Anis Shalatin Simon/12720010/M.PBA 1/A
Email: anis.shalatin@gmail.com
Abstraks
Hubungan agama
dan sains, baik dalam ranah ontologis, epistemologis maupun aksiologis selalu
menyisakan persoalan yang tidak
pernah selesai dibicarakan. Hubungan
keduanya kerap menghasilkan tipologi yang berbeda-beda dari setiap etnis dan
agama. Demi mencapai bentuk keilmuan yang ideal, upaya integrasi keilmuan (agama
dan sains) sering terdengar di setiap lembaga keilmuan. Berbagai gagasan
tentang integrasi keilmuan dari para intelektual
bermunculan seiring dengan tersebarnya filsafat Barat, sebagai penganut paham
sekular hanya membatasi keilmuannya (sains modern) pada hal-hal yang bisa
dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat empiris. Sehingga, konsekuensi
dari pembatasan ini menimbulkan dikotomi pada semua sisi keilmuan. Karena hanya
berpijak pada hal yang bersifat empiris, yaitu segala yang bisa diserap oleh
indra (indrawi), maka di luar obyek indrawi mutlak dinafikan keberadaannya. Membahas
hal-hal yang tidak nyata adalah tidak
ilmiah berdasar paham sains Barat.
Kata
Kunci: Integrasi keilmuan, dikotomi, sekular
A.
Pendahuluan
Dalam kerangka
pikir modern ilmu dan agama bagaikan minyak dan air, kendati keduanya
berpretensi bicara tentang realitas, masing-masing punya sudut pandang yang
berbeda.[1]
Hal ini terjadi ketika pendidikan berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi
yang dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis. Berbagai macam
tipologi tentang keduanya sangat beragam. Salah satunya yaitu menawarkan
integrasi keilmuan.
Saat ini,bentuk
integrasi ilmu masih diformulasikan baik oleh pemerintah sendiri maupun para
intelektual muslim.Tawaran model integrasi yang coba dipraktekan oleh berbagai
Perguruan Tinggi islam masih menyisakan perdebatan inter maupun ekstern mereka
sendiri.Karenanya,model integrasi yang dipraktekan mereka merupakan hal yang belum
final dan memerlukan evaluasi yang terus-menerus dari semua komponen masyarakat
pendidikan Indonesia.
Penelitian kepustakaan
ini mengunakan metode deskriptif kualitatif, dengan bermaksud mencoba menjelaskan tentang
seputar integrasi keilmuan dengan rumusan masalah sebagai berikut; apa
definisi integrasi keilmuan, dan apa prinsip integasi keilmuan tersebut, dan apa
penyebab terjadinya integrasi keilmuan di era modern serta apa saja level-level
integrasi dalam tingkat integritas epistemologis. Dan tujuan pembahasan dari
rumusan masalah tersebut adalah untuk mengetahui definisi integrasi keilmuan,
prinsip-prinsip integasi keilmuan, penyebab terjadinya integrasi keilmuan di
era modern serta mengetahui dan level-level integrasi dalam tingkat integritas
epistemologis.
B.
Pembahasan
1.
DEFINISI INTEGRASI KEILMUAN
a.
Definisi Integrasi
Secara harfiah dalam bahasa Inggris, terdapat tiga jenis kata yang
merujuk pada kata integrasi. Pertama: kata kerja, to integrate
artinya mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal
atau lebih menjadi satu). Kedua: kata benda, integration artinya
integrasi, pengintegrasian atau penggabungan; atau integrity yang
berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Ketiga: kata
sifat, integral artinya utuh, bulat; atau integrated artinya
digabungkan.[2]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata integrasi mengandung arti: (1)
mengenai keseluruhannya; meliputi bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap;
utuh, bulat, sempurna; (2) tidak terpisah, terpadu. Berintegrasi: bergabung
supaya menjadi kesatuan yang utuh, yang tidak akan bisa berubah lagi.[3]
b.
Definisi Ilmu
Ilmu dalam arti yang sebenarnya diturunkan dari kata ‘ilm
dalam bahasa Arab, yang merupakan istilah generik yang memiliki beberapa cabang
yaitu pengetahuan dan pengenalan.[4]
Ilmu terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah ilmu yang diberikan Allah
SWT sebagai karunia-Nya kepada manusia, dan yang kedua adalah ilmu yang dicapai dan
diperoleh oleh manusia berdasarkan daya usaha ‘aqliahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hidup indera
jasmani.[5]
Ilmu yang pertama mempunyai unsur-unsur utama yaitu Kitab Suci
al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Ta’ala, sunnah Rasul SAW. sebagai cara nabi
menafsirkan syariah, syariah yang merupakan hukum Allah yang terkandung dalam
al-Qur’an, al-‘ilm al-ladunny dan hikmah (ilmu spiritual dan kebijaksanaan).
