Sunday, June 9, 2019

INTEGRASI KEILMUAN (B)


Anis Shalatin Simon/12720010/M.PBA 1/A

Abstraks
            Hubungan agama dan sains, baik dalam ranah ontologis, epistemologis maupun aksiologis selalu menyisakan persoalan yang  tidak pernah  selesai dibicarakan. Hubungan keduanya kerap menghasilkan tipologi yang berbeda-beda dari setiap etnis dan agama. Demi mencapai bentuk keilmuan yang ideal, upaya integrasi keilmuan (agama dan sains) sering terdengar di setiap lembaga keilmuan. Berbagai gagasan tentang integrasi keilmuan dari  para intelektual bermunculan seiring dengan tersebarnya filsafat Barat, sebagai penganut paham sekular hanya membatasi keilmuannya (sains modern) pada hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat empiris. Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini menimbulkan dikotomi pada semua sisi keilmuan. Karena hanya berpijak pada hal yang bersifat empiris, yaitu segala yang bisa diserap oleh indra (indrawi), maka di luar obyek indrawi mutlak dinafikan keberadaannya. Membahas hal-hal yang tidak nyata  adalah tidak ilmiah berdasar paham sains Barat.   
Kata Kunci: Integrasi keilmuan, dikotomi, sekular

A.    Pendahuluan
Dalam kerangka pikir modern ilmu dan agama bagaikan minyak dan air, kendati keduanya berpretensi bicara tentang realitas, masing-masing punya sudut pandang yang berbeda.[1] Hal ini terjadi ketika pendidikan berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi yang dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis. Berbagai macam tipologi tentang keduanya sangat beragam. Salah satunya yaitu menawarkan integrasi keilmuan. 
Saat ini,bentuk integrasi ilmu masih diformulasikan baik oleh pemerintah sendiri maupun para intelektual muslim.Tawaran model integrasi yang coba dipraktekan oleh berbagai Perguruan Tinggi islam masih menyisakan perdebatan inter maupun ekstern mereka sendiri.Karenanya,model integrasi yang dipraktekan mereka merupakan hal yang belum final dan memerlukan evaluasi yang terus-menerus dari semua komponen masyarakat pendidikan Indonesia.
Penelitian kepustakaan ini mengunakan metode deskriptif kualitatif,  dengan bermaksud mencoba menjelaskan tentang seputar integrasi keilmuan dengan rumusan masalah sebagai berikut; apa definisi integrasi keilmuan, dan apa prinsip integasi keilmuan tersebut, dan apa penyebab terjadinya integrasi keilmuan di era modern serta apa saja level-level integrasi dalam tingkat integritas epistemologis. Dan tujuan pembahasan dari rumusan masalah tersebut adalah untuk mengetahui definisi integrasi keilmuan, prinsip-prinsip integasi keilmuan, penyebab terjadinya integrasi keilmuan di era modern serta mengetahui dan level-level integrasi dalam tingkat integritas epistemologis.

