoleh seorang anak pada waktu ia masih dalam masa kanank – kanak
(childhood). Dalam hal ini sering dipertanyakan orang: “ Apakah ada usia yang
membatasi kemungkinan pemerolehan B1? Rupanya tidak ada jawaban yang tepat atas
pertanyaan ini, karena para cendikiawan masih meragukan makna bahasa, dan penguasaan
bahasa secara lengkap (complete language mastery).
Pada umumnya, orang mengatakan bahwa sesudah usia pubertas (12-14 tahun),
sedikit atau tidak ada kemajuan yang menonjol dalam pemerolehan (Klein,
op-cit). Seorang anak boleh dikatakan sudah cukup lancar B1-nya pada waktu ia
masuk SD, tetapi sudah tentu masalah-masalah bahasa yang dihadapinya tetap ada,
walaupun ia sudah mencapai usia dewasa. Mungkin masih banyak struktur-struktur
yang belum dikuasainya, khususnya yang tidak digunakannya dalam komunikasi
sehari-hari. [18]
Hipese umur
kritis
Sebelum mencapai umur belasan bawah,
sekitar umur 12 tahunan, anak mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa
manapun yang disajikan padanya secara natif. Hal ini tampak terutama pada
aksennya. Gejala ini dinyatakan dalam hipotese yang bernama Hipotese umur
Kritis (Critical Age Hypothesis) yang diajukan oleh Lenneberg (1967).
Jadi seandainya ada keluarga di Amerika yang tinggal di jakarta dan kemudian
mereka melahirkan anak, dan anak itu bergaul dengan orang-orang Indonesia
sampai dengan, katakanlah, umur 5-7 tahun, dia pasti akan dapat berbahasa
Indonesia jakarta seperti anak jakarta yang lain. Begitu juga sebaliknya: anak
Indonesia yang lahir dan besar di New York dan bergaul dengan orang-orang New
York akan berbicara bahasa inggris New York seperti orang New York yang lain.
Kekidalan dan
kekinanan
Manusia ada yang kidal (left-handed)
dan ada yang istilah barunya kinan right-handed). Sementara itu, ada
pula orang yang mampu menggunakan tangan kiri atau kanannya secara imbang.
Orang semacam ini dinamakan ambidekstrus (ambidextrous). Menurut
penelitian yang dilakukan orang (Klar 1999), jumlah penduduk dunia yang kidal
hanyalah 9%. Dari jumlah ini, hanya 30% yang didominasi oleh hemisfir kanan.
Hal ini berarti bahwa meskipun seseorang itu kidal, tetap saja hemisfir yang
lebih dominan untuk kebahasaan adalah hemisfir kiri.[19]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah dijelaskan di atas dapat kita simpulkan bahwa otak
dan bahasa mempunyai hubungan yang erat. Otak kita yang terdiri dari dua
hemisfer yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, dimana kemampuan berbahasa,
berbicara, berpikir kita terdapat pada otak sebelah kiri kita atau biasa
disebut hemisfer kiri atau daerah Broca, sedangkan hemisfer kanan lebih
berperan pada emosi, daya intuisi, musik dan lagu.
Manusia yang normal fungsi otak dan
alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun jika memiliki kelainan
pada otaknya, maka tidak akan bisa berbahasa dengan baik. Kerusakan berbahasa
itu disebut dengan afasia (aphasia),
sedang penderitanya adalah afasik (aphasic).
Masa kritis berbahasa tentu tidak
lepas dari masa pemerolehan bahasa anak.
Tahapan masa kritis ini bisa digambarkan sebagai
berikut:
Umur
|
Proses berbahasa
|
0-3 bulan
|
Muncul dengkur
|
4-20 bulan
|
Proses meraban sampai kata
tunggal
|
21-36 bulan
|
Proses prolehan bahasa
|
1-10 tahun
|
Pemurnian gramatika/tata
bahasa dan penambahan kosa kata
|
11-14 tahun
|
Pemunculan intonasi asing
|
Bila dikaitkan dengan kompetensi linguistik, jendela
peluang untuk belajar bahasa mulai terbuka pada usia dua bulan. Daerah otak
yang berkaitan dengan bahasa menjadi sangat aktif pada usia 18 sampai 20 bulan.
Bayi menguasai sekitar sepuluh kosakata per hari, sehingga ia menguasai sekitar
900 kata pada usia tiga tahun. Jendela berbahasa ini sebenarnya tetap terbuka
sepanjang hidup kita. Tetapi beberapa komponen berbahasa tertutup lebih awal.
Jendela bahasa tutur (spoken language) pada usia sepuluh atau sebelas
tahun.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Arifuddin, Neuropsikolinguistik, PT.Rajagrafindo
Persada: Jakarta, 2010.
·
Anjarningsih, Herwitha Yuhria, Otak dan kemampuan berbahasa,
Jakarta: pustaka Rihama, 2010.
·
Chaer, Abd, Psikolinguistik Kajian teoritik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
·
Dardjowidjojo, Soenjono, Psikolinguistik Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
·
Hasanah,
Mamluatul, Prespektif Al-Qur’an dan Pisikolinguistik, Malang: UIN Malang
Press, 2010.
·
Nababan
,Sri Utari Subyakto, Psikolinguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
·
Ramly, Najmudin, Rahasia dan Keajaiban Kekuatan
Otak Tengah, Jakarta Selatan: Best Media Utama, 2010.
[1]
Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, (
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.203.
[2]
Abd. Chaer, Psikolinguistik Kajian teoritik, (Jakarta: Rineka Cipta,
2009), h.116-117.
[3]
Najmudin Ramly, Rahasia dan Keajaiban Kekuatan Otak Tengah, (Jakarta
Selatan: Best Media Utama, 2010), h.48-49
[4]
Abdul Chaer, Op.Cit
[5] Herwitha Yuhria Anjarningsih, Otak dan
kemampuan berbahasa, (Jakarta;pustaka Rihama, 2010), h. 64
[7] Soenjono, Op.Cit.
[8] Abdul Chaer, Op.Cit
[10] Arifuddin, Neuropsikolinguistik. (PT.Rajagrafindo
Persada: Jakarta, 2010),h. 276
[11] Ibid
[12] Soenjono, Op.Cit.
[13]
Mamluatul
hasanah, Prespektif Al-Qur’an dan Pisikolinguistik,(malang,UIN Malang
Press,2010), 45.
[14]
Ibid.,47
[15]
Ibid.,49
[16]
Ibid.,59
[17]
Arifudin, Neuropsikolinguistik,(Jakarta:
Rajawali Pers 2010), 133-135
[18]
Sri Utari
Subyakto-Nababan, Psikolinguistik,(Jakarta,:Gramedia Pustaka
Utama,1992),111-112
[19]
Soenjono
Dardjowidjojo, Psikolinguistik: pengantar pemahaman bahasa manusia, (Jakarta,2005).218-219.
DAFTAR
ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Brain and Language 3
B.
The Language Centers
Aphasia 5
C.
The Critical Period
Hypothesis 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 17
Daftar Pustaka
No comments:
Post a Comment