Ilmu jenis ini diperoleh melalui ibadah dan ketaatan pada Allah. Manusia
menerima ilmu ini dengan cara diilhamkan secara langsung atau lewat penikmatan
spiritual (dzawq) dan penyingkapan penglihatan spiritual (kasyfu). Maka
didalamnya merangkum ilmu tentang dasar-dasar Islam (islam-iman-ihsan),
prinsip-prinsipnya (arkan), arti dan maksudnya, serta pemahaman dan
pelaksanaanya yang benar dalam kehidupan dan amalan sehari-hari. Maka ini
adalah ilmu dalam tingkat ihsan.[6]
Sedangkan jenis ilmu yang kedua merujuk pada ilmu-ilmu sains (al-‘ulum)
yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Ilmu ini
diperoleh melalui spekulasi dan usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas
pengalamannya tentang segala sesuatu yang ditangkap panca indera (sensible)
dan dipahami oleh akal (intelligible).[7]
Dari paparan tentang ilmu tersebut, Rosnani Hasyim
menyimpulkan bahwa manusia memperoleh
ilmu dari beberapa sumber: pertama adalah wahyu yang merupakan sumber
tertinggi dan bersifat pasti tanpa ada sedikit keraguan ketika menerimanya yang
mana didukung oleh sunnah nabawi, kedua adalah intuisi, merupakan keutamaan
bagi mereka yang secara sungguh-sungguh mendalami ilmu, ketiga adalah akal
pikiran atau penalaran rasional dan yang terakhir adalah pengalaman inderawi
atau observasi empiris.[8]
Kalau ditilik
dari segi sejarahnya, salah satu sumbangan besar Islam kepada Barat
adalah kemajuan intelektualitas Eropa pada abad pertengahan. Ketika itu Barat
hidup berdampingan dengan muslim, sehingga terjadilah mozarabic culture, dan
akhirnya kultur Islam yang dominan ini memberikan pandangan hidup baru di
Barat. Namun pada abad ke 12 hingga ke
15 keadaan ekonomi politik umat Islam mulai melemah sehingga kerja santifik
kehilangan momentumnya dan dukungan dari masyarakatpun berkurang. Sebaliknya,
Eropa (Barat) yang pada waktu itu secara ekonomis mulai naik, bergiat
mentransfer dan mengasimilasi buku-buku filsafat dan sains dalam Islam, dan
memodifikasinya sehingga menjadi sekular. Maka sejarah Eropa mencatat
dari sinilah terjadi Scientific Revolution.[9] Dan
dari sinilah terjadi penyempitan makna ilmu atau sains yang hanya berkaitan
dengan objek-objek inderawi dan yang tidak bisa di kenali dan segala sesuatu
yang bersifat ruhaniyah (agama) dikeluarkan dari wilayah ilmu.
c.
Definisi Integrasi Keilmuan
Integrasi keilmuan (agama dan sains) adalah usaha menggabungkan
atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua
bidang tersebut. Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan
tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi peradaban umat
manusia seluruhnya. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya, yakni
mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan
kebajikan jagat raya, bukan malah menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi,dan
destruksi alam.[10]
Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman,tetapi mempunyai
legitimasi yang kuat secara normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara
historis dari perilaku para ulama Islam yang telah membuktikan sosoknya sebagai
ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi kemajuan peradaban
manusia.
Kata
kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan
yang benar berasal dari Allah (all true
knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga
menggunakan istilah “all correct
theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired
by Satan”. Dengan pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan
istilah "knowledge is the light
that comes from Allah ".[11]Beberapa
ayat Alquran yang digunakan oleh para pemikir Muslim untuk mendukung konsep
integrasi keilmuan ini (all true
knowledge is from Allah) di antaranya adalah:
عَلَّمَ
الِإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya:
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[12]
Dalam
memahami ayat tersebut di atas, M. Amir Ali mengatakan:
“This short verse conveys the message that all true knowledge
was revealed (taught) to humankind by Allah. It is, therefore, reasonable to
conclude that whatever was revealed by Allah to humankind is just as sacred as
Qur’an and Sunnah. Especially when we find that Allah Himself commands mankind
to reflect about His creation.”[13]
2.