B.   Pembahasan
1.      DEFINISI INTEGRASI KEILMUAN
a.      Definisi Integrasi
Secara harfiah dalam bahasa Inggris, terdapat tiga jenis kata yang merujuk pada kata integrasi. Pertama: kata kerja, to integrate artinya mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu). Kedua: kata benda, integration artinya integrasi, pengintegrasian atau penggabungan; atau integrity yang berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Ketiga: kata sifat, integral artinya utuh, bulat; atau integrated artinya digabungkan.[2]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata integrasi mengandung arti: (1) mengenai keseluruhannya; meliputi bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap; utuh, bulat, sempurna; (2) tidak terpisah, terpadu. Berintegrasi: bergabung supaya menjadi kesatuan yang utuh, yang tidak akan bisa berubah lagi.[3]
b.      Definisi Ilmu
Ilmu dalam arti yang sebenarnya diturunkan dari kata ‘ilm dalam bahasa Arab, yang merupakan istilah generik yang memiliki beberapa cabang yaitu pengetahuan dan pengenalan.[4] Ilmu terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah ilmu yang diberikan Allah SWT sebagai karunia-Nya kepada manusia, dan yang kedua adalah ilmu yang dicapai dan diperoleh oleh manusia berdasarkan daya usaha ‘aqliahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hidup indera jasmani.[5]
Ilmu yang pertama mempunyai unsur-unsur utama yaitu Kitab Suci al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Ta’ala, sunnah Rasul SAW. sebagai cara nabi menafsirkan syariah, syariah yang merupakan hukum Allah yang terkandung dalam al-Qur’an, al-‘ilm al-ladunny dan hikmah (ilmu spiritual dan kebijaksanaan). Ilmu jenis ini diperoleh melalui ibadah dan ketaatan pada Allah. Manusia menerima ilmu ini dengan cara diilhamkan secara langsung atau lewat penikmatan spiritual (dzawq) dan penyingkapan penglihatan spiritual (kasyfu). Maka didalamnya merangkum ilmu tentang dasar-dasar Islam (islam-iman-ihsan), prinsip-prinsipnya (arkan), arti dan maksudnya, serta pemahaman dan pelaksanaanya yang benar dalam kehidupan dan amalan sehari-hari. Maka ini adalah ilmu dalam tingkat ihsan.[6] 
Sedangkan jenis ilmu yang kedua merujuk pada ilmu-ilmu sains (al-‘ulum) yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Ilmu ini diperoleh melalui spekulasi dan usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas pengalamannya tentang segala sesuatu yang ditangkap panca indera (sensible) dan dipahami oleh akal (intelligible).[7]
Dari paparan tentang ilmu tersebut, Rosnani Hasyim menyimpulkan  bahwa manusia memperoleh ilmu dari beberapa sumber: pertama adalah wahyu yang merupakan sumber tertinggi dan bersifat pasti tanpa ada sedikit keraguan ketika menerimanya yang mana didukung oleh sunnah nabawi, kedua adalah intuisi, merupakan keutamaan bagi mereka yang secara sungguh-sungguh mendalami ilmu, ketiga adalah akal pikiran atau penalaran rasional dan yang terakhir adalah pengalaman inderawi atau observasi empiris.[8]
Kalau ditilik dari segi sejarahnya,  salah satu sumbangan besar Islam kepada Barat adalah kemajuan intelektualitas Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu Barat hidup berdampingan dengan muslim, sehingga terjadilah mozarabic culture, dan akhirnya kultur Islam yang dominan ini memberikan pandangan hidup baru di Barat. Namun  pada abad ke 12 hingga ke 15 keadaan ekonomi politik umat Islam mulai melemah sehingga kerja santifik kehilangan momentumnya dan dukungan dari masyarakatpun berkurang. Sebaliknya, Eropa (Barat) yang pada waktu itu secara ekonomis mulai naik, bergiat mentransfer dan mengasimilasi buku-buku filsafat dan sains dalam Islam, dan memodifikasinya sehingga menjadi sekular. Maka sejarah Eropa mencatat dari sinilah terjadi Scientific Revolution.[9] Dan dari sinilah terjadi penyempitan makna ilmu atau sains yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi dan yang tidak bisa di kenali dan segala sesuatu yang bersifat ruhaniyah (agama) dikeluarkan dari wilayah ilmu.