Prinsip-Prinsip Integrasi Keilmuan
Menurut Mulla Sadra prinsip-prinsip integrasi keilmuan adalah
sebagai berikut:[14]
-
Tauhid (Keesaan Allah), hal
ini merupakan yang paling mendasar dalam ajaran Islam. Inilah yang menjadi asas
pemersatu segala keragaman apapun yang pernah diterima islam dari luar, yang
tanpanya peradaban islam tidak akan pernah terjadi, begitu pula integrasi
keilmuan, tanpanya tidak akan terlaksana.
-
Keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan
manusia, al-Qur’an
menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kaian dari rahim ibu
kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian
pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78).
Ayat ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana
yang diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan
alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan
penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus
melalui bimbingan wahyu agar tidak
mengalami pemahaman yang salah.
-
Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan, Dalam pandangan Al-Qur’an, Allah menciptakan segala sesuatu dalam
satu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. Dan tidak Kami
ciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada diantara keduanya untuk
kesia-siaan. (Q.S. 38: 27). Pandangan Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan
seiring dengn konsep kehidupan akhirat. Perjalanan dunia akan berakhir dan
digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah kalian mengira bahwa kalian tidak
akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23: 115). Pemahama Islam ini sekaligus
menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu
melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh
karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan
sesuai dengan hukum-hukum tersebut.
-
Komitmen pada nilai-nilai moral, komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana
dalam satu hadist dijelaskan bahwa Nabi
Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak manusia. Begitu pula umat
Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang
mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus
dilandasi oleh nilai-nilai moral.
-
3.
Sebab-Sebab Munculnya Integrasi Keilmuan di Era Modern
a.
Sekularisasi Ilmu
Sebagaimana
yang telah disinggung diatas, Barat telah memasuki Renaissance dan Aufklarung
serta melahirkan peradaban modern yang ditandai dengan kemenangan logika
positivistik-rasionalistik di segala bidang kajian keilmuan. Dan bidang
keilmuan yang lahir dari Barat ini bercorak sekular yang mana hal ini
akan menyebabkan manusia terkungkung pada sains dalam segala lini kehidupannya,
hal ini disebut Raymond Tallis sebagai omnescience (sains meliputi segala hal),
dalam hal ini dia menyatakan bahwa:
“Sains telah menentukan wajah abad kita; ia mengkarakterisasi
peradaban Barat (modern). Sains tidak pernah lebih berhasil dan berpengaruh
besar seperti dalam kehidupan modern kita sekarang.” [15]
Di
satu sisi sains mampu membantu dan meringankan beban manusia dalam membangun
peradaban manusia itu sendiri, disisi lain pula sains juga dapat menghancurkan
nilai humanity, yang memunculkan kriminalitas, kesenjangan sosial dan
materialisasi spiritual bahkan akan memunculkan desakan kuat kearah
individualisasi pengalaman-pengalaman spiritual atau privatisasi agama. Hal ini
disebut disenchantment of the world (penghilangan pesona dari alam) atau
desacralization of politic (peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari
politik) atau deconsecration of values (penghapusan kesucian dan
kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan) yang mana ketika ilmu
sekular itu telah membunuh kepekaan nilai-nilai etis, estetis dan religius
serta ekologis manusia modern yang pada giliranya berbalik mengancam kehancuran
dunia.[16]
Implikasi negatif tersebut
muncul karena ilmu Barat bercorak sekuler, yang dibangun dengan konstruksi dari
filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan
pengetahuan yang jauh dari nilai spiritual, moral dan etika. Hal ini juga
mendasari terjadinya dikotomi ilmu.
b.
Dikotomi Ilmu
Dalam sejarah Barat, dikotomi dalam ilmu pengetahuan yaitu ilmu
pengetahuan agama dan non agama dapat dilihat pada masyarakat Barat abad
Renaissance. Setelah berinteraksii dengan pengetahuan dan peradaban muslim abad
pertengahan, Barat mulai menyadari ketertinggalan mereka. Hal ini memacu mereka
untuk mengadopsi sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan dan peradaban muslim yang
ketika itu berpusat di Spanyol, Silisia, Mesir dan Baghdad.[17]
Namun suasana di Barat berbeda sekali dengan dunia Islam ketika itu
umat Islam mengembangkan ilmu dan peradaban di bawah sinaran nilai-nilai agama.
Karena agama Islam memang mengajarkan manusia untuk mencari dan mengembangkan
ilmu. Sebaliknya ilmuwan-ilmuwan Barat yang sudah tercerahkan itu harus
berhadapan dengan dogma-dogma Kristen yang penafsirannya dimonopoli oleh pemuka
agama dan sering tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.[18]
Dalam sejarah Islam, Sebelum kehancuran teologi mu'tazilah
pada masa kholifah al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), mempelajari ilmu-ilmu umum
(kajian-kajian nalar dan empiris) ada dalam kurikulum madrasah tetapi dengan kemakruhan
atau bahkan lebih ironis lagi "pengaharaman" penggunaan nalar setelah
runtuhnya mu'tazilah, ilmu-ilmu umum yang dicurigai itu dihapuskan dari
kurikulum madrasah, mareka yang berminat mempelajari ilmu-ilmu umum dan yang
mempunyai semangat scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) guna membuktikan
kebenaran ayat-ayat kauniyah, terpaksa harus belajar sendiri-sendiri atau
dibawah tanah karena dipandang sebagai ilmu-ilmu subversif yang dapat menggugat
kemapanan doktrin sunni, terutama dalam kalam dan fiqh. Adanya madrasah al-thib
(sekolah kedokteran) juga tidak dapat mengembangkan ilmu kedokteran dengan
bebas karena sering digugat fuqaha', misalnya tidak diperkenankan menggunakan
organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Demikian pula, rumah
sakit riset di Baghdad dan Kairo karena dibayangi legisme fiqh yang kaku
akhirnya harus berkonsentrasi pada ilmu kedokteran teoritis dan keperawatan.[19]
Dan menurut al-Ghazali, berdasarkan pendekatan syar’i, ilmu
dikelompokkan menjadi dua jenis, yang pertama ilmu agama (al-‘ulum
al-syar’iyah) yang mencangkup ilmu-ilmu yang didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi
dan Wahyu dan terbatas pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban syari’at
Islam. Dan yang kedua adalah ilmu nonagama (al-‘ulum ghoiro
al-syar’iyyah), yang diklasifikasikan menjadi (1) ilmu terpuji (al-mahmudah),
mencangkup segala ilmu yang berguna dalam kehidupan sehari-hari, seperti
kedokteran dan matematika, (2) ilmu yang dibolehkan (al-mubahah), seperti
filsafat,teologi, fisika, (3) ilmu yang tercela (al-madhmumah), contohnya
adalah ilmu sihir. Menurut Muthohari, perbedaan ilmu semacam itu dapat
melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah dari Islam, dan
tidak sesuai dengan keuniversalan Islam. Dan ilmu dalam presfektif Islam, tidak
hanya mengkaji persoalan tentang syari’at agama. [20]
Namun,
perlu diketahui bahwa dikotomi antara Ilmu-ilmu Agama dan non-agama yang telah
dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, tidak menimbulkan terlalu
banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, karena diantara kelompok keilmuan
tersebut,mengakui validitas dan status ilmiah antar kelompok keilmuan tersebut.
Sedangkan ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut
diperkenalkan ke Dunia Islam lewat imperialisme barat, terjadilah dikotomi yang
yang ketat antara ilmu-ilmu agama, sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan
dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana
diajarkan di sekolah-sekolah umum. Pendukung ilmu–ilmu umum menganggap
ilmu-ilmu agama sebagai pseudo ilmiah, atau hanya sebagai mitologi yang tidak
akan mencapai tingkat ilmiah, karena tidak berbicara tentang fakta,tetapi
tentang maknna yang tidak bersifat empiris.[21]
Pada saat ini,justru dikotomi seperti inilah yang terjadi dan telah
menimbulkan berbagai problem yang akut dalam sistim pendidikan kita. Di
sekolah-sekolah umum, kita masih mengenal pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu
seperti fisika, matematika,
biologi,sosiologi dll, dan ilmu ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, dan
lain–lain, seakan akan muatan religius itu hanya ada pada mata pelajaran,
sementara ilmu-ilmu umum semuanya adalah profan dan netral di lihat dari sudut
religi. Adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu agama di satu
sisi dengan ilmu-ilmu
sekular di sisi lain melatar belakangi munculnya ide tentang integrasi keilmuan.
4.