c.       Definisi Integrasi Keilmuan
Integrasi keilmuan (agama dan sains) adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut. Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi peradaban umat manusia seluruhnya. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya, yakni mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan jagat raya, bukan malah menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi,dan destruksi alam.[10]
Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman,tetapi mempunyai legitimasi yang kuat secara normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara historis dari perilaku para ulama Islam yang telah membuktikan sosoknya sebagai ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi kemajuan peradaban manusia.
                                    Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah  (all true knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah  “all correct theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan”. Dengan pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan istilah  "knowledge is the light that comes from Allah ".[11]Beberapa ayat Alquran yang digunakan oleh para pemikir Muslim untuk mendukung konsep integrasi keilmuan ini  (all true knowledge is from Allah) di antaranya adalah:
عَلَّمَ الِإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya: Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[12]
Dalam memahami ayat tersebut di atas, M. Amir Ali mengatakan:
This short verse conveys the message that all true knowledge was revealed (taught) to humankind by Allah. It is, therefore, reasonable to conclude that whatever was revealed by Allah to humankind is just as sacred as Qur’an and Sunnah. Especially when we find that Allah Himself commands mankind to reflect about His creation.”[13]
2.      Prinsip-Prinsip Integrasi Keilmuan
Menurut Mulla Sadra prinsip-prinsip integrasi keilmuan adalah sebagai berikut:[14]
-          Tauhid (Keesaan Allah), hal ini merupakan yang paling mendasar dalam ajaran Islam. Inilah yang menjadi asas pemersatu segala keragaman apapun yang pernah diterima islam dari luar, yang tanpanya peradaban islam tidak akan pernah terjadi, begitu pula integrasi keilmuan, tanpanya tidak akan terlaksana.
-          Keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan manusia, al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kaian dari rahim ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78). Ayat ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus melalui bimbingan wahyu agar tidak  mengalami pemahaman yang salah.
-          Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan, Dalam pandangan Al-Qur’an, Allah menciptakan segala sesuatu dalam satu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. Dan tidak Kami ciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada diantara keduanya untuk kesia-siaan. (Q.S. 38: 27). Pandangan Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengn konsep kehidupan akhirat. Perjalanan dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah kalian mengira bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23: 115). Pemahama Islam ini sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut.
-          Komitmen pada nilai-nilai moral, komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu hadist dijelaskan  bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak manusia. Begitu pula umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.
-           
3.      Sebab-Sebab Munculnya Integrasi Keilmuan di Era Modern
a.      Sekularisasi Ilmu
Sebagaimana yang telah disinggung diatas, Barat telah memasuki Renaissance dan Aufklarung serta melahirkan peradaban modern yang ditandai dengan kemenangan logika positivistik-rasionalistik di segala bidang kajian keilmuan. Dan bidang keilmuan yang lahir dari Barat ini bercorak sekular yang mana hal ini akan menyebabkan manusia terkungkung pada sains dalam segala lini kehidupannya, hal ini disebut Raymond Tallis sebagai omnescience (sains meliputi segala hal), dalam hal ini dia menyatakan bahwa:
Sains telah menentukan wajah abad kita; ia mengkarakterisasi peradaban Barat (modern). Sains tidak pernah lebih berhasil dan berpengaruh besar seperti dalam kehidupan modern kita sekarang.” [15]
                                    Di satu sisi sains mampu membantu dan meringankan beban manusia dalam membangun peradaban manusia itu sendiri, disisi lain pula sains juga dapat menghancurkan nilai humanity, yang memunculkan kriminalitas, kesenjangan sosial dan materialisasi spiritual bahkan akan memunculkan desakan kuat kearah individualisasi pengalaman-pengalaman spiritual atau privatisasi agama. Hal ini disebut disenchantment of the world (penghilangan pesona dari alam) atau desacralization of politic (peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik) atau deconsecration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan) yang mana ketika ilmu sekular itu telah membunuh kepekaan nilai-nilai etis, estetis dan religius serta ekologis manusia modern yang pada giliranya berbalik mengancam kehancuran dunia.[16]
                 Implikasi negatif tersebut muncul karena ilmu Barat bercorak sekuler, yang dibangun dengan konstruksi dari filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan pengetahuan yang jauh dari nilai spiritual, moral dan etika. Hal ini juga mendasari terjadinya dikotomi ilmu.
b.      Dikotomi Ilmu
Dalam sejarah Barat, dikotomi dalam ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan agama dan non agama dapat dilihat pada masyarakat Barat abad Renaissance. Setelah berinteraksii dengan pengetahuan dan peradaban muslim abad pertengahan, Barat mulai menyadari ketertinggalan mereka. Hal ini memacu mereka untuk mengadopsi sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan dan peradaban muslim yang ketika itu berpusat di Spanyol, Silisia, Mesir dan Baghdad.[17]
Namun suasana di Barat berbeda sekali dengan dunia Islam ketika itu umat Islam mengembangkan ilmu dan peradaban di bawah sinaran nilai-nilai agama. Karena agama Islam memang mengajarkan manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu. Sebaliknya ilmuwan-ilmuwan Barat yang sudah tercerahkan itu harus berhadapan dengan dogma-dogma Kristen yang penafsirannya dimonopoli oleh pemuka agama dan sering tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.[18]
Dalam sejarah Islam, Sebelum kehancuran teologi mu'tazilah pada masa kholifah al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), mempelajari ilmu-ilmu umum (kajian-kajian nalar dan empiris) ada dalam kurikulum madrasah tetapi dengan kemakruhan atau bahkan lebih ironis lagi "pengaharaman" penggunaan nalar setelah runtuhnya mu'tazilah, ilmu-ilmu umum yang dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum madrasah, mareka yang berminat mempelajari ilmu-ilmu umum dan yang mempunyai semangat scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) guna membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah, terpaksa harus belajar sendiri-sendiri atau dibawah tanah karena dipandang sebagai ilmu-ilmu subversif yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni, terutama dalam kalam dan fiqh. Adanya madrasah al-thib (sekolah kedokteran) juga tidak dapat mengembangkan ilmu kedokteran dengan bebas karena sering digugat fuqaha', misalnya tidak diperkenankan menggunakan organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Demikian pula, rumah sakit riset di Baghdad dan Kairo karena dibayangi legisme fiqh yang kaku akhirnya harus berkonsentrasi pada ilmu kedokteran teoritis dan keperawatan.[19]
                                    Dan menurut al-Ghazali, berdasarkan pendekatan syar’i, ilmu dikelompokkan menjadi dua jenis, yang pertama ilmu agama (al-‘ulum al-syar’iyah) yang mencangkup ilmu-ilmu yang didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi dan Wahyu dan terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syari’at Islam.  Dan yang kedua adalah  ilmu nonagama (al-‘ulum ghoiro al-syar’iyyah), yang diklasifikasikan menjadi (1) ilmu terpuji (al-mahmudah), mencangkup segala ilmu yang berguna dalam kehidupan sehari-hari, seperti kedokteran dan matematika, (2) ilmu yang dibolehkan (al-mubahah), seperti filsafat,teologi, fisika, (3) ilmu yang tercela (al-madhmumah), contohnya adalah ilmu sihir. Menurut Muthohari, perbedaan ilmu semacam itu dapat melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah dari Islam, dan tidak sesuai dengan keuniversalan Islam. Dan ilmu dalam presfektif Islam, tidak hanya mengkaji persoalan tentang syari’at agama. [20] 
                                    Namun, perlu diketahui bahwa dikotomi antara Ilmu-ilmu Agama dan non-agama yang telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali  dan Ibnu Khaldun, tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, karena diantara kelompok keilmuan tersebut,mengakui validitas dan status ilmiah antar kelompok keilmuan tersebut.
Sedangkan ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut diperkenalkan ke Dunia Islam lewat imperialisme barat, terjadilah dikotomi yang yang ketat antara ilmu-ilmu agama, sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah umum. Pendukung ilmu–ilmu umum menganggap ilmu-ilmu agama sebagai pseudo ilmiah, atau hanya sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak berbicara tentang fakta,tetapi tentang maknna yang tidak bersifat empiris.[21]
Pada saat ini,justru dikotomi seperti inilah yang terjadi dan telah menimbulkan berbagai problem yang akut dalam sistim pendidikan kita. Di sekolah-sekolah umum, kita masih mengenal pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu seperti fisika,  matematika, biologi,sosiologi dll, dan ilmu ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, dan lain–lain, seakan akan muatan religius itu hanya ada pada mata pelajaran, sementara ilmu-ilmu umum semuanya adalah profan dan netral di lihat dari sudut religi. Adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu agama di satu sisi dengan ilmu-ilmu sekular di sisi lain melatar belakangi munculnya ide tentang integrasi keilmuan.
4.      Level-Level Integrasi
Dalam mengupayakan sebuah integrasi pengetahuan tidak hanya dicapai dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang mempunyai basis teoritis yang berbeda (sekular dan religius). Integrasi harus diupayakan hingga tingkat epistemologis.[22] Dan untuk mencapai tingkat integritas epistemologis, integrasi harus diusahakan pada beberapa level:[23]
a.      Integrasi Ontologis
Kepercayaan pada status ontologis atau keberadaan objek-objek ilmu pengetahuan akan menjadi basis ontologis dari epistemologis yang akan di bangun. Sebuah upaya pengintegrasin ilmu tidak akan berhasil tanpa memperhatikan “integrasi ontologis, yang mengharuskan pengkajian semua bidang dari wujud Tuhan sampai pada wujud-wujud materil yang pada dasarnya memang satu.
b.      Integrasi Klasifikasi Ilmu
Ibnu Sina dan al-Farabi membagi yang ada (maujudat) dalam 3 kategori: (1) wujud yang secara niscaya bercampur dengan gerak dan materi; (2) wujud yang dapat bercampur materi dan gerak, tapi dapat juga memiliki wujud yang terpisah dari keduanya; (3) wujud yang secara niscaya bercampur dengan gerak dan materi. Dari ketiga pembagian itu, muncullah tiga kelompok besar ilmu: ilmu metafisika, matematika dan ilmu-ilmu alam, yang mana ketiga ilmu tersebut membentuk klasifikasi ilmu rasional yang integral.
c.       Integrasi Ilmu-Ilmu Agama dan Rasional (Sekuler)
Dalam klasifikasi ilmu al-Farabi belum terlihat jelas integrasi ilmu agama dan ilmu rasional. Baru pada klasifikasi ilmu yang dibuat Ibnu Khaldunlah, integrasi keilmuan dapat dilihat dengan jelas. Dalam hal ini Ibnu Khaldun membagi ilmu  ke dalam dua bagian besar: (1) ilmu-ilmu agama (naqli/transmitted), yaitu tafsir al-Qur’an dan hadits, fiqh, kalam, tafsir ayat mutasyabihat, tasawuf dan ta’bir mimpi; (2) ilmu-ilmu rasional (‘aqly) yaitu ilmu logika, fisika, matematika dan metafisika.
d.      Integrasi Metodologis
Upaya integrasi ilmu pengetahuan harus memperhatikan integrasi metodologis. Menurut Ziauddin Sardar, dalam Islam ada tiga macam metode: (1) metode tajriby (observasi),mengenal objek fisik melalui pengamatan indrawi; (2) metode burhany (logis/demonstratif), mengenal objek bukan hanya dengan indra yang ada tapi juga dengan akal; (3) metode ‘irfany (intuitif), menangkap objek non fisik melalui kontak langsung dengan objeknya yang hadir dalam jiwa seseorang.
C.    Analisis
Integrasi ilmu antara keilmuan modern dan keilmuan Islam merupakan salah satu isu penting dalam wacana sains kontemporer. Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum menjadi hal yang sangat diperlukan. Dikotomi terhadap keduanya harus  dihindari.  Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan.
Kondisi seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks Indonesia,  dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.
Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang).
Konsep tauhid diambil dari formula konvensional “La ilaha illallah” yang artinya “tidak ada tuhan selain Allah”. Dan, seperti yang telah disinggung di atas,ia telah menjadi pinsip paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan concern kita tentang integrasi ilmu,telah menjdi prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.