Level-Level Integrasi
Dalam
mengupayakan sebuah integrasi pengetahuan tidak hanya dicapai dengan
mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang mempunyai basis teoritis yang berbeda
(sekular dan religius). Integrasi harus diupayakan hingga tingkat
epistemologis.[22] Dan
untuk mencapai tingkat integritas epistemologis, integrasi harus diusahakan
pada beberapa level:[23]
a.
Integrasi Ontologis
Kepercayaan pada status ontologis atau keberadaan objek-objek ilmu
pengetahuan akan menjadi basis ontologis dari epistemologis yang akan di
bangun. Sebuah upaya pengintegrasin ilmu tidak akan berhasil tanpa
memperhatikan “integrasi ontologis, yang mengharuskan pengkajian semua bidang dari
wujud Tuhan sampai pada wujud-wujud materil yang pada dasarnya memang satu.
b.
Integrasi Klasifikasi Ilmu
Ibnu Sina dan al-Farabi membagi yang ada (maujudat) dalam 3
kategori: (1) wujud yang secara niscaya bercampur dengan gerak dan materi; (2)
wujud yang dapat bercampur materi dan gerak, tapi dapat juga memiliki wujud
yang terpisah dari keduanya; (3) wujud yang secara niscaya bercampur dengan
gerak dan materi. Dari ketiga pembagian itu, muncullah tiga kelompok besar
ilmu: ilmu metafisika, matematika dan ilmu-ilmu alam, yang mana ketiga ilmu
tersebut membentuk klasifikasi ilmu rasional yang integral.
c.
Integrasi Ilmu-Ilmu Agama dan Rasional (Sekuler)
Dalam klasifikasi ilmu al-Farabi belum terlihat jelas integrasi
ilmu agama dan ilmu rasional. Baru pada klasifikasi ilmu yang dibuat Ibnu
Khaldunlah, integrasi keilmuan dapat dilihat dengan jelas. Dalam hal ini Ibnu
Khaldun membagi ilmu ke dalam dua bagian
besar: (1) ilmu-ilmu agama (naqli/transmitted), yaitu tafsir al-Qur’an dan
hadits, fiqh, kalam, tafsir ayat mutasyabihat, tasawuf dan ta’bir mimpi; (2)
ilmu-ilmu rasional (‘aqly) yaitu ilmu logika, fisika, matematika dan
metafisika.
d.
Integrasi Metodologis
Upaya integrasi ilmu pengetahuan harus memperhatikan integrasi
metodologis. Menurut Ziauddin Sardar, dalam Islam ada tiga macam metode: (1)
metode tajriby (observasi),mengenal objek fisik melalui pengamatan indrawi; (2)
metode burhany (logis/demonstratif), mengenal objek bukan hanya dengan indra
yang ada tapi juga dengan akal; (3) metode ‘irfany (intuitif), menangkap objek
non fisik melalui kontak langsung dengan objeknya yang hadir dalam jiwa
seseorang.
C.
Analisis
Integrasi ilmu
antara keilmuan modern dan keilmuan Islam merupakan salah satu isu penting
dalam wacana sains kontemporer. Integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum
menjadi hal yang sangat diperlukan. Dikotomi terhadap keduanya harus dihindari. Dalam perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan
disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan
adanya dikotomi ilmu pengetahuan.
Kondisi seperti
ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks
Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu
agama malah sudah terlembagakan. Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe
lembaga pendidikan yang dinaungi oleh departemen yang berbeda. Lembaga
pendidikan yang berlabel agama di bawah naungan DEPAG sedangkan lembaga
pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.
Pandangan
dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan
pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam.
Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang
selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan
para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk
menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan
dari berbagai sudut pandang).
Konsep tauhid
diambil dari formula konvensional “La ilaha illallah” yang artinya “tidak ada
tuhan selain Allah”. Dan, seperti yang telah disinggung di atas,ia telah
menjadi pinsip paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan
concern kita tentang integrasi ilmu,telah menjdi prinsip yang paling utama dari
prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas
pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.
D.
Penutup
Dari
paparan singkat tentang integrasi keilmuan diatas kita dapat mengambil
kesimpukan bahwa Integrasi keilmuan (agama dan sains) adalah usaha
menggabungkan atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi
ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut. Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan
sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi
peradaban umat manusia seluruhnya.