D.    Penutup
            Dari paparan singkat tentang integrasi keilmuan diatas kita dapat mengambil kesimpukan bahwa Integrasi keilmuan (agama dan sains) adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut. Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi peradaban umat manusia seluruhnya.
            Prinsip-prinsip integrasi adalah tauhid (Keesaan Allah), keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan manusia, keyakinan pada alam yang memiliki tujuan,  komitmen pada nilai-nilai moral. Sebab-sebab munculnya integrasi keilmuan di era modern adalah karena sekularisme yang menyebabkan sains mampu membantu dan meringankan beban manusia dalam membangun peradaban manusia itu sendiri, disisi lain pula sains juga dapat menghancurkan nilai humanity, yang memunculkan kriminalitas, kesenjangan sosial dan materialisasi spiritual bahkan akan memunculkan desakan kuat kearah individualisasi pengalaman-pengalaman spiritual atau privatisasi agama. Hal ini disebut disenchantment of the world (penghilangan pesona dari alam) atau desacralization of politic (peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik) atau deconsecration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan) yang mana ketika ilmu sekular itu telah membunuh kepekaan nilai-nilai etis, estetis dan religius serta ekologis manusia modern yang pada giliranya berbalik mengancam kehancuran dunia.
            Adanya dikotomi ilmu juga merupakan dampak dari sekularisasi. Ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut diperkenalkan ke Dunia Islam lewat imperialisme barat, terjadilah dikotomi yang yang ketat antara ilmu-ilmu agama, sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah umum.
            Dan untuk mencapai tingkat integritas epistemologis, integrasi harus diusahakan pada beberapa level diantaranya adalah integrasi ontologi, integrasi klasifikasi ilmu, integrasi ilmu agama dan sekuler dan integrasi metodologis.
            Sekian bahasan singkat kami mengenai integrasi keilmuan, mohon maaf apabila terjadi banyak kesalahan, semoga bahasan ini bermanfaat bagi kita semua.