Prinsip-prinsip integrasi adalah tauhid
(Keesaan Allah), keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan
pengetahuan manusia, keyakinan pada alam yang memiliki tujuan, komitmen pada nilai-nilai moral. Sebab-sebab munculnya
integrasi keilmuan di era modern adalah karena sekularisme yang menyebabkan
sains mampu membantu dan meringankan beban manusia dalam membangun peradaban
manusia itu sendiri, disisi lain pula sains juga dapat menghancurkan nilai humanity,
yang memunculkan kriminalitas, kesenjangan sosial dan materialisasi spiritual
bahkan akan memunculkan desakan kuat kearah individualisasi
pengalaman-pengalaman spiritual atau privatisasi agama. Hal ini disebut disenchantment
of the world (penghilangan pesona dari alam) atau desacralization
of politic (peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik) atau deconsecration
of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari
kehidupan) yang mana ketika ilmu sekular itu telah membunuh kepekaan
nilai-nilai etis, estetis dan religius serta ekologis manusia modern yang pada
giliranya berbalik mengancam kehancuran dunia.
Adanya dikotomi ilmu juga merupakan
dampak dari sekularisasi. Ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut
diperkenalkan ke Dunia Islam lewat imperialisme barat, terjadilah dikotomi yang
yang ketat antara ilmu-ilmu agama, sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan
dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana
diajarkan di sekolah-sekolah umum.
Dan untuk mencapai tingkat
integritas epistemologis, integrasi harus diusahakan pada beberapa level
diantaranya adalah integrasi ontologi, integrasi klasifikasi ilmu, integrasi
ilmu agama dan sekuler dan integrasi metodologis.
Sekian bahasan singkat kami mengenai
integrasi keilmuan, mohon maaf apabila terjadi banyak kesalahan, semoga bahasan
ini bermanfaat bagi kita semua.
Daftar Pustaka
Al-Attas,
Muhammad Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan.
_______________________. 1978. Islam dan
Sekularisme. Bandung: PIMPIM.
Al-qur’an
al-Karim
Bagir,
Zainal Abidin. 2006. Ilmu, Etika dan Agama. Yogyakarta: Pelangi Aksara.
_______________________.
2005. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan.
Echols,
John M. dan Hassan Shadily. 1996 Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kartanegara,
Mulyadi. 2005. Integrasi Keilmuan. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Mas’ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Gama Media.
Masruri,
Hadi. 2007. Filsafat Sains dalam Al-Qur’an. Malang: UIN Press.
Toyyar, Husni. Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun
Landasan Keilmuan Islam. Bandung : UIN Sunan Gunung Jati.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2010. Peradaban Islam: Makna dan Strategi
Pembangunannya. Ponorogo: CIOS.
file.upi.edu/.../INTEGRASI_ISLAM_DALAM.pdf
[1] Zainal Abidin
Bagir,et.al, integrasi ilmu dan agama: Interpretasi dan Aksi, (Mizan:
Bandung, 2005), hal. 36
[2] John M. Echols
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), h. 326
[3] Kamus besar
bahasa indonesia
[4] Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Mizan: Bandung, 1995),
hal.22
[5]Ibid, hal.60
[6] Syed Naquib
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terjemahan, (PIMPIN: Bandung, 1978), hal. 180
[7] Op.cit,
hal.182
[8] Hadi Masruri
et.al, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, (UIN Press: Malang, 2007), hal 55
[9] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya, (CIOS: Ponorogo,
2010), hal.25-31
[10] Zainal Abidin
Bagir, et.al, Ilmu, Etika dan Agama, (Pelangi Aksara: Yogyakarta,2006), hal.3
[12] Q.S.96:5
[13] Husni Toyyar,
Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam, (UIN
Sunan Gunung Jati: Bandung), hal. 10
[14] Mulyadhi
Kartanegara, Integrasi Keilmuan, (UIN Jakarta Press: Jakarta, 2005), hal 32-40
[15] Abdurrahman
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam, (Gama Media: Yogyakarta, 2002), hal.110
[16] Op.cit
[17] http://www.uin-malang.ac.id,
12/12/2012
[18] Teuku Jacob,
Manusia, Ilmu Dan Teknologi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana: Yogya, 1993), 20
[19] Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Rosda Karya: Bandung,2004), hal.42-42
[20] Hadi Masruri
et.al, op.cit, hal.72
[21]
Baharuddin,et.al, op. cit, hal. 35
[22] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik,
(Mizan : Bandung,2005), hal.208
[23] Ibid, hal. 209-218
No comments:
Post a Comment