Daftar Pustaka
Al-Attas, Muhammad Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan.
 _______________________. 1978. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIM.
Al-qur’an al-Karim 
Bagir, Zainal Abidin. 2006. Ilmu, Etika dan Agama. Yogyakarta: Pelangi Aksara.
_______________________. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1996 Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartanegara, Mulyadi. 2005. Integrasi Keilmuan. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.
Masruri, Hadi. 2007. Filsafat Sains dalam Al-Qur’an. Malang: UIN Press.
Toyyar, Husni. Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam. Bandung : UIN Sunan Gunung Jati.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2010. Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya. Ponorogo: CIOS.
file.upi.edu/.../INTEGRASI_ISLAM_DALAM.pdf


[1] Zainal Abidin Bagir,et.al, integrasi ilmu dan agama: Interpretasi dan Aksi, (Mizan: Bandung, 2005), hal. 36
[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),  h. 326
[3] Kamus besar bahasa indonesia
[4] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Mizan: Bandung, 1995), hal.22
[5]Ibid, hal.60
[6] Syed Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terjemahan, (PIMPIN: Bandung, 1978), hal. 180
[7] Op.cit, hal.182
[8] Hadi Masruri et.al, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, (UIN Press: Malang, 2007), hal 55
[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya, (CIOS: Ponorogo, 2010), hal.25-31
[10] Zainal Abidin Bagir, et.al, Ilmu, Etika dan Agama, (Pelangi Aksara: Yogyakarta,2006), hal.3
[11] file.upi.edu/.../INTEGRASI_ISLAM_DALAM.pdf, 12/12/2012
[12] Q.S.96:5
[13] Husni Toyyar, Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam, (UIN Sunan Gunung Jati: Bandung), hal. 10
[14] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Keilmuan, (UIN Jakarta Press: Jakarta, 2005), hal 32-40
[15] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Gama Media: Yogyakarta, 2002), hal.110
[16] Op.cit
[18] Teuku Jacob, Manusia, Ilmu Dan Teknologi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana: Yogya, 1993), 20
[19] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Rosda Karya: Bandung,2004), hal.42-42
[20] Hadi Masruri et.al, op.cit, hal.72
[21] Baharuddin,et.al, op. cit, hal. 35
[22] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Mizan : Bandung,2005), hal.208
[23] Ibid, hal. 209-218

No comments:

Post a Comment

Ucapan selamat hari raya idul fitri 2020 atau 1441 H

Hari raya idul fitri dirayakan oleh umat Islam khususnya yang bertepatan pada bulan Syawal, dengan cara saling meminta maaf kepada orang-ora...